Penyeragaman Menyalahi Otonomi dan Kebebasan Akademik
Perguruan tinggi harus dipandang sebagai entitas independen. Perlakuan pada dosen pun harus memberi ruang pada keunikan dan kreativitas yang memungkinkan dosen berkembang menjadi cendekiawan dengan kebenaran.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diingatkan untuk tidak mengabaikan karakter dan keunikan perguruan tinggi dalam membuat kebijakan. Semangat penyeragaman untuk perguruan tinggi menyalahi kodrat otonomi dan kebebasan akademik yang melekat dalam institusi perguruan tinggi yang unik. Perguruan tinggi tidak diatur dengan dasar kekuasaan, tetapi berdasarkan kebenaran.
Seruan agar pemerintah tidak memberlakukan aturan untuk perguruan tinggi dan dosen selayaknya di institusi jawatan atau birokrasi aparatur sipil negara (ASN) lainnya disampaikan sejumlah guru besar di Indonesia dari sejumlah perguruan tinggi di webinar Quo Vadis Pendidikan Tinggi Pasca-Permenpan RB No 1/2023 oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Sabtu (6/5/2023).
Tampil sebagai narasumber Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Parahyangan Johannes Gunawan, Guru Besar Matematika di Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto, dan Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto. Webinar dimoderatori Guru Besar UI Sulistyowati Irianto.
Ketua Bidang Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum UI Lidwina Inge Nurtjahyo mengatakan, Peraturan Menpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional berdampak pada dinamika perguruan tinggi (PT) yang khas dan berbeda dengan lembaga lain. ”Peran PT sebagai lembaga pengembangan riset dan ilmu pengetahuan serta karakter. Jadi, jangan diarahkan pada peran administratif,” katanya.
Sementara itu, Satryo mengatakan, setiap institusi PT unik, seperti UI dan ITB memiliki perbedaan dan karakter. ”Karena itu, jangan pernah membandingkan antarinstitusi, tidak adil. Dan, institusi juga jangan di-ranking. Untuk mematikan kualitas tiap PT, ya, dilihat dari pemenuhan janjinya kepada masyarakat dan bangsa,” kata Satryo.
Satryo menegaskan, hingga kapan pun prinsip otonom dan akuntabel menjadi kekhasan PT sehingga mampu menyejahterakan bangsa dan negara. Dalam penyelenggaran PT, pemerintah wajib mendanai karena tugas pemerintah menyejahterakan bangsa dan negara.
”Hal ini yang belum difasilitasi pemerintah karena berbagai macam kendala. Otonomi akademik dan nonakademik harus utuh. Negara maju karena PT-nya otonom dan akuntabel dan dibiayai negara. Hal ini hanya dapat dicapai dengan status PT sebagai badan hukum,” katanya.
Belajar dari Jepang, ujar Satryo, di tahun 2004, PT milik pemerintah berubah status sebagai badan hukum milik negara. Semua staf akademik PNS langsung dialihkan menjadi non-PNS. Namun, pembiayaan tetap diberikan pemerintah lewat skema blockgrant atau hibah.
Rasa pendidikan tidak ada, yang kental adalah birokrasi pemerintahan.
Menurut Satryo, otonomi berarti instusi PT independen dari negara. PT harus dimurnikan dan dilepaskan dari pengaruh kekuasan, seperti politik dan ekonomi. Tidak bisa seluruh PT seragam seperti halnya persekolahan karena nantinya tidak akan ada pusat studi unggulan dari berbagai bidang yang beragam dan para calon mahasiswa tidak punya pilihan program studi sesuai dengan passion mereka.
Oleh karena itu, PT harus fleksibel organisasinya dan adaptif serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman. PT tidak bisa diatur secara kaku atau rigid agar kampus mampu menjadi konglomerasi pengetahuan yang adaptif serta memberi dosen kebebasan dan insentif untuk maju dan berkembang dengan tujuan pribadinya dan PT dengan cara yang fleksibel.
”Kampus berkembang karena ada orang-orang yang punya kemampuan/keahlian yang luar biasa. Itu yang mengangkat derajat PT, tidak sekadar dari ranking atau menggunakan metrik,” kata Satryo.
Beri ruang
Keunikan tiap PT harus diberi ruang selama tetap berpihak untuk terbentuknya karakter yang beretika, keinginan belajar tinggi, mampu berpikir kritis, berkomunikasi, dan bekerja sama. Pendidikan tetap diarahkan untuk memberdayakan orang dengan memberi nilai tambah, dengan kemampuan berpikir desain, kreatif, kritis, kolektif, kapasitas bekerja sama, kepemimpinan, selain dari berbagai kompetensi.
Johannes mengatakan, Permenpan dan RB No 1/2023 untuk mengatur jabatan fungsional ASN. Di konsideran juga tidak ada dirujuk peraturan bidang pendidikan, terutama pendidikan tinggi dan dosen. ”Rasa pendidikan tidak ada, yang kental adalah birokrasi pemerintahan. Padahal, PT adalah entitas pengembang pengetahuan, bukan kantor, bukan korporasi,” ujar Johannes.
Johannes menilai, Permenpan dan RB yang salah satunya mengatur jabatan fungsional dosen tersebut mengabaikan karakter perguruan tinggi. Ada otonomi perguran tinggi dan kebebasan akademik sehingga pengelolaan dan penyelenggaran PT independen dari kekuasaan politik. Pengelolaan PT jadi lebih kental untuk tunduk pada kekuasaan, bukan pada kebenaran.
”Dengan terbitnya Permenpan dan RB No 1/2023, dosen dianggap administrator di dalam birokrasi. Dosen dikualifikasi sebagai pegawai ASN. Akibat hukumnya, dosen sebagai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintahan. Dosen kalau pegawai ASN harus tunduk kode etik dan perilaku pada pimpinan. Ini sangat bertentangan dengan karakter PT, melandaskan diri pada kebenaran bukan kekuasaan,” papar Johannes.
Iwan Pranoto mempertanyakan mengapa pemerintah sepertinya bernafsu untuk menjalankan regulasi yang menguasai PT. Hal ini terlihat dari pembuatan berbagai aturan dengan nuansa memerintah dan melihat PT sebagai jawatan.
Ia menilai adanya nafsu pemerintah untuk menyeragamkan dan menjadikan sederhana keberagaman di Indonesia. Padahal penyeragaman sudah ditolak di masa Orde Baru dan ada angin segar menuju perubahan dengan ada desentralisasi, tetapi sepertinya menjadi mundur lagi.
Iwan juga menyayangkan tidak ada pimpinan PT, khususnya PTN, yang memprotes kebijakan yang tidak masuk akal tentang pengaturan jabatan fungsional dosen. ”Akibatnya saya jadi berpikir, apa betul di rektorat hari ini punya keinginan untuk berpikir mandiri, memikirkan secara merdeka. Ini yang kita pertanyakan,” ujarnya.
Kekacauan berpikir tentang dosen, terlihat dari penilaian Tri Dharma perguruan tinggi. Tugas pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang harusnya dijalankan PT, kini diturunkan sebagai beban kerja dosen (BKD) tiap semester. ”Ini tirani penyeragaman sehingga sebuah gagasan luhur/tinggi, karena diterapkan dengan semena-mena ke bawah yang tidak memikirkan unsur kebinekaan,” kata Iwan.
Ketidakpercayaan
Iwan merasakan adanya ketidakpercayaan pada dosen. Sebagai contoh di ITB, para dosen harus mendaftarkan kehadirannya dengan menggunakan sidik jari. Kebijakan paradoks untuk kampus yang dikenal sebagai menara sains dan teknologi di negeri ini. Namun, anehnya, mahasiswa boleh mendaftarkan kehadiran secara daring.
”Manajemen dengan kecurigaan harus diubah dengan kepercayaan. Untuk itu, berbineka sejak dalam pikiran harus ada di pemerintah dan pengelola PT,” kata Iwan.
Sigit mengatakan, para dosen di PT sebagai cendekiawan menjalankan pengembangan ilmu pengetahuan yang relevan dengan masyarakat tapi juga berkontribusi pada peradaban global. Pengelolaan PT pun menyeimbangkan hal ini dengan menempatkan otonomi dan fleksibilitas.
Sampai saat ini, pengaturan dari pemerintah justru membelit dosen. Ada diskriminasi dan demoralisasi, termasuk pemberian profesor kehormatan dan perburuan gelar, sehingga adanya indikator kinerja utama.
”Ada penyalahgunaan kekuasaan. Para dosen susah untuk mencapai gelar dan pengakuan, namun orang di luar kampus dengan mudah bisa mendapatkan penghargaan kehormatan tertinggi seperti profesor kehormatan,” kata Sigit.
Sulistyowati mengajak para dosen Indonesia untuk berjuang bersama untuk menuntut perubahan yang berarti. ”Kami mengkhawatirkan warisan dan produksi ilmu pengetahuan ke depan oleh para dosen generasi muda jika PT terus dibirokratisasi,” kata Sulistyowati.