Habitat Gajah Kian Tergerus, Kesadaran Warga Dibutuhkan
Sejumlah upaya dilakukan untuk menyelamatkan habitat gajah di Sumatera Selatan salah satunya dengan meningkatkan kesadaran warga di kawasan rawan untuk melindungi keberadaan gajah
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sejumlah upaya dilakukan untuk menyelamatkan habitat gajah di Sumatera Selatan. Salah satunya dengan meningkatkan kesadaran warga di kawasan rawan untuk melindungi keberadaan gajah. Bantuan alat untuk menghalau gajah juga diberikan.
Hal itu disampaikan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan Genman Suhefti Hasibuan, Kamis (13/6/2019), di Palembang. Menurut dia, konflik antara satwa dan manusia di Sumatera Selatan memang rawan terjadi. Pasalnya, banyak lahan yang dulunya wilayah jelajah gajah kini beralih fungsi menjadi perkebunan perusahaan ataupun milik warga.
Untuk itu, ungkap Genman, perlu peran semua pihak agar konflik antara satwa dan manusia dapat diminimalkan. ”Kami selalu membangun komunikasi dengan pemerintah, terutama kepala desa di wilayah rawan konflik,” katanya. Tujuannya, jika sewaktu-waktu terjadi konflik, ada penindakan cepat di lapangan.
Selain itu, ungkap Genman, di sejumlah kawasan rawan juga diberikan bantuan alat berupa meriam karbit. ”Meriam ini digunakan untuk menghalau gajah agar tidak masuk perkebunan warga,” ungkapnya. Genman menuturkan, banyak konflik yang terjadi di Sumsel berkaitan dengan adanya gerombolan gajah yang masuk dan merusak perkebunan warga.
Meriam ini digunakan untuk menghalau gajah agar tidak masuk perkebunan warga.
Genman mengatakan, konflik antara gajah dan manusia memang kerap terjadi, bahkan pada 2019 ada 10 kasus konflik antara manusia dan gajah. Konflik paling banyak terjadi di kawasan Gunung Raya, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Walaupun di sana hanya ada 5 gajah liar, mereka tinggal lama di perkebunan warga; tidak hanya satu-dua hari, bahkan sampai berbulan-bulan.
Konflik terjadi karena warga menanam sejumlah komoditas makanan yang disukai gajah, seperti singkong, jagung, dan pisang. Hal inilah yang membuat gajah gemar sekali berada di kawasan itu. Walau ada konflik, tidak sampai adanya pembunuhan gajah. ”Hal ini disebabkan proses sosialisasi terus dilakukan sehingga tidak ada jatuh korban,” katanya.
Selain itu, lanjut Genman, pihaknya bersama dengan instansi terkait membangun skema ekosistem esensial di sejumlah kawasan, yakni menyediakan kawasan jelajah bagi satwa dilindungi. Hal ini sudah dilakukan di kawasan Banyuasin dan Musi Banyuasin melalui Kelola Sendang. ”Namun, untuk menyediakan konsep ini secara menyeluruh di Sumsel tidaklah mudah karena perlu peranan semua pihak,” ungkap Genman.
Hingga saat ini, ungkap Genman, jumlah gajah di Sumsel mencapai 178 ekor yang tersebar di sejumlah daerah di Sumsel seperti Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Selatan, Musi Banyuasin, dan Lahat. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 di antaranya merupakan gajah jinak.
Peneliti dari Hutan Kita Institut, Benny Hidayat, mengatakan, apa pun konsep yang dibuat pemerintah akan percuma jika tidak ada kesadaran dari masyarakatnya. ”Hingga saat ini, masyarakat masih menganggap gajah sebagai musuh, bahkan hama,” ungkapnya. Cara pandang inilah yang membuat konflik antarsatwa dan manusia sulit dihilangkan.
Perlu ada regulasi yang benar-benar memberikan efek jera bagi warga yang melakukan kekerasan terhadap satwa. Tidak hanya itu, perlu ada penjagaan khusus dari aparat agar jalur jelajah gajah tidak terus tergerus berubah jadi lahan perkebunan atau perusahaan. ”Saat ini, banyak gajah di Sumsel yang sudah terpojok dan tidak tahu mau ke mana lagi karena jalur jelajahnya terus dirambah manusia,” ucapnya.
Saat ini, banyak gajah di Sumsel yang sudah terpojok dan tidak tahu mau ke mana lagi karena jalur jelajahnya terus dirambah manusia.
Perambahan yang terus terjadi berdampak pada menurunnya populasi gajah. Satu dekade yang lalu, jumlah gajah di Sumsel mencapai 200 ekor, kini hanya tinggal 178 ekor. Kebanyakan jalur gajah tergerus juga oleh program transmigrasi yang membuat gajah tidak memiliki tempat untuk mencari makan serta perlindungan.
Angin segar
Di tengah konflik gajah yang ada, ujar Benny, dirinya menemukan kelompok gajah baru sejumlah lima ekor, di mana empat ekor di antaranya adalah gajah jantan, di Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan. Kelompok gajah ini ditemukan setelah dirinya melakukan pengamatan sejak Oktober 2018-Maret 2019.
Sebelumnya keberadaan gajah di kawasan ini pernah dinyatakan hilang karena adanya program transmigrasi pada 1989 dan adanya perkebunan perusahaan tahun 2009. ”Kemungkinan taman nasional Sembilang merupakan wilayah jelajah gajah,” katanya.
Tidak hanya itu, Genman juga menyatakan, dalam Suaka Marga Satwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, dalam lima tahun terakhir ada lima anak gajah lahir. Bahkan, ada seekor gajah jinak betina yang dalam tiga tahun telah dua kali melahirkan. Hal ini disebabkan adanya pemberian nutrisi bagi gajah dan juga sejumlah upaya untuk meningkatkan reproduksi gajah.