Keberagaman menjadi keniscayaan bagi Indonesia. Namun, penerimaan pada keberagaman makin menghadapi tantangan, termasuk di dunia pendidikan. Guru diajak menjadi rujukan keberagaman.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Keragaman agama, suku bangsa, budaya, hingga pemikiran jadi keunikan sekaligus kekayaan bangsa. Namun, nyatanya hidup dalam keragaman dengan semangat toleransi dan gotong royong semakin menjadi istimewa. Hal ini terutama kala embusan politik identitas juga bisa menguat seiring penyelenggaraan pesta demokrasi di negeri ini.
Makan siang di acara halalbihalal di kediaman Ketua Yayasan Cahaya Guru (YGC) Henny Supolo di Jakarta, Sabtu (13/5/2023), hendak dimulai. Moderator yang juga guru yang bergiat di YGC, Komar, memanggil salah seorang alumni Sekolah Guru Kebinekaan (SGK), Golden Simangunsong. Doa makan siang acara halabihalal yang biasa digelar umat Muslim pasca-merayakan Idul Fitri pun dipimpin dengan doa secara Katolik.
Semua yang hadir, baik dari tim YGC hingga sejumlah aktivis pendidikan yang peduli pada isu pendidikan, keberagaman, dan keindonesiaan, tanpa ragu mengambil sikap berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Tidak ada rasa risi, saat doa di acara halalbihalal kali ini dipimpin oleh seorang Katolik. Golden, guru bahasa Jerman di SMA Katolik Ricci 2 Bintaro, pun dengan lancar mendoakan acara halalbihal berjalan lancar. Semua yang hadir pun mengamini doa yang dipanjatkan Golden.
Kita bisa bekerja sama untuk kebaikan dan kemanusiaan tanpa meninggalkan karakteristik kita yang berbeda.
Dalam berbagai kegiatan YGC, hal lazim untuk membuka doa acara dari berbagai pemeluk agama. Peserta pun terbiasa untuk mendengar doa-doa yang dilantunkan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Buddha, Hindu, dan Khonghucu, yang jarang memimpin doa di acara-acara umum. Bahkan, ada juga kesempatan doa dipimpin oleh penganut Yudaisme di Indonesia (yang memiliki satu-satunya sinagoga di Sulawesi Utara) atau penganut Sikh.
Henny mengatakan, rasa persaudaraan membuat perbedaan yang ada bukan sebagai masalah atau beban, melainkan tetap dapat menyatukan berbagai kalangan. ”Justru dengan rasa persaudaraan, kita memiliki semangat bersama untuk melangkah ke depan, menjadikan Indonesia yang lebih baik,” kata Henny.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, sedih dengan kondisi pendidikan Indonesia yang masih jauh tertinggal dengan capaian pendidikan yang rendah. Salah satu masalah pendidikan yang juga perlu perhatian yakni tentang toleransi di sekolah-sekolah.
Indonesia yang beragam, kata Imam, dapat menjadi salah satu modal sosial yang kuat. Namun, keberagaman ini perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
”Seperti dikatakan butuh satu kampung untuk mendidik seorang anak, maka masalah pendidikan bukan hanya urusan guru dan dosen. Tapi semua pihak, mulai dari rumah dan komunitas ikut mendidik anak, dan ini tidak bisa hanya sekali-kali. Semangat YGC membentuk kelembagaan dan jaringan kerja sama atau gotong royong untuk meningkatkan kualitas murid dan guru sangat berrati,” ujar Imam.
Dalam pandangan pembawa acara dan pegiat pendidikan, Shahnaz Haque, di Indonesia memang guru ada banyak, tetapi masih sedikit pendidik. ”Karena itu, program-program yang mendukung guru menjadi oase bagi para pendidik untuk terus yakin ikut serta memperbaiki kondisi pendidikan,” ujar Shahnaz.
Pengamat pendidikan, Doni Koesoema, mengatakan, bangsa Indonesia jika tidak dilatih sejak awal mengenal kelompok yang berbeda dan beragam, bisa berpotensi pecah. Apalagi, ada otonomi daerah yang seringkali dipahami secara sempit bahwa haruslah putra daerah yang menjadi pemimpin atau diutamakan.
Doni mengatakan, tidak banyak pihak atau lembaga yang berada di garis depan untuk memperkuat kebinekaan, keragaman, dan kebangsaan. Padahal, perlu ada misi yang sama untuk menjaga Indonesia supaya abadi.
”Persoalan untuk memperkuat kebinekaan, keberagaman lewat pendidikan ini untuk menyiapkan anak bangsa mencintai negara ini,” ujar Doni.
Mengajak guru
Di tengah beragam masalah penolakan pada pebedaan agama di berbagai komunitas yang mencuat, YGC terus berjuang untuk mengajak para guru menjadi rujukan keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan lewat program SGK. Golden yang merupakan alumni SGK 2017, merasakan panggilan untuk menyiapkan generasi muda bangsa yang mampu menerima dan hidup dalam keberagaman.
Meskipun Golden mengajar di sekolah dengan nilai-nilai Katolik, dia membuka kesempatan bagi para siswa di ruang kelasnya untuk terbiasa dalam keragaman. Hal sederhana dilakukan dengan mengizinkan siswa ssecara bergantian memimpin doa di kelas sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
”Meskipun semua doa untuk kegiatan sekolah tetap dibawa dengan Katolik, tapi di ruang kelas saya pakai kesempatan bagi siswa untuk mengenal cara berdoa teman-temannya yang berbeda, dari yang Muslim, Buddha, atau Hindu. Ada siswa yang kaget, sudah berteman lama sejak SD dengan temannya tapi belum pernah mendengar temannya berdoa sesuai agamanya. Ini jadi pengalaman yang menarik bagi siswa dan mereka jadi saling memahami,” kata Golden.
Dalam pandangan Golden, guru seharusnya sudah selesai dengan isu perbedaan identitas, baik di antara siswa maupun sesama guru. ”Guru yang terjun di dunia pendidikan seharusnya sudah terbiasa untuk menghargai beragam identitas dan budaya. Ternyata belum selesai juga, terutama yang sering soal perbedaan agama. Lewat SGK, harapannya supaya lebih banyak guru yang tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tapi keberagaman dan menerima perbedaan untuk menjadi sumber kekuatan,” papar Golden.
Pengenalan pada keberagaman lewat SGK tidak hanya soal perbedaan agama. Bahkan, salah seorang guru peserta SGK adalah transjender/transpuan. Guru bernama asli Markus Malu Uran, lebih akrab disapa Teacher Aurel, merupakan guru PNS yang mengajar di SD Katolik Lewourandi Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Aurel bertekad menjadi seorang guru karena melihat di SD tempatnya bersekolah dulu kekurangan guru. Selain hatinya terpanggil untuk mengajar anak-anak agar tidak tertinggal dalam belajar, Aurel juga hendak membiasakan peserta didik untuk menerima berbagai perbedaan yang ada di masyarakat, termasuk dirinya sebagai seorang guru transjender.
Aurel merasa senang bisa diajak bergabung di komunitas SGK, yang menjadi ruang aman bagi dirinya untuk bisa bergabung bersama para guru pejuang toleransi dan keberagaman dari berbagai daerah di Indonesia.
Iklim kebinekaan
Iklim kebinekaan di satuan pendidikan menjadi salah satu aspek penting untuk mendukung pendidikan berkualitas. Iklim kebinekaan menyangkut bagaimana lingkungan satuan pendidikan menyikapi keberagaman seperti perbedaan individu, identitas, maupun latar belakang sosial–budaya, seperti agama, juga mengenai komitmen kebangsaan.
Baru 32 persen satuan pendidikan yang telah membudayakan sikap kebinekaan dari hasil Asesmen Nasional 2021. Sebanyak 59 persen masih perlu menguatkan, sedangkan 9 persen satuan pendidikan perlu meningkatkan sikap kebinekaan.
Persoalan iklim kebinekaan yang belum membudaya di sekolah, salah satunya juga didukung dengan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho menjelaskan, inti dari program LKLB yang dilandasi tiga kompetensi adalah kompetensi pribadi, artinya bagaimana kita memahami agama masing-masing dengan baik; kompetensi komparatif, yaitu bagaimana kita memahami agama yang berbeda dari kacamata penganut agama tersebut; dan kompetensi kolaboratif, yaitu bagaimana bekerja sama dengan orang yang berbeda.
”Program LKLB adalah sebuah program yang kami kembangkan bersama sejak tahun lalu. Intinya bagaimana kita semakin memperkuat persaudaraan antara sesama sebagai umat manusia walaupun kita berbeda agama dan kepercayaan. Kita bisa bekerja sama untuk kebaikan dan kemanusiaan tanpa meninggalkan karakteristik kita yang berbeda,” kata Matius.