Kasus penularan Covid-19 saat ini telah mereda. Namun, banyak orang masih berjuang dengan dampak berkepanjangan akibat virus ini, salah satunya gangguan pada otak.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas kebersihan membersihkan salah satu ruangan di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (27/12/2022). Tercatat RSDC Wisma Atlet telah menampung sekitar 131 juta pasien selama hampir tiga tahun setelah diresmikan menjadi RSDC. Penghentian operasional ini tercantum dalam surat bernomor B-404.N/KA BNPB/PD.01.02/11/2022 yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sekalipun kasus penularan Covid-19 saat ini telah mereda, masih banyak orang berjuang dengan dampak berkepanjangan akibat virus ini, salah satunya gangguan pada otak. Tak hanya mengganggu kesehatan, long Covid ini juga bisa berdampak pada kinerja. Namun, banyak yang tak menyadarinya sehingga tak ditangani serius.
Juno Simorangkir (38), karyawan swasta di Jakarta yang juga pendiri Covid Survivor Indonesia (CS), mengaku kondisinya tak pernah sama lagi setelah tertular Covid-19 tiga tahun lalu. ”Hingga setahun setelah terkena Covid-19 saya mengalami berbagai masalah neuorologis, seperti sering halusinasi dan susah berpikir. Bagi orang yang tidak mengalaminya, ini kerap dianggap berlebihan, padahal jelas bisa mengganggu kinerja,” tuturnya.
Menurut Juno, para penyintas Covid-19 yang tergabung dalam kelompok diskusi di Facebook mencapai 3.300 orang dan di Telegram 1.200 orang. Sekalipun tak seintens tahun-tahun sebelumnya, masih banyak anggota yang mengeluhkan mengenai efek Covid-19 yang dialami mereka.
”Ada yang mengeluh sakit pencernaan berkepanjangan. Sudah ke dokter didiagnosis sakit maag, tapi diobati tidak sembuh-sembuh. Ini memang sulit karena pengetahuan tentang long Covid juga masih terbatas dan gejalanya kerap seperti penyakit lain,” katanya.
Juno mengutarakan, kebanyakan penyintas Covid-19 mengalami masalah terkait neurologis. ”Kalau saya dampak yang sepertinya permanen adalah gampang lupa. Dulu tidak begini, dan saya merasa belum terlalu tua untuk jadi pikun,” ujarnya.
Dokter spesialis penyakit dalam di Surabaya, Adaninggar, mengatakan, long Covid belum menjadi perhatian serius di Indonesia, padahal yang terdampak sangat banyak.
”Memang diagnosisnya tidak mudah dan sampai sekarang belum ada panduannya untuk dokter. Long Covid ini seperti diagnosis keranjang sampah, kalau tidak ketemu yang lain-lain baru dinyatakan long Covid,” kata Adaninggar, yang pada 2022 lalu menerbitkan buku Long Covid dan Kualitas Hidup Jangka Panjang.
Dampak long Covid tak hanya masalah kesehatan, tapi juga bisa menjadi masalah sosial ekonomi. ”Mereka yang mengeluh mengalami gangguan long Covid kerap diabaikan. Saya punya satu pasien, mahasiswi. Setelah tiga bulan sembuh dari Covid-19, prestasinya menurun drastis. Dia mengalami gangguan konsentrasi dan pelupa. Pernah magang kerja juga dikeluarkan sehingga sempat depresi,” katanya.
Gangguan neurologis
Menurut Adaninggar, gangguan neurologis menjadi keluhan yang paling sering dialami mereka yang menderita long Covid, selain gangguan pernapasan. Sejumlah riset telah menunjukkan, mereka yang telah terinfeksi virus berisiko lebih tinggi mengembangkan berbagai kondisi neurologis.
Analisis komprehensif berbasis data kesehatan federal Amerika Serikat oleh para peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Washington menemukan berbagai komplikasi neurologis yang bisa dialami penderita Covid-19 berkepanjangan. Dalam studi ini, peneliti membuat kumpulan data terkontrol dari 154.000 orang yang dites positif Covid-19 dari 1 Maret 2020 hingga 15 Januari 2021, dan yang bertahan hidup selama 30 hari pertama setelah terinfeksi.
AFP/PETER PARKS
Otoritas Rumah Sakit mengumumkan akan mendedikasikan tujuh klinik untuk secara khusus merawat pasien Covid-19 dengan gejala ringan dan menangguhkan layanan medis lainnya di klinik termasuk untuk vaksinasi.
Pemodelan statistik digunakan untuk membandingkan hasil neurologis dalam kumpulan data Covid-19 dengan dua kelompok orang lain yang tak terinfeksi virus: kelompok kontrol yang terdiri dari lebih dari 5,6 juta pasien yang tidak memiliki Covid-19 selama jangka waktu yang sama; dan kelompok kontrol lebih dari 5,8 juta orang dari Maret 2018 hingga 31 Desember 2019, jauh sebelum virus menginfeksi dan membunuh jutaan orang di seluruh dunia.
Temuan dipublikasikan di Nature Medicine pada 22 September 2022. ”Studi kami memberikan penilaian komprehensif tentang konsekuensi neurologis jangka panjang dari Covid-19,” kata penulis senior Ziyad Al-Aly, ahli epidemiologi klinis di Universitas Washington, tentang risetnya.
Kajian ini menemukan, kondisi neurologis terjadi pada 7 persen lebih banyak orang dengan Covid-19 dibandingkan dengan mereka yang tidak terinfeksi virus. Ekstrapolasi persentase ini berdasarkan jumlah kasus Covid-19 di AS, yang berarti sekitar 6,6 juta orang yang menderita gangguan otak terkait dengan virus tersebut.
Masalah memori atau brain fog jadi salah satu gejala Covid-19 berkepanjangan terkait otak yang paling umum ditemukan. Dibandingkan kelompok kontrol, orang yang tertular virus berisiko 77 persen lebih tinggi mengalami masalah memori. ”Masalah-masalah ini diselesaikan pada beberapa orang, tetapi bertahan pada banyak orang lainnya. Pada titik ini, proporsi orang yang menjadi lebih baik versus mereka yang memiliki masalah jangka panjang tidak diketahui,” kata Al-Aly.
Menariknya, para peneliti juga mencatat peningkatan risiko penyakit Alzheimer di antara mereka yang terinfeksi virus tersebut. Ada dua lebih banyak kasus Alzheimer per 1.000 orang dengan Covid-19 dibandingkan dengan kelompok kontrol.
PDPI
Gejala Long Covid
”Alzheimer membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terwujud. Tetapi, yang kami duga sedang terjadi ialah bahwa orang yang memiliki kecenderungan terhadap Alzheimer mungkin terdesak oleh Covid-19, yang berarti mereka berada di jalur yang lebih cepat untuk mengembangkan penyakit tersebut. Ini jarang, tapi memprihatinkan.”
Dibandingkan kelompok kontrol, orang yang memiliki virus 50 persen lebih mungkin menderita stroke iskemik yang menyerang saat gumpalan darah atau hal lain menghalangi kemampuan arteri untuk memasok darah dan oksigen ke otak. Stroke iskemik menyebabkan sebagian besar dari semua stroke, dan bisa memicu kesulitan berbicara, kebingungan kognitif, masalah penglihatan, hilangnya perasaan di satu sisi tubuh, kerusakan otak permanen, kelumpuhan, hingga kematian.
Masalah-masalah ini diselesaikan pada beberapa orang, tetapi bertahan pada banyak orang lainnya. Pada titik ini, proporsi orang yang menjadi lebih baik versus mereka yang memiliki masalah jangka panjang tidak diketahui.
Studi yang lain juga menemukan bahwa pada orang yang tertular Covid-19 dan mengalami neurologis, sistem kekebalan di saraf pusatnya diaktifkan secara khusus sehingga terjadi peradangan. Radang otak ini kemungkinan bukan disebabkan oleh virus yang menginfeksi bagian organ tersebut.
Avindra Nath, yang telah lama mempelajari neurologi postviral sindrom di National Institutes of Health, menemukan hal serupa dalam studi otopsi jenazah pasien Covid-19. ”Jika Anda melihat otak penderita Covid-19, Anda sebenarnya tidak menemukan (jumlah virus yang sangat besar), tapi kami menemukan banyak aktivasi kekebalan,” katanya, seperti ditulis Scientific American baru-baru ini.
Virus ini juga bisa bertahan di otak selama berbulan-bulan, menurut laporan di jurnal Nature pada Desember 2022. Studi otopsi terhadap 44 orang yang meninggal karena Covid-19 menemukan adanya peradangan merajalela terutama di saluran pernapasan. RNA virus juga terdeteksi di seluruh tubuh, bahkan di otak, selama 230 hari setelah infeksi.
HS
Petugas medis menyuntikkan vaksin Sinovac kepada salah seorang anak laki-laki di pusat kesehatan Samrong Krom, Phnom Penh, Kamboja, Jumat (17/9/2021). Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengumumkan dimulainya kampanye nasional untuk memberikan vaksinasi Covid-19 kepada anak-anak antara usia 6 tahun dan 11 tahun.
Hasil riset ini menunjukkan efek jangka panjang yang menghancurkan dari Covid-19. Ini adalah bagian tak terpisahkan dari long Covid. Virus ini tidak selalu jinak seperti yang dipikirkan beberapa orang.
Penanganan komprehensif
Berbagai bukti menunjukkan, dampak long Covid tidak bisa diabaikan. Namun, seberapa lama dampak ini akan terjadi dan apakah bisa permanen? ”Kita belum bisa menjawab seberapa lama dampaknya karena riset mengenai ini masih terus berlangsung. Bisa juga ada permanennya. Kalau diobservasi terus, kemungkinan baru ada kepastian lima sampai sepuluh tahun lagi,” tuturnya.
Adaninggar menyarankan, seiring dengan meredanya kasus Covid-19, perhatian lebih serius seharusnya diberikan kepada pasien-pasien long Covid. ”Di Indonesia belum ada fasilitas kesehatan dan dokter yang fokus ke soal ini. Padahal, di Singapura, Malaysia, Inggris, atau Amerika sudah ada klinik khusus long Covid,” ungkapnya.
Menurut Adaninggar, upaya penanganan terhadap pasien long Covid hanya bisa dilakukan oleh tim lintas spesialis. ”Misalnya, pasien yang mengalami masalah neurologi ternyata tidak hanya butuh dokter saraf, karena ternyata dia juga mengalami masalah autoimun. Juga psikiater dan juga psikoterapis,” katanya.
Dia mencontohkan, orang yang mengalami brainfog perlu dilatih untuk bisa mengingat lagi sebagaimana penanganan terhadap pasien amnesia.