Dunia Pendidikan Serukan Netralitas dan Menolak Politik Identitas
Memasuki tahun politik menuju Pemilu 2023, dunia pendidikan diajak untuk netral dan tidak terlibat politik praktis. Dunia pendidikan ikut menolak politik identitas.
JAKARTA, KOMPAS — Tahun 2023 Indonesia mulai memasuki tahun politik untuk persiapan Pemilihan Umum 2024. Dunia pendidikan dari kalangan guru dan dosen menyerukan ajakan untuk tetap netral dan menolak politik identitas.
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim di Jakarta, Jumat (5/5/2023), mengatakan, mengajak para guru dan organisasi guru tidak terjebak pada politik praktis. Apalagi hal itu sampai membawa peserta didik, warga sekolah, madrasah, ataupun satuan pendidikan lain terjebak dalam kampanye politik praktis.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Satuan pendidikan harus netral dan bersih dari politik elektoral, seperti kampanye. Organisasi guru dan guru pada khususnya harus bersikap cerdas dan bijak dalam menghadapi tahun pemilu,” katanya.
PGRI berharap para guru bersikap profesional dan menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyambut pesta demokrasi yang semaraknya sudah berlangsung saat ini.
Satriwan mengimbau, siapa pun tidak boleh membawa atau mengklaim, guru memilih calon presiden tertentu. Organisasi guru jangan memolitisasi guru, memobilisasinya dalam kampanye menjadi ”vote getter”, misalnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Penguru Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi juga menegaskan sikap organisasasinya yang netral dan menolak politik identitas. PGRI berharap para guru bersikap profesional dan menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyambut pesta demokrasi yang semaraknya sudah berlangsung saat ini.
Politik identitas
Sementara itu, di acara penutupan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 atau konferensi tahunan bidang studi Islam yang digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya pada Kamis (4/5/2023) menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya. Ada enam rumusan Surabaya Charter, salah satunya menegaskan penolakan terhadap politik identitas.
”Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama,” kata Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki.
Konferensi AICIS dibuka oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan ditutup oleh Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi. Kegiatan ini diikuti para akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Forum ini menampilkan 180 paper pilihan yang terbagi menjadi 48 kelas paralel. Tema yang diangkat pada gelaran tahun ini adalah Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.
Surabaya Charter, kata Ahmad, bertujuan menjawab tiga hal, yakni bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan; dan bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain. Selanjutnya, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai.
Rekomendasi Piagam Surabaya berisikan pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Baca juga: Piagam Surabaya AICIS Tolak Politik Identitas
Selanjutnya, keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan obyek yang pasif. ”Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” kata Ahmad.
Islamofobia
Secara terpisah, di acara International Panel Discussion Cross-Cultural Religious Literacy (CCRL) bertemakan ”Islamophobia and Antisemitism in The World” yang diadakan oleh Masjid Istiqlal bekerja sama dengan Institut Leimena di Aula Al Fattah Masjid Istiqlal dinyatakan bahwa Islamofobia dan antisemitisme sebenarnya memiliki kesamaan ciri sebagai wujud kebencian yang tidak berdasar terhadap agama atau kelompok tertentu. Sikap kebencian semacam itu perlu ditepis dengan seperangkat kompetensi dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) untuk membantu berelasi dengan orang yang berbeda agama.
Baca juga: Pisahkan Pendidikan dari Politik Praktis
Hadir dalam acara ini 16 perwakilan dari kedutaan besar negara asing, termasuk para duta besar dari Uni Emirat Arab, Oman, Mesir, Pakistan, Moroko, Tunisia, Sudan, Lebanon, Aljazair, Suriah, Yaman, dan Iran, serta Direktur Timur Tengah Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih.
Direktur Hubungan Muslim-Yahudi American Jewish Committee (AJC) Ari Gordon mengatakan, antisemitisme adalah kebencian terhadap Yahudi yang berlangsung sejak lama, baik kebencian sebagai Yahudi sebagai individu, Yudaisme sebagai agama, atau Yahudi secara kolektif. Ari menyatakan, baik Islamofobia maupun antisemitisme sebenarnya memiliki kesamaan ciri.
”Kami melihat koneksi sangat dekat antara Islamofobia dan antisemitisme di Amerika Serikat (AS). Ada penelitian membuktikan bahwa orang yang membenci orang Yahudi, 32 kali lipat lebih mungkin juga memiliki sikap Islamofobia. Jadi jika Anda antisemitisme, Anda juga Islamofobia,” kata Ari.
Ari menjelaskan, AJC merupakan lembaga no-politik, di mana dia memimpin inisiatif untuk mendorong kerja sama antara agama Islam dan Yahudi, termasuk memerangi Islamofobia dan antisemitisme. Ari mengatakan banyak persoalan dunia yang memecah belah Islam dan Yahudi, tetapi sebagai kelompok minoritas di AS, keduanya memiliki kepentingan sama.
”Saya amati dalam 10 tahun terakhir, diskursus publik tentang Islam dan Yahudi menggunakan identitas kita untuk tujuan politik, tapi tidak untuk manfaat kita. Kita dipecah, orang-orang menggunakan identitas dan prasangka tentang kita untuk memecah belah dan memajukan kepentingannya,” ujar Ari.
Senior Fellow Institut Leimena Alwi Shihab mengatakan, Islamofobia sudah ada sejak abad pertengahan, tetapi muncul secara masif setelah Serangan 11 September 2021 atau 9/11 di AS. ”Ada ciri yang dikemukakan ahli-ahli bahwa seseorang yang ingin menjalin hubungan baik dengan pihak lain harus memiliki tiga kompetensi, yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif,” kata mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tersebut.
Baca juga: Menjaga Kaum Muda dari Incaran Ekstremisme Agama
Alwi menjelaskan, ketiga kompetensi tersebut merupakan intisari dari LKLB. Kompetensi pribadi adalah bagaimana seseorang kembali mengacu pada ajaran agamanya dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama. Adapun kompetensi komparatif, yaitu mengenal ajaran agama lain untuk membangun relasi dengan orang yang berbeda agama.
Dalam LKLB, kompetensi komparatif berfokus pada tiga agama Samawi, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi, karena menjadi mayoritas agama penduduk dunia dan kerap terjadi konflik di antara ketiganya. Terakhir, kompetensi kolaboratif, yakni kompetensi untuk membangun kerja sama dengan pihak lain.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan, teologi yang menekankan pada perbedaan, bahkan kebencian, seharusnya sudah ditinggalkan dan diganti dengan teologi cinta. Islam sejak awal menekankan aspek titik temu, bukan perbedaan (kalimatun sawa).
Nasaruddin mengatakan, tugas kita di masa depan adalah menciptakan generasi yang lebih solid untuk menghadapi tantangan yang semakin berat seiring dengan krisis sumber daya alam. ”Kita perlu ditopang kerja sama antarwarga, antarkultur, antaragama, bagaimana memerangi problem-problem masa depan bersama, seperti krisis global, krisis lingkungan, dan berbagai macam krisis kemanusiaan, seperti kelaparan, kriminalitas, dan populasi penduduk,” kata Nasaruddin.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan, ujaran kebencian yang di antaranya bersumber dari Islamofobia dan antisemitisme perlu diatasi dengan menyelesaikan akar permasalahannya. Salah satunya adalah kurang mengenal satu sama lain sehingga pola pikir hanya terbentuk dengan informasi-informasi yang belum tentu akurat dan menganggap orang yang berbeda sebagai ”musuh”.
”Program LKLB yang digagas Institut Leimena dan lebih dari 12 lembaga lainnya, termasuk Masjid Istiqlal, dalam kurun dua tahun sudah melatih lebih dari 4.000 guru madrasah dan sekolah dari 34 provinsi di Indonesia. Dari program ini, kita belajar saling pengertian, menghormati perbedaan, dan tidak hanya berhenti pada dialog, melainkan menuju kolaborasi,” kata Matius.