WHO Putuskan Fase Darurat Penanganan Covid-19 Berakhir
WHO telah memutuskan untuk mengakhiri fase darurat dari penularan Covid-19. Meski begitu, upaya mitigasi dan kewaspadaan masih harus berlanjut, termasuk untuk Indonesia yang tengah mengalami kenaikan kasus.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memutuskan situasi penularan Covid-19 bukan lagi sebagai kedaruratan kesehatan global (PHEIC). Meski demikian, kewaspadaan masih diperlukan. Pencabutan status tersebut juga diharapkan tidak mengurangi perhatian Pemerintah Indonesia dalam mengendalikan Covid-19.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers di Geneva, Swiss, Jumat (5/5/2023) waktu setempat, mengatakan, pandemi Covid-19 menunjukkan tren penurunan, baik pada kasus baru maupun kasus kematian. Tekanan pada sistem kesehatan pun berkurang. Selain itu, kekebalan komunitas atas penularan Covid-19 juga meningkat di tingkat global.
Hal itu membuat sebagian besar negara dapat hidup seperti sebelum pandemi Covid-19 terjadi. ”Oleh karena itu, dengan harapan besar, saya menyatakan Covid-19 berakhir sebagai darurat kesehatan global. Namun, itu tidak berarti Covid-19 berakhir sebagai ancaman kesehatan global,” tuturnya.
Keputusan WHO untuk mencabut status kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC) telah mempertimbangkan berbagai hal. Analisis yang cermat berdasarkan bukti dan data pun dilakukan dalam pengambilan keputusan tersebut antara Komite Kedaruratan dan WHO.
Tedros mengungkapkan, meski status kedaruratan global telah dicabut, kewaspadaan masih diperlukan terhadap penyebaran Covid-19. Penularan Covid-19 masih terjadi di masyarakat. Risiko munculnya varian baru yang dapat memicu lonjakan kasus dan kematian masih bisa terjadi. Dampak dari kondisi pasca-penularan Covid-19 yang dialami sebagian orang juga tetap ada. Untuk itu, upaya kesiapsiagaan dan respons dalam penanganan Covid-9 harus tetap dilakukan bersama dengan penanganan penyakit menular lainnya.
Dengan harapan besar, saya menyatakan Covid-19 berakhir sebagai darurat kesehatan global. Namun, itu tidak berarti Covid-19 berakhir sebagai ancaman kesehatan global.
”Pada satu tingkatan, ini merupakan momen perayaan. Namun, di tingkatan lain, ini merupakan momen refleksi. Covid-19 telah meninggalkan luka bagi kita sehingga dari bekas luka itu kita harus terus diingatkan akan potensi munculnya virus baru dengan konsekuensi yang menghancurkan,” tutur Tedros.
Harapannya, kendala dalam penanganan Covid-19, mulai dari kurangnya koordinasi, kurangnya kesetaraan, dan kurangnya solidaritas di tingkat global tidak terjadi lagi. Pengalaman dalam penanganan Covid-19 harus menjadi pembelajaran untuk menjadi lebih baik.
WHO saat ini menyiapkan Rencana Kesiapsiagaan dan Respons Strategis Penanganan Covid-19 Tahun 2023-2025. Rencana tersebut akan menjadi pedoman dalam pengelolaan jangka panjang pandemi SARS-CoV-2. Sementara menunggu pedoman tersebut, setiap negara disarankan untuk terus mengikuti rekomendasi sementara yang dikeluarkan WHO.
Dalam kesempatan sama, Ketua Komite Kedaruratan Profesor Didier Houssin mengungkapkan, pencabutan status PHEIC bukan berarti sistem penanganan yang selama ini sudah terbangun harus dihentikan. Upaya untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi selama pandemi tetap harus dijalankan. Sistem kesehatan pun harus diperkuat dengan melanjutkan komunikasi risiko secara aktif dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam sistem penanganan kesehatan.
Pendekatan ”One Health” sebagai upaya kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi berikutnya juga perlu dilakukan secara optimal. Houssin pun berharap agar upaya pengawasan dan respons Covid-19 bisa masuk dalam program kesehatan rutin.
Situasi di Indonesia
Secara terpisah, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyampaikan, pencabutan status kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional terhadap Covid-19 bisa diterjemahkan sebagai berakhirnya status pandemi Covid-19 di tingkat global. Artinya, kebijakan pencegahan dan pengendalian Covid-19 kini dikembalikan pada masing-masing negara.
”Setiap negara di dunia sekarang memiliki tanggung jawab yang lebih. Penanganan Covid-19 perlu dilakukan sesuai dengan situasi yang berkembang di masing-masing negara. Jadi, setiap negara harus berupaya untuk memastikan Covid-19 di wilayahnya tetap terkendali dan memastikan kemampuan testing, tracing, treatment (tes, pelacakan, dan terapi), serta vaksinasi tetap terjamin,” tuturnya.
Hermawan mengimbau agar pencabutan status PHEIC oleh WHO tidak melemahkan upaya pengendalian Covid-19 di Indonesia di tengah situasi penularan yang justru meningkat. Pemerintah perlu segera menyiapkan peta jalan nasional dalam upaya pengendalian Covid-19 untuk jangka waktu yang panjang.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia masih meningkat. Kenaikan kasus tersebut diiringi dengan peningkatan perawatan pasien di rumah sakit. Berdasarkan data RS Online per 3 Mei 2023, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) rumah sakit secara nasional sebesar 8,1 persen dari 42.293 tempat tidur yang tersedia. Pada dua pekan sebelumnya tingkat BOR sekitar 4 persen.
Sebanyak lima rumah sakit bahkan mengalami peningkatan keterisian tempat tidur lebih dari 50 persen. Itu antara lain, RS Umum Pusat (RSUP) Dr M Djamil Padang, RS Dr Tadjuddin Chalid Makassar, RSP Dr Ario Wirawan Salatiga, RSUP Prof Dr R D Kandou Manado, dan RSUP Dr Kariadi Semarang.
Terkait hal itu, masyarakat diimbau agar tidak lengah dan terus memperketat protokol kesehatan. ”Semua pihak harus memahami bahwa dengan tingkat pergerakan masyarakat yang semakin tinggi, maka risiko penularan juga semakin tinggi. Namun, risiko itu bisa dicegah jika masyarakat patuh dan disiplin menjalankan protokol kesehatan,” tuturnya.