Cek Kanker Payudara Mulai Umur 40 Tahun
Kanker payudara paling banyak diderita dan penyebab kematian terbesar kedua akibat kanker pada perempuan Indonesia. Makin awal terdeteksi, peluang kesembuhannya makin besar. Namun kesadaran deteksi dininya sangat rendah.
Panel ahli kesehatan Amerika Serikat merekomendasikan setiap perempuan melakukan pemeriksaan medis penunjang pengecekan kanker payudara mulai umur 40 tahun tiap dua tahun sekali. Rekomendasi ini diharapkan bisa menyelamatkan 19 persen nyawa lebih banyak mengingat kanker payudara menjadi jenis kanker yang paling banyak diderita dan salah satu pemicu kematian tertinggi akibat kanker.
Rekomendasi Satuan Tugas Pelayanan Preventif Amerika Serikat (USPSTF) itu dikeluarkan Selasa (9/5/2023). Rekomendasi batas usia pengecekan kanker payudara ini maju 10 tahun dibandingkan rekomendasi serupa tahun 2016 yang meminta pengecekan kanker payudara dilakukan pada perempuan usia 50-74 tahun, juga setiap dua tahun sekali.
Pemeriksaan medis penunjang untuk pengecekan kanker payudara itu dilakukan melalui mamografi, yaitu pemindaian payudara menggunakan sinar-X dosis rendah atau rontgen untuk memperoleh citra kelenjar payudara dan jaringan di sekitarnya. Upaya ini terbukti mampu mendeteksi kanker payudara sejak dini dan mengurangi tingkat kematian akibat kanker payudara.
Baca juga: Deteksi Dini Kanker Payudara Dapat Menunjang Harapan Hidup
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022 mencatat, hampir 10 juta kematian akibat kanker pada 2020. Artinya, satu dari enam kematian pada tahun itu diakibatkan kanker. Di antara berbagai jenis kanker, kanker payudara memiliki jumlah kasus baru terbanyak, mencapai 2,26 juta penderita dan kanker dengan kematian terbanyak kelima sebesar 685.000 jiwa.
Di Indonesia, kondisinya relatif sama. Kementerian Kesehatan 2022 menyebut kanker payudara menjadi kanker yang paling banyak penderitanya dan kanker penyebab kematian terbanyak kedua pada 2018.
Sementara data Globocan 2020 menyebut, jumlah kasus baru kanker payudara di Indonesia pada 2018 mencapai 68.858 kasus atau 16,7 persen dari seluruh kasus kanker baru yang mencapai 396.914 kasus. Jumlah kasus kanker baru dan lama, menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, mencapai 1.017.290 orang, sedangkan kematian akibat kanker payudara saja pada 2018 mencapai lebih dari 22.000 kasus dan menjadi penyebab kematian terbanyak kedua akibat kanker setelah kanker paru-paru.
Tingginya kematian akibat kanker payudara di Indonesia terjadi akibat terlambat dideteksi. Sekitar 70 persen kasus kanker payudara terdeteksi saat sudah stadium lanjut. Padahal, 43 persen kematian akibat kanker payudara bisa dicegah jika kanker ditemukan dalam stadium awal melalui deteksi dini dan menghindari faktor risiko.
”Pengetahuan yang lebih baru dan inklusif tentang kanker payudara pada mereka yang berusia kurang dari 50 tahun membuat Satuan Tugas memperluas rekomendasi sebelumnya dan mendorong semua perempuan melakukan penapisan kanker payudara sejak umur 40 tahun setiap dua tahun sekali,” kata Ketua USPSTF Carol Mangione dalam buletin USPSTF.
Rekomendasi baru ini diyakini akan membantu lebih banyak perempuan menemukan kanker payudara sejak dini serta menyelamatkan nyawa mereka. Pemajuan 10 tahun batas usia penapisan kanker payudara itu diharapkan bisa menyelamatkan 19 persen nyawa lebih banyak serta lebih mendorong pemerataan penapisan kanker payudara.
Bagaimanapun di banyak negara, akses deteksi dini kanker payudara belum merata. Di AS, perempuan kulit hitam lebih berpotensi menderita kanker payudara, 40 persen lebih rentan meninggal akibat kanker payudara, dan lebih banyak yang mati muda akibat kanker payudara dibandingkan perempuan kulit putih. Meski pemicu ketidaksetaraan penapisan kanker itu belum jelas, satuan tugas mengingatkan pentingnya menindaklanjuti hasil penapisan dengan pengobatan tepat waktu dan efektif.
Keganasan
Kanker payudara adalah tumor ganas yang terbentuk dari sel-sel payudara yang tumbuh dan berkembang tanpa terkendali sehingga menyebar ke sekitar jaringan atau organ di dekat payudara dan bagian tubuh lain. Meski sebagian besar penderita kanker payudara adalah perempuan, 1 dari 100 kasus kanker payudara di AS adalah laki-laki.
Payudara, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) 26 September 2022, memiliki tiga bagian utama, yaitu lobulus atau kelenjar yang menghasilkan susu, duktus atau saluran yang membawa susu ke puting susu, serta jaringan ikat berupa jaringan berserat dan lemak yang mengelilingi dan menyatukan bagian payudara lainnya.
Kanker payudara bermula saat beberapa sel payudara yang tumbuh tidak normal, membelah lebih cepat daripada sel sehat, hingga sel-sel itu menumpuk atau membentuk gumpalan. Abnormalitas itu bisa terjadi di bagian payudara mana pun, tetapi sebagian besar berawal di duktus dan lobulus. Kanker payudara bisa menyebar atau bermetastasis ke bagian tubuh di luar payudara melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening.
Baca juga: Dampak Fatal Menunda Pengobatan Kanker Payudara
Pemicu munculnya kanker payudara beragam, mulai dari faktor hormonal, gaya hidup, hingga lingkungan yang meningkatkan risiko kanker payudara. Selain itu, kanker payudara kemungkinan besar terjadi akibat interaksi kompleks antara susunan genetik dan lingkungan sekitar.
Dikutip dari situs Mayo Clinic, lembaga kedokteran ternama di AS, 5 persen-10 persen kanker payudara terkait dengan mutasi gen yang diturunkan antargenerasi dalam keluarga, yaitu gen kanker payudara 1 (BRCA1) dan gen kanker payudara 2 (BRCA2). Kedua gen itu juga meningkatkan risiko kanker ovarium. Karena itu, perempuan yang punya riwayat keluarga kanker payudara perlu meningkatkan kewaspadaan.
Selain gen atau riwayat keluarga, faktor risiko yang membuat seseorang berpeluang mengembangkan kanker payudara dan tidak bisa dihindari atau dimodifikasi adalah berjenis kelamin perempuan, berusia lebih dari 50 tahun, menstruasi pertama pada umur kurang dari 12 tahun, serta baru menopause pada usia lebih dari 55 tahun.
Sementara faktor risiko kanker payudara yang bisa dimodifikasi antara lain obesitas, paparan radiasi, memiliki anak pertama pada usia lebih dari 30 tahun, tidak pernah hamil, konsumsi alkohol, stres, dan melakukan terapi hormonal pasca-menopause. Jika hal-hal tersebut dikelola dengan baik, risiko kanker payudara bisa dikurangi.
Namun, orang yang mempunyai beberapa faktor risiko kanker payudara itu belum tentu akan mengembangkan kanker payudara. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki faktor risiko pun belum tentu terhindar dari kanker payudara. Mengapa hal itu terjadi, hingga kini tidak diketahui pasti.
Penapisan
Di Indonesia, studi IDAPM Narisuari dan IBTW Manuaba terhadap 62 responden di RSUP Sanglah Bali pada 2016 yang dipublikasikan di Intisari Sains Medis 2020 menemukan 42 persen penderita kanker payudara berumur 41 tahun-50 tahun, 42 persen berpendidikan SMA, dan 36 persen bekerja sebagai karyawan swasta dan wiraswasta.
Selain itu, 86 persen penderita memiliki gejala awal berupa benjolan di payudara dan 20 persen orang memiliki riwayat keluarga dengan kanker payudara. Sebanyak 64 persen responden terdiagnosis kanker payudara pada stadium III. Namun, hanya 44 persen responden berobat atas keinginan sendiri. Selain itu, 20 persen responden menggunakan pengobatan herbal dan 11 persen juga menjalani pengobatan alternatif di samping melakukan terapi dengan dokter.
Studi kecil itu menunjukkan rendahnya pengetahuan perempuan dan masyarakat tentang kanker payudara, termasuk untuk melakukan deteksi dini kanker payudara melalui periksa payudara sendiri (sadari) dan pemeriksaan penunjang medis dengan mamografi. Selain itu, mamografi umumnya juga tidak ditanggung asuransi kesehatan swasta ataupun Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat karena dianggap sebagai bagian dari medical check up.
Deteksi dini kanker payudara memang tidak bisa mencegah munculnya kanker payudara. Namun, makin awal kanker payudara ditemukan, peluang penyakit itu disembuhkan makin besar, kualitas hidup penderitanya pun makin bisa ditingkatkan, hingga usia harapan hidup penyintasnya bisa makin diperpanjang.
Di sisi lain, rumah sakit di Indonesia yang mampu memberikan layanan kanker payudara secara komprehensif dari deteksi dini hingga kuratif sangat terbatas. Rumah sakit yang mampu menangani kanker terkumpul di kota besar dan Indonesia bagian barat sehingga akses masyarakat Indonesia timur lebih terbatas. Pada saat bersamaan, masyarakat yang mampu banyak memilih layanan kanker di luar negeri.
Berbagai kondisi itu berkontribusi pada besarnya keterlambatan deteksi dini hingga membuat tingkat kematian akibat kanker payudara menjadi sangat tinggi. Kondisi itu akhirnya memunculkan kesan kuat di masyarakat bahwa usia harapan hidup penderita kanker tidak panjang. Situasi ini pun bisa berbalik ke pasien kanker sehingga menimbulkan tekanan psikologis hebat saat mereka didiagnosis kanker.
Pemajuan 10 tahun batas usia penapisan kanker payudara itu diharapkan bisa menyelamatkan 19 persen nyawa lebih banyak serta lebih mendorong pemerataan penapisan kanker payudara.
Di tengah berbagai keterbatasan itu, maka kesadaran akan kesehatan diri bisa menjadi penyelamat kehidupan penyintas kanker. Seperti disampaikan Yayasan Kanker Payudara Indonesia, pemeriksaan payudara penting karena saat gejala awal kanker muncul biasanya tidak menimbulkan keluhan.
Gejala awal kanker payudara itu biasanya terdeteksi dari munculnya kelainan pada payudara, seperti timbulnya benjolan, penebalan kulit, serta perubahan bentuk dan ukuran payudara. Selain itu, bisa timbul rasa nyeri, pengerutan kulit payudara, keluarnya cairan dari puting susu, puting susu tertarik ke dalam, dan muncul luka pada payudara.
Jika tanda-tanda itu terjadi, segera konsultasi kepada dokter untuk pemeriksaan lanjut. Kelainan yang muncul pada payudara itu harus dianggap sebagai keganasan sampai ada bukti pasti karakter kelainan tersebut. Selain mamografi, untuk mengetahui perubahan jaringan payudara yang terbentuk, tindakan penunjang medis lain yang bisa dilakukan adalah dengan ultrasonografi (USG) payudara untuk membedakan antara lesi (jaringan abnormal) yang ganas dan jinak.
Kepatuhan berobat pasien juga harus dijaga mengingat banyak terapi yang dilakukan memiliki efek samping berat pada tubuh pasien. Sebagian penderita kanker juga melakukan pengobatan alternatif yang belum teruji secara ilmiah mampu menyembuhkan kanker. Tindakan ini juga berdampak pada keterlambatan penanganan medis yang ujung makin memperburuk kondisi pasien.
Ke depan, seiring terus bertambahnya jumlah penduduk dan makin menuanya populasi, jumlah penderita kanker, termasuk kanker payudara, dipastikan akan terus bertambah. Globocan 2020 memperkirakan jumlah penderita kanker payudara di Indonesia pada 2040 akan mencapai 89.512 orang atau naik 54 persen dari penderita kanker payudara tahun 2018.
Baca juga: Pasien Kanker Payudara Cenderung Lambat Diperiksa
Sembari menunggu hasil peningkatan jumlah dan kualitas layanan kanker yang dilakukan pemerintah, edukasi kepada setiap perempuan untuk melakukan sadari perlu terus dilakukan. Pembiayaan lembaga asuransi untuk deteksi dini kanker payudara juga perlu didorong seperti yang dilakukan negara-negara maju untuk melindungi kesehatan warganya.
Jika tidak, negara dan masyarakat akan menanggung beban ekonomi besar akibat kanker payudara yang semakin besar penderitanya. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebut, dari sekitar Rp 20 triliun yang dikeluarkan untuk pembiayaan penyakit katastrofik pada 2022, 18 persennya digunakan untuk membiayai kanker.
Tingginya penderita kanker payudara juga akan berakibat pada kehidupan sosial masyarakat. Sakit atau meninggalnya ibu akan berdampak pada ketahanan keluarga dan perkembangan anak-anak mereka. Saat ibu sakit, sakitlah keluarga. Karena itu, menjaga perempuan Indonesia dari kanker payudara sama saja dengan menjaga kesejahteraan keluarga, masyarakat, dan bangsa.