Orangtua dan Guru Berperan dalam Pengembangan Talenta Anak
Dalam membantu mengembangkan talenta anak, seharusnya orangtua ataupun guru cukup menjadi mentor, fasilitator, dan konsultan.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Membantu mengembangkan talenta anak menjadi tugas semua pihak, mulai dari guru, orangtua, hingga orang lain di lingkungannya. Pendamping terdekat, yakni orangtua dan guru, harus mampu mendampingi anak dalam menggali potensi minat dan bakat. Cara mendidik yang terlalu mengekang harus ditinggalkan.
”Orangtua ataupun guru cukup menjadi mentor, fasilitator, dan konsultan,” kata psikolog dan pemerhati sosial, Tika Bisono, dalam seminar pendidikan di Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Sebagai mentor, guru dan orangtua menjadi kurator sekaligus penyampai informasi-informasi positif. Informasi atau pesan yang disampaikan diupayakan relevan dengan anak.
Kemudian, ketika menjadi seorang fasilitator, orangtua dan guru bertindak sebagai orang yang menyalurkan ide-ide yang akan dilakukan anak. Bentuk-bentuk penyampaiannya harus obyektif sehingga anak mendapat kemudahan untuk memutuskan. Di sisi lain, anak berhak menyampaikan hal-hal yang dialami, sehingga pengambilan keputusan tidak satu pihak.
Adapun ketika menjadi seorang konsultan, orangtua dan guru hanya berada di belakang anak. Dalam situasi seperti ini, mereka hanya berbicara ketika anak meminta pendapat atau masukan.
”Idealnya hal seperti ini dilakukan saat usia anak sedini mungkin. Bisa saja apa yang di benak anak lebih brilian,” ujar Tika.
Sementara itu, menurut Ketua Asosiasi Pendidikan Nonformal Informal PGRI Mercy Sihombing, sekolah masa kini dan masa depan harus memberikan kesempatan dan peluang eksplorasi serta berekspresi. Hal-hal tersebut bisa menumbuhkan bakat dan minat anak untuk menjadi pembelajar yang aktif kreatif, inovatif, produktif, serta memiliki daya juang terhadap perubahan dan tantangan masa depan.
Mercy melihat angin segar pada semangat Merdeka Belajar yang memberi banyak ruang praktisi masuk dalam pendidikan formal. ”Agar bakat anak sesuai dan tumbuh cepat, praktisi yang berkompeten harus banyak masuk sebagai tenaga pengajar,” ucap Mercy.
Selain itu, peluang lain hadir dalam Kurikulum Merdeka yang memberi ruang bagi sekolah untuk merdeka dan bebas mengembangkan pendidikan kontekstual. Hal ini membuat orangtua bisa memilih sekolah dalam bentuk homeschooling yang sesuai dengan pengembangan minat dan bakat anak.
”Ini alasan kami membuat terbosan Merdeka Belajar. Dulu, guru-guru diikat dengan berbagai peraturan yang kaku. Sekarang, lebih bebas berinovasi di kelas dengan hadirnya Kurikulum Merdeka,” kata Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarin dalam sebuah pertemuan dengan perkumpulan Alumni Amerika Serikat di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Tantangan
Namun, di antara berbagai peluang yang ada dalam era teknologi yang pesat dan Merdeka Belajar, orangtua dan guru harus tetap berhati-hati. Teknologi yang tidak luput dari berbagai sisi negatif ini harus dikelola dengan bijak oleh guru dan orangtua sehingga berdaya guna tepat pada anak.
”Teknologi itu bak pisau bermata dua. Di era AI (artificial intelligence) bisa saja anak menjadi terbiasa dengan hal instan untuk memecahkan masalah,” kata Tika.
Selain itu, menurut Tika, pesan-pesan positif yang disampaikan pemerintah melalui Merdeka Belajar juga belum menjangkau semua kalangan. Apalagi, masyarakat di wilayah dengan akses internet minim masih banyak mempraktikkan kebiasaan lama yang menghambat talenta anak.