Membuka Tabir Suram Profesi Dosen di Indonesia
Dosen-dosen dari perguruan tinggi negeri dan swasta masih jauh dari sejahtera, di tengah berbagai tuntutan profesionalisme. Karena itu, para dosen diajak bersatu memperjuangkan nasib melalui serikat pekerja kampus.
Perbincangan nasib, karier, dan kesejahteraan para pendidik di negeri ini lebih sering mengungkap tabir gelap yang menyelimuti para guru di sekolah-sekolah, terutama para guru honorer. Tidak banyak yang mengemukakan perjuangan para dosen yang sesungguhnya, juga masih terbelenggu birokrasi dan jauh dari sejahtera.
Ratusan ribu dosen yang mengajar di perguruan tinggi negeri dan swasta tak banyak menyuarakan secara terbuka tantangan bekerja sebagai dosen. Padahal, nasib mereka serupa dengan yang dialami para guru. Para dosen menyalurkan kegelisahannya dalam tulisan opini di media massa, media sosial, atau perbincangan terbatas.
Sampailah beberapa waktu lalu, pada April 2023, para dosen se-Indonesia merasakan senasib sepenanggungan atas rendahnya penghargaan terhadap karier para dosen di negeri ini.
Terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsiona membuat para dosen tersentak. Mereka dipaksa memenuhi banyak beban administrasi agar angka kredit yang belum diklaim tidak hangus akibat terbitnya aturan baru ini.
Baca juga : Birokratisasi, Senjakala Nasib Dosen Indonesia
Kebebasan akademik yang digaungkan nyatanya semu. Para dosen terbelenggu beban administrasi. Karier dosen terasa suram karena peningkatan karier yang lama dan sulit untuk mencapai guru besar/profesor.
Kesejahteraan para dosen pun jauh dari harapan, terutama untuk membuat karier dosen atraktif bagi anak-anak muda bertalenta tinggi. Padahal, para dosen dari kalangan anak muda bertalenta tinggi diperlukan untuk mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar perguruan tinggi jadi rujukan inovasi.
Ajakan konsolidasi
Hari Buruh yang diperingati setiap 1 Mei dan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada 2 Mei 2023 menjadi momentum bagi para dosen untuk memperjuangkan masa depan mereka dan perguruan tinggi Indonesia. Mereka berkonsolidasi dengan turun dari ”menara gading”.
Para dosen mulai menggalang kekuatan untuk memperjuangkan nasib mereka yang daya tawarnya makin lemah. Terbukti dengan kebijakan yang tetap dengan paradigma birokratisasi akademik dan rasa tidak percaya pada dosen.
Dalam webinar yang digelar Kaukus Indonesia untuk Kemerdekaan Akademik (KIKA) menyambut Hari Buruh Internasional pada Sabtu (29/4/2023), bertajuk ”Hari Buruh dan Serikat Pekerja Kampus”, banyak dosen dengan tegas mengatakan, ”Saya dosen, saya buruh.”
Pernyataan ini untuk menegaskan bahwa dosen, meski disebut sebagai kaum intelektual, statusnya sama seperti pekerja bayaran lain. Dalam definisi Undang-Undang Serikat Pekerja, mereka yang bekerja dengan menerima upah atau bayaran sesungguhnya juga buruh.
Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia Vina Adriany mengutarakan, kondisi dosen dari kesejahteraan dan hal lain belum setara. Kesejahteraan belum standar dan kesempatan meningkatkan kapasitas juga belum merata.
”Para dosen perlu membangun empati dan solidaritas bahwa kita belum punya hak yang sama. Dosen sebagai buruh kampus, posisinya makin lemah. Perlu untuk mulai menekankan pentingnya urgensi serikat pekerja di lingkungan kampus bagi dosen dan tenaga kependidikan,” kata Vina.
Secara terpisah, Musa Maliki selaku dosen di UPN Veteran Jakarta mengatakan, dosen yang lulusan S-2 dan S-3 sering dipandang ”tinggi”. Padahal, kesejahteraan dosen memprihatinkan, sementara tuntutan untuk profesional dam menjalankan Tri Dharma semakin tinggi.
Para dosen perlu membangun empati dan solidaritas bahwa kita belum punya hak yang sama. Dosen sebagai buruh kampus, posisinya makin lemah.
Musa menyampaikan hal itu dalam webinar Membangun Solidaritas Akademisi di Tengah Birokratisasi Perguruan Tinggi: Sebuah Utopia? yang digelar Jaringan Intelektual Berkemajuan bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan KIKA.
Dosen Universitas Indonesia Kanti Pertiwi mengatakan, dirinya bersama sejumlah dosen lain beberapa waktu lalu mencoba meriset kesejahteraan dosen Indonesia dan berhasil mendapat respons dari sekitar 1.300 orang.
Secara umum, upah dosen di Indonesia masih jauh dari layak, di kisaran Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per bulan. Jika mampu mencapai gaji di atas Rp 5 juta per bulan, dosen harus melakukan pekerjaan sampingan, salah satunya menjadi konsultan hingga berdagang.
”Riset kami secara mandiri ini karena membaca kegelisahan para dosen di Twitter silih berganti, terutama dosen CPNS yang paling banyak membagikan kesusahan dan kegelisahan mereka,” ujar Kanti.
Baca juga : Berjuang untuk Sejahtera di Tengah Tuntutan Menjadi Dosen ”Super
Lebih lanjut, Kanti mengatakan, ada ketimpangan di antara para dosen, terutama yang baru meniti karier. Mereka mengalami beban berat karena kelimpahan pekerjaan administratif sebagai pengurus jurnal, menjadi panitia, atau hal lain yang memakan waktu, tetapi kesejahteraan rendah.
”Dosen sering kali cuma diam dengan banyak kewajiban, termasuk mengisi aplikasi silih berganti. Namun, kali ini tidak bisa dinormalisasi terus-menerus,” ungkap Kanti.
Memperjuangkan status
Saat ini, ribuan dosen dan tenaga kependidikan tetap nonpegawai negeri sipil tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Agama.
Bayang-bayang kebijakan tidak ada lagi pegawai honorer atau non-aparatur sipil negara di instansi pemerintah, termasuk perguruan tinggi negeri di pengujung November 2023, membuat perjalanan menjadi dosen hingga puluhan tahun terancam terhenti.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Ikatan Dosen Tetap Non-PNS Muhtarom mengutarakan, para dosen tetap dengan status non-PNS pada 2022 diikutkan uji calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Mereka terdiri dari 9.400 dosen di bawah Kemendikbudristek dan 3.400 orang di bawah Kementerian Agama.
Dari jumlah total dosen yang ikut tes tersebut, sekitar 45 persen tidak lulus tes. Saat itu, mereka diangkat pemerintah untuk kebutuhan dosen di PTN berstatus satuan kerja dan badan layanan umum (BLU) karena jumlah dosen yang dipenuhi lewat pengangkatan PNS kurang.
Namun, kebijakan pemerintah membuat dosen yang dikontrak lewat Kemendikbudristek dan Kementerian Agama terancam. ”Tesnya umum, tidak ada afirmasi untuk masa kerja ataupun sertifikasi dosen,” kata dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Palembang, Muhtarom.
Padahal, para dosen ini sudah lama mengajar dan dibayar rendah. Ada yang dibayar Rp 1,8 juta per bulan atau Rp 2,1 juta per bulan. Namun, keberpihakan pemerintah untuk mengutamakan pengangkatan lewat PPPK dinilai belum optimal. ”Beginilah dosen diperlakukan secara tidak adil,” kata Muhtarom.
Kesejahteraan dan karier dosen di Indonesia yang belum menjanjikan jauh berbeda dibandingkan dengan di negara tetangga, seperti Malaysia. Profesor halal asal Indonesia yang mengajar di Malaysia, Irwandi Jaswir, mengatakan, untuk jadi dosen, minimal berpendidikan S-3 atau doktor dan pemerintah menyediakan banyak beasiswa kuliah S-3 bagi calon dosen.
Karier dosen di Malaysia jelas, dimulai dari asisten profesor dan dalam tiga tahun menjadi associate professor, lalu meningkat menjadi profesor. Kenaikan jabatan fungsional dinilai oleh perguruan tinggi secara obyektif.
Para dosen di Malaysia hidup terjamin. Talenta muda berbakat di Malaysia berminat terhadap profesi dosen. Mereka bisa bekerja dengan tenang karena kesejahteraan dan pengembangan kariernya jelas. Gaji awal dosen berkisar 5.000-6.000 ringgit atau di atas Rp 16 juta.
Ada juga serikat pekerja di kampus dengan nama Academic Staff Association (ASA), yang cukup kuat daya tawarnya untuk memperjuangkan nasib dosen. ”Ada jaringan hingga tingkat nasional. Dulu, ada ketua ASA dari kampus saya, kemudian jadi menteri pendidikan,” kata Irwandi yang mengajar di International Islamic University Malaysia.
Koordinator KIKA Satria Unggul WP memaparkan, para dosen harus bersatu dan berserikat. Setumpuk persoalan yang dihadapi dosen belakangan ini harus disuarakan. Ada masalah beban administrasi, kesejahteraan, kebebasan akademik, hingga Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023.
”Karena itu, dosen butuh persatuan. Dengan sesama dosen dan bersatu dengan sesama buruh lainnya agar daya tawar dosen jauh lebih kuat. Dosen dan tenaga kependidikan di kampus juga buruh sehingga perlu membangun serikat pekerja kampus,” ujar Satria.