Guru, Tokoh Rujukan Keberagaman di Sekolah
Secara umum, iklim kebinekaan masih belum membudaya di satuan pendidikan. Padahal, keberagaman adalah keniscayaan di Indonesia. Untuk itulah, penguatan guru sebagai rujukan keberagaman dibutuhkan.
Baru 32 persen satuan pendidikan yang telah membudayakan sikap kebinekaan dari hasil Asesmen Nasional 2021. Sebanyak 59 persen masih perlu menguatkan, sedangkan 9 persen satuan pendidikan perlu meningkatkan sikap kebinekaan.
Iklim kebinekaan di satuan pendidikan menjadi salah satu aspek penting untuk mendukung pendidikan berkualitas. Iklim kebinekaan menyangkut bagaimana lingkungan satuan pendidikan menyikapi keberagaman seperti perbedaan individu, identitas, maupun latar belakang sosial–budaya, seperti agama, juga mengenai komitmen kebangsaan.
Namun, penghargaan guru dan tenaga kependidikan terhadap keberagaman, juga implementasi mereka terhadap nilai-nilai keberagaman di kelas, masih lemah. Hal ini terlihat dari kemampuan guru menghadirkan pembelajaran interaktif sesuai kemampuan peserta didik (menghargai keragaman individu) dalam kategori baik hanya 1 persen. Sedangkan, 67 persen guru tidak mampu melakukannya atau masuk dalam kategori kurang dan sisanya sedang.
Di tengah tantangan iklim kebinekaan yang belum membudaya di satuan pendidikan Indonesia, kesadaran dan keberpihakan guru dan tenaga kependidikan pada nilai-nilai keberagaman dan kebinekaan perlu dibangun. Contoh konkret yang baru saja terjadi. Di SD Negeri 02 Cikini, Jakarta Pusat, muncul aturan yang mengharuskan semua siswa mengenakan pakaian muslim saat bersekolah selama Ramadhan. Meski sekolah mengklaim ada salah ketik, tapi aturan itu menuai kontroversi.
Ketua Yayasan Cahaya Guru (YCG) Henny Supolo menilai isu kebinekaan terbukti harus mendapatkan prioritas di satuan pendidikan. Penguatan karakter religius, termasuk dalam pelajaran agama, jangan sekadar mengajarkan pengetahuan yang sebatas ritual, tetapi harus menekankan pada nilai-nilai agama yang saling menghargai dan menghormati keberagaman.
Baca juga: Aturan Berpakaian Muslim bagi Semua Siswa di SDN 02 Cikini Kesalahan Redaksional
Rujukan keberagaman
Oleh karena itu, YGC secara konsisten mengambil aksi untuk menemani para guru menjadi rujukan keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Ada pelatihan bagi para guru lewat Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) agar mereka saling membuka diri dan berjumpa dengan para guru lain yang berbeda sekolah, daerah, agama, ataupun suku agar terbiasa dengan keberagaman. Adapula kunjungan ke berbagai rumah ibadah dan berdialog langsung dengan pemimpin agama yang mampu melepas jauh prasangka yang selama ini tersimpan di benak dan hati.
Hal sederhana dilakukan, seperti para guru dibiasakan untuk mengenal cara berdoa dari agama lain. Guru yang berbeda agama bergantian memimpin doa sesuai keyakinan masing-masing sehingga guru tak hanya mengenal agama yang umum, seperti Muslim dan Kristen/Katolik. Bahkan, para guru bisa mengenal guru-guru dengan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdoa.
Upaya menemani guru untuk mampu menghargai dan menerima keberagaman hingga bisa berkolaborasi awalnya tak mudah. Namun, dengan membuka ruang perjumpaan pada keberagaman, para guru mulai menjadi rujukan keberagaman di dalam kelas dan sekolah masing-masing.
Kunayah, guru SMAN Tegalwaru Purwakarta, peserta SGK 2021, mengaku SGK ini menjadi pengalaman berinteraksi pertama dengan para guru berbagai agama. Dia dari kecil sampai menjadi guru hanya mengenal komunitas Muslim. ”Bahkan, saya dinasihati guru-guru lain supaya berhati-hatilah kalau bergaul dengan guru yang lain,” kata Kunayah.
Kunayah sempat merasa waswas dengan penerimaan guru lain. Ketika SGK dimulai, yang ada justru kesadaran diri, betapa indahnya membuka diri pada keberagaman. Tak hanya kompetensi sebagai pengajar yang semakin dikuatkan, tapi juga menjadi pendidik yang secara sadar mesti menjadi rujukan keberagaman.
”Saya langsung bagikan kepada teman-teman guru pelatihan yang saya dapat selama di SGK. Saya kini bisa menanggapi pesan awal dari teman-teman guru sebelumnya yang bilang berhati-hatilah jika berinteraksi dengan umat lain, menjadi berhatilah (memiliki hati) jika berinteraksi dengan umat lain. Saya berharap makin banyak guru yang mendapat pencerahan lewat SGK,” kata Kunayah.
Sementara itu, Uswatun Khasanah, guru SD Negeri Rajawati 6 Jakarta yang menjadi peserta SGK 2016, membuat simulasi ruang perjumpaan keberagaman dengan simulasi kunjungan ke rumah ibadah di dalam ruang kelas. Uswatun yang Muslim terkesan dengan kunjungan ke berbagai rumah ibadah sehingga ingin mengenalkannya juga kepada siswa.
Untuk mempraktikkan hal itu, Uswatun memanfaatkan kertas bekas yang menumpuk di kantor guna membuat gambar rumah ibadah berbagai agama di pojok kelas. Tiap lima menit anak-anak wajib berputar searah jarum jam supaya bisa bergantian melihat dan memikirkan apa yang dilihatnya.
”Baru simulasi membuat rumah ibadah di dalam kelas saja sudah seru. Apalagi kalau anak-anak bisa berkunjung langsung ke rumah ibadah yang berbeda. Nah, ada anak yang bertanya apa itu Khonghucu karena memang jarang di lingkungan rumahnya dan sekolah,” cerita Uswatun.
Yoseph Marinus, guru SMA Mary Jospeh yang juga ikut SGK, semakin sadar tentang pentingnya menghargai keberagaman serta menjadi contoh bagi para siswa. Di sekolah ada program live in, para siswa mulai dicarikan rumah-rumah penduduk yang berbeda keyakinan.
”Saya pun juga bisa membawanya ke lingkungan sekitar rumah dengan bergaul bersama tetangga yang berbeda agama. Bahkan saat bulan puasa dan Idul Fitri, yang non-Muslim membantu untuk memastikan situasi yang mendukung. Sebaliknya yang Muslim pun menghormati saat perayaan hari besar agama lain. Menghargai keberagaman sama dengan menghormati Tuhan yang menciptakan keberagaman,” kata Yoseph.
Henny menambahkan, menemani para guru untuk mengelola keberagaman ini semakin penting. Semua masyarakat harus menyadari keberagaman agar dikelola dengan baik.
”Bantu guru untuk meningkatkan kapasitas dan mengelola keberagaman di sekolah dan sekitar sebagai berpotensi memajukan bangsa dan negara,” kata Henny.
Secara terpisah, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, Ismunandar, mengatakan, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) menyoroti pentingnya solidaritas global dalam visi pendidikan dunia tahun 2050. Pendidikan disadari harus mampu bertransformasi seiring tantangan umat manusia yang semakin kompleks sebagaimana ditunjukkan oleh pandemi Covid-19. Solidaritas global tersebut dapat terwudud dengan penerimaan pada keberagaman dan berkolaborasi.
Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Amin Abdullah, mengatakan, dokumen UNESCO tentang visi pendidikan 2050 semakin menegaskan pentingnya empati dan simpati dengan siapa pun yang berbeda untuk membangun kolaborasi. Namun, tidak semua penganut agama siap menghadapi kenyataan sosial baru atau pergeseran mendasar dalam hubungan sosial, kultural, dan keagamaan.
Baca juga: Siswa Non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang Mulai Lepaskan Jilbab
Moderasi agama
Pada Studium Generale Kuliah Umum-4078 Institut Teknologi Bandung, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama, Muhammad Ali Ramdhani menyampaikan, salah satu cara menerima keberagaman adalah dengan memperkuat moderasi beragama. Artinya, cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dijalankan dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara.
Menurut Ali, terdapat empat indikator moderasi beragama, yaitu toleransi, anti kekerasan, penerimaan terhadap tradisi, dan komitmen kebangsaan. ”Apabila empat indikator tersebut terpenuhi, kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, damai, dan toleran menuju Indonesia maju bukan lagi menjadi hal mustahil,” ujar Ali.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho menjelaskan, inti dari program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang dilandasi tiga kompetensi adalah kompetensi pribadi, artinya bagaimana kita memahami agama masing-masing dengan baik; kompetensi komparatif, yaitu bagaimana kita memahami agama yang berbeda dari kacamata penganut agama tersebut; dan kompetensi kolaboratif, yaitu bagaimana bekerja sama dengan orang yang berbeda.
Baca juga: Pendidikan Multikultural untuk Merawat Keberagaman Budaya
”Program LKLB adalah sebuah program yang kami kembangkan bersama sejak tahun lalu. Intinya bagaimana kita semakin memperkuat persaudaraan antara sesama sebagai umat manusia walaupun kita berbeda agama dan kepercayaan. Kita bisa bekerja sama untuk kebaikan dan kemanusiaan tanpa meninggalkan karakteristik kita yang berbeda,” kata Matius.