MBKM dan Kebebasan Akademik Tidak Boleh Dipisahkan
MBKM mendorong mahasiswa untuk memperoleh pengalaman belajar di luar program studi atau di luar kampus. Namun, tidak semua mahasiswa memiliki keinginan untuk menambah SKS dan bergabung di prodi lain.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM seharusnya tidak sekedar sebuah kebebasan mahasiswa untuk keluar program pendidikan atau universitas demi menimba ilmu baru. Program tersebut harus dimaknai secara mendalam dengan tetap mengakui kebebasan akademik.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana Prakasa mengatakan, penerapan MBKM memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam sisi positif, MBKM akan menciptakan rasa kompetitif, baik antar mahasiswa maupun dosen di dalam aktivitas Tri Dharma perguruan tinggi.
Namun, di sisi lain, MBKM juga dapat menimbulkan tantangan baru, bagaimana perguruan tinggi dapat adaptif dalam menyusun kurikulum dan berbagai macam media pembelajaran yang tepat bagi mahasiswa. "Ini harus menjadi konsentrasi bersama dari seluruh universitas. Merdeka belajar dan kebebasan akademik merupakan dua hal yang tidak boleh dipisahkan," tutur Satria, Rabu (3/5/2023).
Selain itu, konversi satuan kredit semester atau SKS harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan transparan sehingga ada keselarasan antara program yang dijalankan dan keahlian yang dimiliki mahasiswa. Nantinya, dosen dapat melihat kemampuan apa yang sebenarnya dimiliki mahasiswa.
Saat ini, sudah terdapat 24 episode Merdeka Belajar yang telah diluncurkan Kemendikbudristek untuk menuntun kepada pendidikan yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara. Kebijakan ini bagi perguruan tinggi mengubah beberapa hal, seperti sistem akreditasi perguruan tinggi, hak belajar tiga semester di luar prodi, izin perguruan tinggi untuk membuka prodi baru, dan kemudahan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum).
Program magang Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) juga merupakan sebuah rangkaian kegiatan Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) yang dijalani mahasiswa. Satria melanjutkan, banyaknya pengalaman baru mahasiswa juga menimbulkan tantangan bagi dosen. Tantangan yang paling besar mengacu kepada produktivitas dosen, mengenai karya ilmiah dengan dunia industri.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Iman Prihandono membahkan, MBKM memang mendorong mahasiswa memperoleh pengalaman belajar dengan berbagai kompetensi tambahan di luar program studi atau di luar kampus. Namun, nyatanya, tidak semua mahasiswa memiliki keinginan untuk menambah SKS dengan bergabung di prodi lain.
"Beberapa mahasiswa ada yang tidak minat untuk menambah SKS dengan belajar di prodi atau universitas lain (pertukaran mahasiswa). Bagi mereka, berkuliah di jurusan masing-masing sudah lebih dari cukup," ujar Iman.
Sebelum menjalankan program MBKM, perguruan tinggi pun harus sudah menyiapkan infastruktur untuk memastikan masa studi mahasiswa di luar kampus benar-benar bermanfaat dan sesuai dengan bidang ilmunya. Kampus harus memiliki alat ukur seberapa bermanfaatnya program tersebut bagi mahasiswa.
Tidak monoton
Tidak hanya pada tingkat perguruan negeri saja, program Merdeka Belajar juga diterapkan kepada pendidikan jenjang SD, SMP, maupun SMA. Kepala Sekolah SMP Tri Ratna Jakarta, Rudy Kurniawan mengatakan, adanya gerakan Merdeka Belajar membantu siswa untuk lebih aktif dalam belajar.
Adanya pandemi Covid-19 membantu para guru untuk belajar dan mulai melek teknologi karena harus menggunakannya dalam proses pengajaran.
"Program ini cukup efektif karena lebih tepat sasaran. Apa yang diberikan ke siswa langsung ke materi inti dan bisa lebih mengekspresikan diri saat belajar," kata Rudy.
Menurut Rudy, pengajaran Kurikulum 2013 cenderung mengacu kepada kompetisi dasar, sedangkan Kurikulum Merdeka Belajar mengacu kepada capaian pembelajaran siswa. Walaupun di SMP Tri Ratna Jakarta hanya siswa kelas tujuh yang menggunakan Kurikulum Merdeka Belajar, tapi proses belajar siswa kelas delapan dan sembilan juga menggunakan berbagai kolaborasi agar tidak monoton.
"Biasanya, untuk membuat para siswa lebih peka akan lingkungan sekitar, kami datangkan objek tersebut ke sekolah. Kami tidak mau hanya mengacu kepada gambar saja," ujarnya.
Pada awal penerapan kurikulum Merdeka Belajar, menurut Rudy, masih ada beberapa guru yang kurang paham dan juga harus menyesuaikan. Apalagi, kurikulum tersebut juga mengacu kepada digitalisasi, dan tidak semua guru berusia muda yang mahir berteknologi.
Namun, adanya pandemi Covid-19 membantu para guru untuk belajar dan mulai melek teknologi karena harus menggunakannya dalam proses pengajaran."Tidak hanya siswa saja yang harus mempelajari kurikulum ini, tetapi guru juga. Oleh karena itu, saya berharap, media belajar yang lebih sederhana diperbanyak agar guru juga bisa banyak belajar," tutur Rudy.