Tren kewirausahaan sosial kian menjamur. Meski kontribusi terhadap PDB tidak terlalu signifikan, tren ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sifat kedermawanan menjadi modal sosial penting yang dapat menopang pemulihan ekonomi Indonesia di tengah krisis. Potensi ini dapat dimaksimalkan lewat inisiatif kewirausahaan sosial untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, Minggu (16/5/2021), mengatakan, saat pandemi, di tengah krisis kesehatan dan resesi ekonomi yang memperparah ketimpangan sosial, tren kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) semakin menjamur. Rasa solidaritas yang tinggi itu juga tampak selama bulan Ramadhan dan Lebaran sebagai momentum untuk berbagi.
Tren kewirausahaan sosial ini juga ditopang dengan bergesernya perilaku masyarakat dalam berbelanja. Survei Inventure Consulting pada Maret 2021 menyoroti bangkitnya kesadaran berbelanja yang lebih bijak, salah satunya lewat belanja produk lokal. Tren ini didorong dua faktor. Pertama, harga produk asing yang lebih mahal akibat disrupsi perdagangan global. Kedua, empati dan sentimen tolong-menolong antarkomunitas yang bangkit selama pandemi.
Tren kewirausahaan sosial ini juga ditopang dengan bergesernya perilaku masyarakat dalam berbelanja.
Sebut saja, misalnya, sekelompok anak muda yang memberdayakan petani kopi Indonesia lewat Belift Dogiyai. Mereka menyerap dan menjual kopi petani asal Dogiyai, Papua. Para petani dibekali dengan akses pasar, sumber daya finansial, dan pengetahuan tentang proses pascapanen. Hasil penjualan dikembalikan lagi kepada petani.
Ada pula sejumlah usaha rintisan (start up) digital di sektor pertanian dan perikanan yang bertujuan memberdayakan petani dan nelayan dalam negeri dalam menjual hasil panen dan tangkapnya, baik melalui pembiayaan modal kerja, akses pasar, maupun edukasi dan pendampingan. Misalnya, Tani Hub, Aruna, dan Kedai Sayur.
Esther menambahkan, percepatan digitalisasi di era pandemi juga mendorong maraknya usaha-usaha berbasis sosial. ”Dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi, social entrepreneurship menjadi lebih hidup karena mampu menjangkau lebih banyak orang. Ini juga didorong oleh perilaku konsumen yang sudah bergeser dari luring ke daring, serta lebih bijak dan peka sosial dalam berbelanja,” katanya.
Oleh karena itu, Esther menilai, tren kewirausahaan sosial tidak akan cepat mati, bahkan akan semakin berkembang. Usaha jenis ini juga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas meski kontribusinya secara kuantitas pada produk domestik bruto (PDB) belum tentu signifikan.
”Kontribusinya adalah masyarakat yang selama ini berkekurangan, dapat terbantu. Mereka yang tidak bekerja, bisa memperoleh pendapatan tambahan. Namun, social entrepreneurship ini termasuk sektor informal dan umumnya berskala kecil yang sumbangannya memang tidak terlalu besar terhadap PDB,” ucap Esther.
Usaha jenis ini juga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas meski kontribusinya secara kuantitas pada produk domestik bruto (PDB) belum tentu signifikan.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton Supit menyampaikan otokritik atas kontribusi dunia usaha dan industri besar pada kebersamaan sosial di masyarakat. Menurut dia, kesan solidaritas tinggi yang ada di Indonesia pada prinsipnya lebih banyak tampak di antara sesama masyarakat.
”Ketika dunia menilai kita dermawan, itu lebih banyak cerminan dari masyarakat kita yang memberi dari kekurangan, bukan dari pengusaha yang seharusnya bisa memberi dari kelebihan,” kata Anton.
Anton menambahkan, dunia usaha dan para konglomerat belum maksimal berperan mendorong pertumbuhan ekonomi lewat aksi filantropi yang ideal dan berdampak atau usaha-usaha yang bersifat sosial. Kebanyakan usaha mereka masih berorientasi pada laba belaka.
”Kedermawanan yang sebenar-benarnya adalah memberi tanpa pamrih. Kalau memberi dengan harapan pencitraan karena disorot media atau pemerintah atau sekadar kewajiban CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) karena sudah mengambil banyak dari masyarakat, apakah itu bisa dianggap filantropi,” ungkap Anton.
Masih banyak pengusaha besar yang mengatasnamakan aksi sosial untuk kepentingan ekonomi belaka.
Anton mengakui, masih banyak pengusaha besar yang mengatasnamakan aksi sosial untuk kepentingan ekonomi belaka. Namun, dalam praktik kesehariannya, belum tentu menunjukkan jiwa kedermawananan itu kepada pekerjanya, apalagi kepada masyarakat sekitar.
Masih ada perusahaan yang menggusur tanah tempat masyarakat tinggal untuk membangun pabrik dan ekspansi bisnis, kemudian ”memberi” pada masyarakat lewat aksi-aksi tanggung jawab sosial perusahaan. Hal seperti itu, menurut Anton, tidak bisa dipandang sebagai sikap dermawan dari kalangan pengusaha.
”Jika pengusaha memberi untuk masyarakat di lingkungan sekitar pabrik, itu sebaiknya bukan karena atas dasar tidak ingin diganggu, melainkan karena memang punya kepedulian terhadap orang-orang yang membutuhkan di sekitar. Ada pengusaha yang memang sudah memberi dengan jujur dan tulus, tetapi mungkin tidak banyak,” kata Anton.