Kemampuan untuk menggerakkan perubahan penting dimiliki generasi muda sejak dini. Kini, semakin banyak anak muda yang berkontribusi untuk mengatasi masalah di sekitar mereka.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Dunia kian menghadapi masalah yang kompleks. Kita membutuhkan kemampuan untuk berempati pada masalah-masalah sosial yang ada di sekitar dan memimpin perubahan dengan tindakan nyata.
Pendiri Ashoka Foundation Bill Drayton yang hadir secara daring dalam acara bertajuk ”Indonesia Emas 2045: (Re) Definisi Sukses Pendidikan Anak Muda” yang digelar Ashoka di Jakarta, Kamis (4/5/2023), meyakini tidak ada masalah di dunia yang tidak selesai jika bermunculan para pembaharu muda. ”Karena itu, penting agar anak-anak mengalami sendiri mimpi untuk memimpin perubahan. Setiap anak dapat menjadi pembaru,” kata Bill.
Keyakinan Bill bahwa di dalam diri tiap orang ada kekuatan pembaru ditunjukkan salah satu finalis Ashoka Young Changemakers (AYC) 2023, Bhre Bhawana Praja Kamula (10) asal Surabaya, Jawa Timur. Bhre Bersama Otis Community menciptakan masyarakat bebas sampah dengan mendaur ulang puntung rokok menjadi kerajinan tangan.
Bhre tetap seperti anak-anak SD lain yang suka bermain sepak bola di lapangan. Namun, ia resah dengan puntung rokok yang banyak berceceran. Setelah mengadakan riset bersama ayahnya, Bhre menjadi sadar bahwa puntung rokok adalah salah satu sumber limbah terbesar yang berisiko tinggi untuk kesehatan serta lingkungan.
Terpantik oleh hal ini, ia mengajak teman-temannya membersihkan lapangan bola dengan mengumpulkan puntung rokok di akhir pekan. Bhre mengembangkan insiasi ini menjadi komunitas Otis, yang berarti ”puntung rokok” dalam bahasa slang Surabaya. Mereka melakukan sosialisasi tentang bahaya membuang sampah sembarangan di sekolah-sekolah.
”Hingga saat ini, kami sudah bekerja sama dengan 15 kafe lokal dan mengumpulkan 30.000 puntung rokok yang sudah disulap menjadi lebih dari 100 kerajinan tangan serta lukisan,” tutur Bhre.
Lain Bhre lain pula cerita Adkhilni Mudkhala Shidqie (16) dari Bandung, Jawa Barat. Ia punya kerinduan mengajak anak-anak yang gemar bermain gim menjadi suka bermain bersama di luar ruangan. Lalu, Shidqie pun mengagas AyoMaen untuk mendorong anak-anak bermain di luar ruangan dan diet gawai demi perkembangan sosial, kognitif, dan fisik mereka.
Shidqie suka bermain gim di gawai, tetapi ia juga menyadari bahwa lingkungan sekitarnya sepi karena anak-anak jarang bermain di luar. Ia menemukan fakta bahwa rata-rata anak Indonesia menghabiskan 5,5 jam untuk bermain gawai, lebih lama dibandingkan waktu yang disarankan, yakni maksimal 2 jam sehari.
Shidqie pun mencari solusi. Ia membuat jadwal mingguan yang disebut ”AyoMaen” di tahun 2017 untuk tetangga sekitarnya dengan dukungan orangtua dan guru.
Setelah berhasil dengan inisasinya selama dua tahun, Shidqie dan 10 temannya melebarkan ke konsep ide ekowisata. Anak-anak dapat bermain dan belajar di alam. Mereka mengorganisasi aktivitas di lingkungan sekitar dan pesantren, bahkan membuat paket tur untuk sekolah lain. Selain itu, mereka meluncurkan ”Diet Gadget”, sebuah modul untuk membantu orangtua dan guru mendorong kegiatan anak di luar rumah.
”Saya senang AyoMaen sudah memberikan dampak positif untuk ribuan anak di berbagai provinsi di Indonesia,” kata Shidqie.
Bre dan Shidqie merupakan bagian dari 14 anak muda usia 11-19 tahun dari 9 provinsi di Indonesia yang terpilih menjadi finalis Ashoka Young Changemaker 2023. Dengan cara yang kreatif, mereka melibatkan anak-anak muda lain dan memantik kegembiraan sehingga menggerakkan perubahan dengan dampak yang amat beragam.
Ada yang mulai dari mencegah pernikahan dini, menggalakkan literasi termasuk bagi penyandang disabilitas, mengurangi kecanduan gawai, mencegah kekerasan berbasis jender, dan membantu rekan sebaya menemukan potensi diri mereka.
Berangkat dari empati
Pemilihan AYC merupakan bagian dari kerja Ashoka membuka paradigma baru bahwa kemampuan menggerakkan perubahan merupakan kunci tumbuh kembang anak muda yang memampukan mereka menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah. Ke-14 finalis AYC telah membuktikan bahwa inisiatif kreatif yang menjawab masalah-masalah sosial bisa datang dan dikembangkan oleh anak-anak muda pada usia yang amat belia. Mereka berasal dari sembilan provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Jambi, Banten, Kalimantan Barat, dan Maluku
Berangkat dari empati akan masalah yang dihadapi komunitas atau orang-orang di sekitarnya, 14 kandidat AYC yang berumur 10-19 tahun ini lalu membentuk tim dan merancang inovasi sosial yang menggerakkan perubahan bagi masyarakat di sekitarnya.
Para kandidat ini terpilih dari 164 pendaftar melalui seleksi bertahap yang melibatkan para pemuda pembaharu dan pemimpin Ashoka dari seluruh dunia. Para kandidat akan memasuki tahap akhir yaitu panel final yang melibatkan tokoh-tokoh dari berbagai bidang.
Direktur Ashoka Asia Tenggara Nani Zulminarni memaparkan, Ashoka menyadari bahwa setiap anak harus dapat tumbuh berkembang menjadi pembuat solusi, pemimpin pembaru, dan kontributor aktif bagi masyarakat yang lebih adil, setara, berkelanjutan, dan sejahtera.
Kemampuan menggerakkan perubahan merupakan kunci tumbuh kembang anak muda yang memampukan mereka menghadapi tantangan zaman yang selalu berubah.
Di Indonesia, selain mengadakan pemilihan AYC, Ashoka juga bekerja sama di bidang tumbuh kembang anak muda untuk memastikan anak-anak muda mendapat dukungan untuk mengembangkan wawasan dan keterampilan mereka menggerakkan perubahan. Lebih dari 3.800 wirausaha sosial dari 93 negara di dunia telah tergabung sebagai Ashoka Fellows. Sebanyak 205 orang di antaranya berasal dari Indonesia.
”Untuk memanfaatkan bonus demografi dan menyongsong Indonesia Emas 2045, kita harus mengusahakan agar setiap anak di Indonesia memiliki empati dan dapat berlatih menjadi penggerak perubahan sejak dini. Sebab, kemampuan menggerakkan perubahan ini merupakan keterampilan kunci di era yang penuh perubahan ini,” kata Nani.