Program MBKM sangat mengguncang pendidikan di Indonesia. Jika mekanisme MBKM ini tidak segera dibenahi, guncangan terdahsyat terhadap dunia pendidikan nasional akan semakin menggelegar lima hingga 10 tahun mendatang.
Oleh
HERMAN RN
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Sejak diluncurkan, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM sudah menuai kontroversi. Meskipun program ini merupakan program unggulan dalam Kurikulum Merdeka, banyak dosen yang mempertanyakan hingga menolak. Namun, karena sistem sudah menuntut hierarki sentralisasi pelaksanaan pendidikan, para pengelola perguruan tinggi tetap melaksanakan MBKM sebagaimana mestinya.
Alih-alih menolak melaksanakan MBKM, beberapa perguruan tinggi di Tanah Air malah berlomba-lomba menggelar MBKM secara mandiri. Hal ini karena MBKM dijadikan sebagai satu dari sekian program unggulan untuk capaian indikator kinerja utama (IKU) perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi diminta menunjukkan bukti keterlibatan mahasiswanya dalam program MBKM atau sejenis sebagai capaian pembebasan mata kuliah atau konversi nilai sebanyak 20 satuan kredit semester (SKS).
Walhasi, perguruan tinggi mulai mencari cara agar MBKM dapat dibuat secara mandiri, tatkala MBKM nasional sudah full kuota. Hanya MBKM mandiri yang mudah dilakukan oleh perguruan tinggi, selain KKN, untuk mencapai IKU bidang konversi nilai 20 SKS. Karena itulah, para pengelola perguruan tinggi mulai berlomba-lomba melaksanakan MBKM hingga lupa pada substansi pendidikan bagi mahasiswa.
Tatkala MBKM dalam skala nasional masih kontradiksi, betapa pula MBKM mandiri atau nama lain? Dapat dibayangkan, konversi nilai yang diperoleh oleh mahasiswa hingga 20 SKS ini. Mereka tidak perlu mengikuti perkuliahan 8 hingga 10 mata kuliah. Semua dapat dikonversi nilainya dengan satu kegiatan, antara lain magang pada lembaga tertentu atau praktik di sekolah untuk mahasiswa keguruan.
Sebagaimana diutarakan oleh Agus Suwignyo (Kompas, 10/1/2023), guncangan terdahsyat MBKM terasa sekali pada perguruan tinggi bidang pendidikan atau fakultas pendidikan (LPTK) di suatu perguruan tinggi. Dapat dibayangkan, mahasiswa FKIP dibebaskan dari mata kuliah teori-teori penting karena sudah melaksanakan praktik lapangan di persekolahan. Satu kegiatan praktik di sekolah dalam bentuk observasi sekolah atau praktik mengajar ternyata dapat dikonversi dengan mata kuliah teori sebanyak 20 SKS.
DIDIE SW
Ilustrasi Kampus Merdeka
Pembebasan mengikuti mata kuliah hingga 20 SKS dianggap sudah memadai dengan praktik lapangan atau sekali magang di kantor-kantor. Bagaimana mungkin mata kuliah Fisika Kuantum dan sejenisnya dapat dikonversi dengan magang di kantor desa? Bagaimana mungkin pula mata kuliah Bahasa Daerah dibebaskan pada mahasiswa karena ia sudah praktik di sekolah?
Demikian seterusnya, ada banyak mata kuliah penting yang berbasis ontologi keilmuan, sangat penting diikuti oleh mahasiswa, menjadi tidak penting dengan hadirnya MBKM. Ada kesan yang dibangun bahwa praktik adalah tujuan utama pendidikan nasional. Keilmuan dan pengetahuan lainnya cukup selintas lalu.
Harus diakui, MBKM dengan Kurikulum Merdeka ini telah mengguncang dunia pendidikan nasional, terutama di kalangan perguruan tinggi. Ada banyak inovasi yang dilakukan oleh Kemendikbudristek melalui Kurikulum Merdeka. Lahirnya program MBKM merupakan salah satu inovasi yang sangat mengguncang pendidikan di Indonesia. Manakala mekanisme MBKM ini tidak segera dibenahi, guncangan terdahsyat terhadap dunia pendidikan nasional akan semakin menggelegar lima hingga sepuluh tahun mendatang.
Harus diakui, MBKM dengan Kurikulum Merdeka ini telah mengguncang dunia pendidikan nasional, terutama di kalangan perguruan tinggi.
Lima hingga sepuluh tahun kelak, perusahaan-perusahaan di Indonesia, kantor-kantor atau instansi pemerintahan, lembaga-lembaga resmi dan swasta, termasuk institusi sekolah, akan merasakan efek MBKM ini sebagai ”racun” yang akan membunuh pengetahuan dan keilmuan. Ketika generasi MBKM hari ini sudah menjadi guru, sudah menjadi menteri, atau menjadi kepala daerah, atau menjadi kepala dinas, saat itulah baru terasa bahwa pengetahuan dan keilmuan sangat penting sebagai bekal menjadi pemimpin.
Hari ini, mahasiswa disenangkan dengan MBKM. Mereka tidak perlu mengikuti mata kuliah tersulit di program studi atau jurusannya. Semua mata kuliah penting itu dapat dikonversi dalam 20 SKS, hasil pembebasan MBKM. Lantas, bagaimana saat mereka menjadi guru di masa akan datang? Bagaimana kelak mereka mengajar saat mata kuliah berbasis ontologi yang seharusnya mereka dalami sesuai dengan bidang keilmuan tidak mereka pelajari di masa sekarang?
Mungkin mata kuliah teori tidak terlalu penting bagi mereka yang akan menjadi menteri atau anggota legeslatif. Bisa praktik berbicara dan praktik mengubah peraturan, barangkali sudah cukup sebagai modal menjadi menteri atau anggota Dewan. Namun, bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan, mata kuliah teori sangat penting.
Bagaimana mungkin seorang guru Bahasa Indonesia mampu mengajarkan materi drama kepada siswanya jika sang guru tidak pernah ikut mata kuliah Drama saat kuliah? Bagaimana mungkin seorang guru Kimia mampu mengajarkan Kimia secara komprehensif jika saat kuliah dibebaskan dari mata kuliah Kimia Kuantum dan sejenisnya?
Pertanyaan yang tidak kalah penting, apa mungkin seorang ilmuwan bisa lahir dari ketidaktahuannya terhadap teori-teori?
LEMBAGA INTAN
Mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat, saat magang di Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu.
Benahi sistem
Menghapus MBKM dari program kurikulum memang tidak mudah. Namun, memperbaiki sistem, membenahi mekanisme pelaksanaan, tentu masih sangat mungkin dilakukan. Jika memang MBKM ini menjadi program unggulan Kurikulum Merdeka, sudah saatnya Mas Menteri mengevaluasi pelaksanaan MBKM dan Kurikulum Merdeka di seluruh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi yang melaksanakan MBKM hanya untuk mengejar IKU sebaiknya dievaluasi total. Perguruan tinggi yang melaksanakan MBKM di luar batas kewajaran juga harus dievaluasi. Jangan karena ingin mengejar IKU, mahasiswa dijadikan sebagai kelinci. Demikian pula pada tingkat kementerian, sudah seharusnya program-program dalam kurikulum merdeka dievaluasi, dibenahi, diinovasi dengan batas-batas kewajaran dan logika.
Sudah dua tahun Kurikulum Merdeka berjalan. Kalau diibaratkan bayi, sudah saatnya disapih. Maka, sebelum menyapih program-program Kurikulum Merdeka, termasuk MBKM, Mendikbudristek harus mengevaluasi kembali program tersebut. Jangan sampai karena program ini mudah dilaksanakan, setiap perguruan tingi bebas melakukan MBKM mandiri.
Lantas, apa jadinya negeri ini, terutama pendidikan nasional, tatkala dipimpin oleh generasi pembelajar daring? Jangan sampai kelak muncul pemeo dalam masyarakat kita, ada pemimpin hasil belajar daring, ada pejabat produk belajar online, ada guru hasil konversi nilai.
Jika sampai pemeo ini berkembang, sudah pasti ungkapan tersebut sebuah kesatiran terhadap hasil belajar Kampus Merdeka. Sebelum terlambat—sekali lagi—evaluasi semua program Kurikulum Merdeka di perguruan tinggi, terutama MBKM.
Jangan sungkan menghapus program, jangan malu mengganti sistem, jika memang negeri ini masih percaya pada tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menciptakan atau melahirkan generasi yang akan membodohi generasi berikutnya dengan dalih: yang penting praktik, bukan teori.
Herman RN, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Aceh