Fokuskan Perhatian pada Peningkatan Kualitas Dosen
Pemerintah diminta serius membenahi kualitas dosen Indonesia. Perubahan kebijakan diharapkan bukan menambah beban administrasi, tetapi memastikan dosen semakin profesional dan sejahtera.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan tinggi Indonesia masih menghadapi masalah yang serius dalam kualitas layanan tridharma perguruan tinggi yang salah satunya dipengaruhi rendahnya kualitas dosen. Peningkatan kualitas, profesionalisme, dan kesejahteraan dosen menghadapi tantangan belum mantapnya ekosistem yang memastikan mereka menjadi pendidik dan ilmuwan andal serta berkelas dunia.
Perubahan kebijakan untuk menjadikan dosen, terutama yang berstatus aparatur sipil negara lewat Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional dimaksudkan untuk mendorong profesi dosen juga lincah dan fleksibel dalam mendukung tujuan perguruan tinggi. Penilaian pada kinerja dosen agar bukan lagi pada hal-hal administratif yang membebani, tetapi tidak berdampak pada kualitas.
Sayangnya, masa transisi pemberlakuan Permenpan dan RB tersebut tidak mulus dan menimbulkan kegaduhan di kalangan dosen. Perguruan tinggi dan para dosen dihadapkan pada kewajiban untuk kembali mengurusi data administratif pendukung guna pengajuan penilaian angka kredit (PAK) yang belum diklaim hingga 31 Desember 2022.
Hal ini agar angka kredit tidak hangus sehingga tetap dapat dipakai untuk kenaikan pangkat/jabatan. Persoalannya, dosen sudah merasa lelah dengan kewajiban mengisi berbagai aplikasi secara berulang untuk kepentingan berbeda. Kebijakan ini akan berdampak pada sekitar 107.000 dosen ASN dan sekitar 204.000 dosen non-ASN.
Menteri PAN dan RB Abdullah Azwar Anas di webinar Sosialisasi Tata Kelola Jabatan Fungsional Dosen di Jakarta, Jumat (14/4/2023), mengatakan, Permenpan dan RB terbaru tentang jabatan fungsional tersebut untuk mendukung kelincahan dan mobilitas ASN secara fleksibel. Karena itu, proses pelayanan publik dan proses bisnis pemerintahan didigitalisasi agar ASN, termasuk para dosen, bergerak untuk mewujudkan reformasi birokrasi berdampak.
”Sudah banyak keluhan untuk mengurus daftar usulan penetapan angka kredit atau dupak, butuh waktu 2-7 hari, bahkan sampai ada yang cuti hanya untuk mengurusi administrasinya. Hal inilah yang dibenahi,” kata Azwar.
Sementara itu, Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PAN dan RB Alex Denni mengatakan, tata kelola dosen mendapat tempat yang signifikan karena jabatan fungsional yang khusus serta mengacu pada UU Guru dan Dosen. Keberadaan dosen ini harus untuk mendukung kinerja organisasi dan perguruan tinggi.
Dosen harus lebih fokus untuk bisa membentuk generasi muda yang diharapkan bangsa dan menghasilkan karya.
Kinerja yang berdampak harus diraih dengan diberikan angka kredit. Pengembangan karir juga memberi ruang untuk para talenta yang mumpuni bisa lebih cepat, perpindahan bisa lintas rumpun, hingga bisa dengan uji kompetensi.
Dipersulit
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat Budi Djatmiko mengakui kualitas dosen Indonesia masih rendah. Selain itu, para dosen masih digaji rendah. Padahal, pemerintah meminta dosen mumpuni dalam penelitian, tetapi dukungan pendanaan masih minim serta ditambah lagi beban administrasi yang tinggi.
“Selama ini, PTS sulit untuk mendapatkan dosen yang berkualitas karena sebagian besar PTS kecil yang kemampuan keuangannya juga terbatas. Pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi dosen untuk menambah kesejahteraan. Tapi kalau terus dipersulit juga dengan berbagai administrasi, ya tidak ada gunanya,” kata Budi.
Budi mengingatkan bangsa yang tidak memperhatikan pendidikan dan pendidiknya akan mengalami kemunduran. Karena itu, anggaran 20 persen pendidikan harus dipastikan untuk mendukung prioritas pada peningkatan mutu layanan pendidikan serta guru/dosen. Termasuk memberikan dukungan untuk PTS secara optimal, bukan dianaktirikan.
Sementara itu, Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Ganefri yang juga Rektor Universitas Negeri Padang meyakini pemerintah ingin mengajak perguruan tinggi bertransformasi lebih baik dengan digitalisasi. Namun, di tahap awal memang ada “ketidaknyamanan”, semisal dengan membenahi database para dosen dan pegawai di PT agar ke depan semakin baik. Dengan sistem baru, nantinya ada perubahan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsional akan otomatis sehingga dosen bisa lebih fokus untuk peningkatan kualitas.
Ketua Umum Ikatan Dosen Katolik Indonesia Agustinus Purna Irawan, rektor Universitas Tarumanagara Jakarta, mengatakan pembinaan karir dosen, baik di PTN maupun PTS, harus menjadi perhatian serius dari pemerintah dan perguruan tinggi. Namun, selama ini yang dilakukan dengan mewajibkan dosen menyampaikan administrasi yang berbeda di beragam sistem dari di perguruan tinggi, Diktiristek, maupun lembaga layanan dikti (untuk PTS). Sayangnya, database dosen yang beragam tersebut belum terintegrasi.
”Dosen harus lebih fokus untuk bisa membentuk generasi muda yang diharapkan bangsa dan menghasilkan karya. Bukan dihadapkan dengan berbagai kebijakan administrasi yang berubah-ubah dan membuat dosen tidak fokus,” ujar Agustinus.
Menurut dia, kondisi dosen di tiap perguruan tinggi bervariasi. Bahkan ada dosen yang belasan tahun tidak mempedulikan soal kenaikan pangkat/jabatan fungsional.
”Ini jadi momentum bagi pemerintah dan perguruan tinggi untuk membenahi ekosistem guna membuat pengembangan karir dosen semakin lebih baik,” ujar Agustinus.
Perjuangkan status
Peningkatan karir dosen ini di sejumlah perguruan tinggi juga terkait dengan status dosen. Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Ikatan Dosen Tetap Non-PNS Muhtarom mengatakan ada ribuan dosen tetap non-PNS yang diangkat pemerintah untuk kebutuhan dosen di PTN berstatus satuan kerja dan badan layanan umum (BLU) yang terancam masa depannya. Padahal, jumlah dosen yang dipenuhi lewat pengangkatan PNS kurang. Namun, kebijakan pemerintah membuat dosen yang dikontrak lewat Kemendikbudristek dan Kementerian Agama terancam.
Muhtarom mengatakan, para dosen tetap dengan status non-PNS pada 2022 diikutkan uji calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), sebanyak 9.400 di bawah Kemendikbudristek dan 3.400 di bawah Kementerian Agama. Sekitar 45 persen tidak lulus tes.
”Tesnya umum, tidak ada afirmasi untuk masa kerja maupun sertifikasi dosen. Padahal para dosen ini sudah lama mengajar dan dibayar rendah, ada Rp 1,8 juta per bulan atau Rp 2,1 juta per bulan. Namun, keberpihakan pemerintah untuk mengutamakan pengangkatan lewat PPPK tidak optimal. Beginilah dosen diperlakukan secara tidak adil,” kata Muhtarom, dosen di UIN Palembang.