Dampak Covid-19 berkepanjangan berpotensi merusak daerah otak yang memicu penurunan kemampuan pengenalan wajah atau prosopagnosia.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seseorang yang terinfeksi Covid-19 berkepanjangan berpotensi mengalami gangguan psikologis ketidakmampuan untuk mengenali wajah atau prosopagnosia. Ahli menduga gejala Covid-19 berkepanjangan tersebut merusak fungsi otak untuk mengenali wajah. Selama pandemi, kemungkinan banyak penderita mengalami gejala prosopagnosia ringan.
Mengutip Live Science, Rabu (17/5/2023), sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Cortex, Maret 2023, menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara Covid-19 berkepanjangan dan masalah pengenalan wajah. Marie-luise Kieseler, mahasiswi doktoral di Dartmouth College, Amerika Serikat, penulis utama studi ini, mengungkapkan, masalah psikologis tersebut terjadi karena Covid-19 berkepanjangan bisa mengganggu saraf pada otak.
Prosopagnosia diperkirakan dialami 3 persen dari populasi yang terlahir di dunia. Selain itu, kira-kira 1 dari 30.000 orang didiagnosa prosopagnosia akibat kerusakan pada gyrus fusiform, yakni daerah di otak yang berfungsi untuk memproses pengenalan wajah.
”Tidaklah mengherankan bahwa penyakit (Covid-19) yang memiliki dampak begitu besar pada otak dapat menyebabkan gangguan. Yang sangat menarik adalah bahwa gangguan tersebut sangat selektif dan sangat spesifik,” kata Kieseler.
Dalam uraian jurnal tersebut, subyek dalam penelitian, Annie, wanita berusia 28 tahun, dinyatakan sebagai orang pertama yang mengidap prosopagnosia. Sebelum terinfeksi Covid-19 pada Maret 2020, Annie memiliki pengenalan wajah normal.
Gejala yang ditimbulkan saat itu berupa demam, dada sesak, diare, batuk-batuk hingga pingsan karena kekurangan oksigen, serta kehilangan indera penciuman dan perasa. Setelah tiga minggu pertama, Annie merasa membaik, bahkan sudah mulai bisa bekerja dari rumah.
Namun, setelah tujuh minggu, Annie mulai merasa gejala Covid-19 muncul kembali serta mulai ada indikasi gangguan kemampuan pengenalan wajah. Dua bulan kemudian, saat gejala-gejala Covid-19 tersebut masih ada, dia menyadari adanya kesulitan pengenalan wajah.
Diperlukan pengembangan penelitian lebih lanjut. Apalagi, saat ini penanganan untuk penderita prosopagnosia masih terbatas.
Para peneliti di Dartmouth College melakukan penilaian untuk lebih memahami masalah Annie. Ini termasuk empat tes memori identitas wajah, yang mengukur kemampuan Annie untuk mengenali dan mengingat wajah selebritas dan wajah orang yang baru dikenalnya. Saat dibandingkan dengan 10 wanita dengan usia sama, Annie mendapatkan penilaian paling rendah.
Untuk mulai menyelidiki dan memastikan Covid-19 berkepanjangan berpengaruh pada pengenalan wajah, para peneliti di Dartmouth juga mengumpulkan data dari pasien serupa. Dari 54 responden didapati bahwa mayoritas melaporkan penurunan pengenalan visual dan kemampuan pembacaan arah dan lokasi.
Ke depan, Kieseler dan timnya berencana melakukan penelitian lebih lanjut, termasuk studi pencitraan otak. Mereka juga berencana menguji lebih banyak orang yang mengalami masalah pemrosesan wajah setelah tertular Covid-19 berkepanjangan untuk lebih memahami hubungan antara infeksi dan prosopagnosia.
Kasus lain seseorang yang mengalami kebutaan setelah infeksi Covid-19 dilaporkan dalam studi tahun 2021 di jurnal Acta Neuropsychologia. Namun, pasien itu juga menderita stroke belahan otak atau hemisfer sebelah kanan, yang biasanya dikaitkan dengan prosopagnosia yang diderita.
Dalam kasus ringan, Covid-19 telah dikaitkan dengan perubahan struktural di otak. Namun, penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa struktur otak dan penciuman yang paling terpengaruh akibat virus korona baru.
John Towler, dosen psikologi di Universitas Swansea, Inggris, menduga gejala penurunan pengenalan wajah dialami oleh lebih banyak orang saat pandemi Covid-19. Namun, menurut dia, diperlukan pengembangan penelitian lebih lanjut. Apalagi, saat ini penanganan untuk penderita prosopagnosia masih terbatas.
Sementara itu, Kieseler juga meyakini peningkatan jumlah orang dengan gejala kebutaan telah terjadi sejak awal pandemi, tetapi masih pada spektrum kecil dengan kasus ringan. Kasus ini dianggap tidak terlalu parah sehingga tidak dilaporkan. ”Jika Anda hanya sedikit menurun, itu mungkin bukan perhatian utama. Apalagi jika Anda berurusan dengan banyak hal lain akibat Covid-19,” kata Kieseler.