Perkuat Solidaritas di Tengah Birokratisasi Perguruan Tinggi
Banyak persoalan mengenai kesejahteraan dan kondisi kerja dosen di Indonesia yang butuh perhatian. Para dosen harus tetap berkonsolidasi dengan membentuk serikat agar dapat berjuang bersama.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan mengenai kesejahteraan dan kondisi kerja dosen di Indonesia saat ini semakin banyak. Terlepas dari persoalan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia yang menjadi kontroversi, dosen tetap akan berhadapan dengan birokratisasi dan pengabaian hak-hak dasar dosen. Oleh sebab itu, para dosen akan tetap berupaya untuk berkonsolidasi dengan membentuk serikat agar dapat berjuang bersama.
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), yang merupakan organisasi para peneliti, dosen, dan mahasiswa untuk memperjuangkan kebebasan akademik, menolak penerbitan Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023. Namun, pemerintah meyakini penerbitan Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional akan menunjang profesionalisme aparatur sipil negara, salah satunya dosen.
Koordinator KIKA sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana Prakasa menyatakan, terdapat beberapa tekanan bagi dosen di dunia kerja dan implikasi setelah adanya regulasi Permenpan dan RB No 1 Tahun 2023. Tekanan itu, antara lain, pengerjaan beban administrasi dosen menjadi berlebihan, banyaknya aplikasi yang tidak terintegrasi, dan kesejahteraan dosen tidak terpenuhi.
Aneh kalau dosen tidak dilibatkan.
”Regulasi tersebut akan menghadirkan permasalahan baru terkait jenjang karier dan beban administratif dosen ke depan. Para dosen harus tetap berupaya berkonsolidasi dengan membentuk serikat untuk berjuang bersama,” ujar Satria, Senin (1/5/2023).
Tidak hanya itu, aplikasi yang begitu banyak pun dapat menyibukkan dosen dan membuatnya menjadi tidak fokus. Seperti halnya yang terjadi pada April lalu, para dosen perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) harus mengunggah banyak dokumen sebagai bukti kinerja yang belum pernah dinilai hingga 31 Desember 2022. Jika tidak mengurus administrasi pengajuan penilaian angka kredit (PAK) hingga pertengahan April, angka kredit mereka terancam hangus.
”Praktiknya, banyak aplikasi yang tidak terintegrasi dan akhirnya membuat dosen harus meng-input ke sistem yang berbeda-beda. Hal tersebut malah menambah beban kognitif atau mental dosen,” tutur dosen dan peneliti di Departemen Manajemen Universitas Indonesia Kanti Pertiwi.
Meski begitu, nyatanya banyak dosen yang masih hidup di bawah kesejahteraan. Kanti bersama timnya telah menyurvei sekitar 1.300 dosen. Hasil riset menunjukkan, terdapat kesejahteraan yang timpang di antara dosen dan tidak ada jaminan penghasilan minimum. Sekitar 91 persen dosen mengatakan mendapatkan upah yang masih jauh dari kata layak, yaitu Rp 2 juta-Rp 5 juta per bulan. Hanya 9 persen dosen yang memiliki upah di atas Rp 5 juta per bulan.
Selain itu, dosen muda merupakan penumpu beban kerja yang paling tinggi. Eksploitasi banyak dialami oleh dosen muda atau akademisi di awal karier karena memiliki gaji yang tidak seberapa dengan tuntutan yang tinggi. Apalagi, pada usia permulaan karier, kebanyakan dosen muda sedang membangun rumah tangga dan membutuhkan biaya untuk anak.
”Untuk mendapatkan tambahan, mereka biasanya menjadi penjabat struktural atau bekerja dengan membuka usaha dan mengajar di tempat lain,” ujar Kanti.
Hadirnya kebijakan baru tersebut juga menghambat karier dan membatasi kreativitas dosen. Sebab, dosen dibatasi dalam mengklaim PAK setiap tahun. Akibatnya, dosen lulusan S-3 di Indonesia membutuhkan waktu 21-30 tahun untuk menjadi profesor, sedangkan di negara lain hanya membutuhkan waktu 9-17 tahun.
Tidak mendapatkan ruang
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, dosen tidak diberikan ruang partisipasi dalam pembuatan beleid atau kebijakan tersebut, yaitu Permenpan dan RB No 1 Tahun 2023. Padahal, business process dosen bersifat spesifik, hanya bisa dipahami dengan baik oleh dosen sendiri.
”Oleh karena itu, aneh kalau dosen tidak dilibatkan. Beban penilaian kinerja dosen dalam Permenpan dan RB juga ditentukan berdasarkan selera subyektif pimpinan. Jadi, penentuan nilai baik bisa berdasarkan ketaatan kepada pimpinan,” tutur Herdiansyah yang juga tergabung dalam keanggotaan KIKA.
Selain itu, dosen juga tidak memiliki keleluasaan untuk menjalankan tugasnya secara individu. Namun, wajib bekerja sesuai dengan tujuan organisasinya masing-masing. Dampaknya, kinerja dosen pada akhirnya akan diukur dan dievaluasi oleh pimpinan perguruan tinggi.
Tanggapan pemerintah pun, menurut Herdiansyah, masih mengambang dan tidak jelas. Bahkan, mereka hanya menjawab melalui beberapa surat edaran, tetapi tidak menjawab persoalan yang dikeluhkan dosen.
”Kami menagih kebijakan fundamental dengan meninjau ulang dan juga mengatur soal jabatan fungsional dosen secara tersendiri. Tidak bisa disamakan dengan aparatur sipil negara (ASN) pada umumnya,” kata Herdiansyah.
Adapun pihaknya tengah berdiskusi untuk mengajukan rencana uji materi (judicial review)ke Mahkamah Agung. Hal tersebut merupakan salah satu opsi yang akan ditempuh, sembari tetap mengampanyekan bahwabeleid tersebut sangat merugikan dosen.
”Momentum hari buruh ini harus digunakan untuk menyuarakan tuntutan kesejahteraan, kepastian kerja, serta hak-hak mendasar buruh lainnya, termasuk penolakan terhadap peraturan yang tidak memihak buruh seperti UU Cipta Kerja dan produk turunannya. Sekaligus saat yang tepat bagi para dosen untuk mengampanyekan makna penting serikat buruh,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar mengatakan, pada dasarnya peraturan tentang jabatan fungsional tersebut lahir sebagai bagian dari reformasi besar birokrasi ASN agar lebih profesional, agile, dan fleksibel. ASN tidak disibukkan dengan mengisi berbagai formulir penilaian, tetapi lebih pada mengerjakan tugasnya secara profesional dan efisien.
”Permen PAN dan RB Nomor 1 Tahun 2023 tidak sedikit pun ada upaya mempersulit, apalagi membuat birokrasi baru. Justru ini upaya transisi untuk mempermudah. Kami tidak ingin profesi dosen yang mulia disibukkan untuk mengurus angka kredit. Kenapa agak repot enam bulan ini karena ini transisi,” kata Azwar (Kompas.id, 18/4/2023).