Tiga Juta Kilometer Persegi Lebih Habitat Gajah Asia Hilang dalam Tiga Abad
Laporan terbaru menunjukkan, lebih dari 3 juta kilometer persegi habitat gajah asia telah hilang hanya dalam tiga abad terakhir. Hal ini diperkirakan mendasari konflik antara gajah dan manusia yang terjadi selama ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Habitat gajah asia terus menyusut dan telah menurun drastis sejak tahun 1700-an. Bahkan, hasil laporan terbaru menunjukkan, lebih dari 3 juta kilometer persegi habitat gajah asia telah hilang hanya dalam tiga abad terakhir dan diperkirakan mendasari konflik saat ini antara gajah dan manusia.
Menurunnya habitat gajah asia selama tiga abad terakhir ini terungkap dalam studi dan laporan terbaru yang dipimpin para peneliti dari University of California (UC) San Diego, Amerika Serikat. Laporan ini dipublikasikan di Nature, 27 April 2023.
Dalam laporan tersebut, peneliti menganalisis kumpulan dataLand-Use Harmonization (LUH) yang memodelkan perubahan penggunaan lahan selama 13 abad dari tahun tahun 850 hingga 2015.Kumpulan data ini juga memberikan rekonstruksi historis dari berbagai jenis penggunaan lahan, termasuk hutan, tanaman, padang rumput, dan jenis lainnya.
Asisten profesor di Departemen Ekologi, Perilaku, dan Evolusi Sekolah Ilmu Biologi UC San Diego, De Silva mengemukakan, para peneliti menggunakan lokasi gajah terkini, penanda lokasi, dan kumpulan data LUH guna mengetahui lokasi habitat serupa pada masa lalu.
Hilangnya habitat gajah asia ini tidak terlepas dari praktik penggunaan lahan era kolonial di Asia, termasuk ekstraksi kayudan pertanian.
”Guna membangun kehidupan yang lebih adil dan berkelanjutan, kita harus memahami bagaimana pembentukan sejarah ini. Studi ini adalah salah satu langkah menuju pemahaman itu,” ujarnya dikutip dari situs resmi University of California, Rabu (3/5/2023).
Dari hasil analisis kumpulan data tersebut, para peneliti kemudian memperkirakan lebih dari 64 persen habitat gajah bersejarah di seluruh Asia telah hilang. Padahal, habitat gajah asia tersebut relatif stabil sebelum tahun 1700-an.
Peneliti memperkirakan bahwa hilangnya habitat gajah asia ini tidak terlepas dari praktik penggunaan lahan era kolonial di Asia, termasuk ekstraksi kayu dan pertanian. Kegiatan ini juga diperkirakan mengurangi rata-rata ukuran petak habitat gajah lebih dari 80 persen dari 99.000 menjadi 16.000 kilometer persegi.
Menurut De Silva, pada tahun 1600-an dan 1700-an terdapat bukti perubahan penggunaan lahantidak hanya di Asia, tetapi juga secara global. Perubahan penggunaan lahan ini memiliki konsekuensi yang terus bertahan sampai saat ini.
Selain mencatat penurunan luas habitat gajah asia, studi tersebut juga menunjukkan bahwa populasi gajah yang tersisa saat ini diperkirakan tidak memiliki wilayah habitat yang memadai. Proporsi habitat gajah dalam jarak 100 kilometer yang ditemukan cocok sebelum tahun 1700 juga telah menurun menjadi kurang dari 50 persen pada 2015.
Penurunan luas habitat dan perubahan penggunaan lahan menimbulkan potensi konflik yang tinggi dengan orang-orang yang tinggal di area tersebut. Perilaku gajah pun mulai berubah dan menyesuaikan diri dengan lebih banyak ruang yang didominasi manusia.
Di luar dampak langsung terhadap gajah asia, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan sekaligusmekanisme untuk menilai praktik penggunaan lahan selama ini. Hal ini termasuk menyusun strategi konservasi yang dibutuhkan semua penghuni kawasan tersebut.
”Kami menggunakan gajah sebagai indikator untuk melihat dampak perubahan tata guna lahan pada ekosistem yang beragam ini dalam skala waktu yang lebih lama,” kata De Silva.
Profesor Studi Lingkungan di Colby College, Philip Nyhus, mengatakan, riset ini memiliki implikasi penting untuk memahami sejarah bentang alam gajah di Asia. Hasil studi ini sekaligus dapat meletakkan dasar pemahaman yang lebih baik dan memodelkan potensi bentang alam gajah di masa depan.
”Ini adalah upaya kolaboratif multilembagadan saya bangga kami bisa berkontribusi secara signifikan terhadap model dan analisis yang digunakan dalam penelitian ini,” ucap Nyhus yang juga salah satu penulis dan terlibat dalam studi ini.