Lindungi Anak dari Rokok, Pemerintah Perlu Hindari Kebijakan Kontraproduktif
Pemerintah diminta tidak menyalahkan dan memberikan sanksi kepada anak yang merokok. Untuk menekan jumlah perokok usia anak, negara perlu memperketat regulasi yang membatasi akses rokok pada anak.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya angka perokok usia anak mencerminkan ketidakhadiran negara melindungi anak dari rokok. Karena itu, pemerintah perlu menghindari kebijakan kontraproduktif dengan menyalahkan anak yang merokok. Pemerintah diharapkan memahami bahwa kebiasaan merokok di usia anak dan remaja karena mereka mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar.
”Negara harus melindungi anak agar tidak merokok, bukan begitu saja menyalahkan anak merokok. Sebab, akar masalah sesungguhnya bukan pada anak, tetapi pada ketidakhadiran negara untuk melindungi anak dari rokok,” kata Ketua Lentera Anak Lisda Sundari saat dihubungi di Jakarta, Senin (8/5/2023).
Lisda berharap pemerintah, termasuk pemerintah daerah, jeli mengambil kebijakan yang tidak kontraproduktif. Sebagai contoh, rencana kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi pelajar yang ketahuan merokok. ”Kami tidak setuju dengan rencana kebijakan Pemprov DKI Jakarta soal pencabutan KJP. Kebijakan ini sangat tidak memihak masyarakat dan justru berpotensi kontraproduktif,” ujarnya.
Kebijakan tersebut menunjukkan seolah-olah anak sebagai pihak yang harus ditertibkan. Padahal, anak hanyalah korban dari kegagalan pemerintah dalam membatasi peredaran rokok. Di sisi lain, kebijakan ini berpotensi merebut hak pendidikan anak. Penerima KJP merupakan anak dari keluarga kurang mampu.
Fenomena remaja
Psikolog dan pemerhati sosial, Tika Bisono, mengutarakan, pemerintah perlu melihat kebiasaan anak merokok sebagai fenomena remaja. Sebab, pada usia remaja, anak cenderung mudah tertarik mencoba hal-hal baru yang dilihat di lingkungannya. ”Meski ada aturan tidak boleh merokok, saat di sekolah para pelajar hampir setiap hari mereka dipertontonkan guru merokok di lingkungan sekolah. Justru aturan seperti ini masih lemah,” ujarnya.
Negara harus melindungi anak agar tidak merokok, bukan begitu saja menyalahkan anak merokok. Sebab, akar masalah sesungguhnya bukan pada anak, tetapi pada ketidakhadiran negara untuk melindungi anak dari rokok.
Dari fenomena ini, seharusnya pemerintah membuat regulasi untuk memperketat akses masyarakat, termasuk anak menjangkau rokok. Baik itu dari iklan, promosi, sponsorship, serta akses mendapat rokok.
Global Youth Tobacco Survey tahun 2019 menyebutkan, anak-anak telah terpapar iklan dan promosi rokok dari berbagai media. Media-media tersebut, antara lain, ialah televisi 65,2 persen, tempat penjualan 65,2 persen, media luar ruangan 60,9 persen, dan internet 36,2 persen.
Dengan demikian, menurut Tika, pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang dimulai dari lingkungan anak. Misalnya, orangtua dan masyarakat dilarang merokok di kawasan ada anak. Selain itu, guru tidak boleh merokok di fasilitas pendidikan. Hal ini mesti didorong dengan melibatkan unsur keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti polisi, satuan polisi pamong praja, hingga unsur RT/RW.
Menurut Lisda, saat ini upaya pemerintah belum terlihat optimal. Hal ini terlihat dari masih mandeknya pembahasan Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Regulasi soal rokok belum diatur diatur secara tegas. Selama ini anak-anak menjadi korban bahaya rokok melalui paparan asap rokok dan gempuran iklan, promosi dan sponsor rokok yang masih masif.
Ketua Tim Kerja Penyakit Paru dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Benget Saragih mengakui, aturan yang termuat dalam PP No 109/2012 tidak seketat aturan yang dibuat di negara lain. Hal itu tampak dari proporsi ukuran peringatan pada bungkus rokok yang masih kecil, media pengiklan belum banyak dilarang, membeli rokok secara ketengan belum dilarang, dan penggunaan rokok elektrik belum diatur.
Dari sejumlah negara, pictorial health warning (PHW) atau peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok paling kecil di Indonesia, yakni 40 persen. Di negara lain, seperti Malaysia, PHW telah mencapai 55 persen, bahkan di Timor Leste mencapai 92 persen.
Sementara Lisda menyayangkan dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang tengah digodok pemerintah justru tidak ada upaya menguatkan pencegahan rokok. Pada bagian ke-25, dalam Pasal 154-158, belum ada aturan jelas yang mengatur perihal iklan rokok. Selebihnya, masih mengikut pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
Selama ini banyak anak merokok karena paparan iklan dan pergaulan. Hal itu terungkap dalam hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) berjudul ”Faktor Pendorong Kekambuhan Merokok (Smoking Relapse) pada Anak di Indonesia: Bukti dari Global Youth Tobacco Survey” (2006-2019). Studi tersebut dilakukan secara kuantitatif dengan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) di Indonesia multitahun, yaitu 2006, 2009, 2014, dan 2019.
Proporsi anak yang kembali merokok lebih tinggi terjadi pada anak yang memiliki teman perokok (88,4 persen), terpapar iklan rokok dari majalah (84,4 persen), dan terpapar iklan rokok di televisi (83,2 persen) (Kompas, 13/4/2023).