Menakar Bahaya Etilen Oksida, Penyebab Penarikan Indomie di Taiwan dan Malaysia
Etilen oksida dapat bersifat genotoksik karsinogenik bagi tubuh manusia. Ini menunjukkan pentingnya upaya memperketat aturan ataupun standarnya pada produk pangan di Indonesia.
Salah satu produk mi instan produksi Indonesia baru-baru ini ditarik dari peredaran di Taiwan karena terdeteksi mengandung residu etilen oksida. Penarikan ini bukan pertama kali. Sejumlah produk lain sebelumnya juga pernah ditarik di luar negeri karena temuan serupa.
Pada 23 April 2023, Departemen Kesehatan Kota Taipei menarik produk mi instan Indomie rasa ayam spesial karena adanya temuan etilen oksida. Selain itu, Malaysia pada 26 April 2023 juga memerintahkan adanya pemeriksaan produk yang sama dan meminta produsen untuk menarik produk tersebut.
Kejadian ini bukan pertama kali. Pada 27 September 2020, otoritas keamanan pangan Hong Kong juga menarik produk mi instan goreng rasa ayam pedas ala Korea produksi Mie Sedaap karena terdeteksi residu etilen oksida. Kemudian, pada 7 Oktober 2020, Badan Pangan Singapura juga menarik Mie Sedaap Korean Spicy Soup dan Mie Sedaap Korean Spicy pada batch tertentu karena alasan yang sama.
Selain produk mi instan produksi Indonesia, temuan kandungan etilen oksida yang melebihi batas aman juga pernah dilaporkan pada produk es krim rasa vanila merek Haagen-Dazs di Indonesia pada 7 Juli 2022. Laporan tersebut disampaikan oleh Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF) dari European Union Rapid Alert System for Food and Feed (EURASFF). Produk es krim tersebut merupakan produk yang diimpor dari Perancis.
Namun, apa sebenarnya etilen oksida? Apa pula dampak bahaya dari kandungan tersebut sehingga sejumlah negara mengatur secara ketat kandungan etilen oksida pada pangan? Tidak sedikit masyarakat pun bertanya, apakah produk yang beredar di Indonesia aman dari bahaya kandungan etilen oksida?
Etilen oksida atau EtO sebenarnya merupakan gas beracun tidak berwarna yang bersifat reaktif dan mudah terbakar. Senyawa EtO umumnya digunakan sebagai bahan baku di industri, misalnya untuk sintesis etilen glikol, sterilisasi alat medis, serta pestisida.
Baca juga : Soal Temuan Taiwan, Indofood Klaim Indomie Sesuai Standar Keamanan Pangan
Paparan dari senyawa tersebut bisa berbahaya bagi manusia. Jika terpapar, seseorang dapat mengalami iritasi pada mata, kulit, dan saluran pernapasan. Selain itu, paparan EtO juga dapat menyebabkan kanker. Berdasarkan International Agency for Research on Cancer pada 2012, EtO masuk dalam klasifikasi sebagai grup 1 yang bersifat karsinogenik pada manusia.
Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University Hanifah Nuryani Lioe, dihubungi di Jakarta, Jumat (28/4/2023) menuturkan, etilen oksida dapat bersifat genotoksik karsinogenik bagi tubuh manusia. Itu artinya, seberapa besar kadar yang ditemukan tetap memiliki sifat yang sama, yakni dapat merusak informasi genetik pada sel sekaligus dapat memicu kanker.
”Meskipun yang masuk ke dalam tubuh kadarnya sangat kecil, itu tetap bersifat genotoksik karsinogenik. Namun, tidak mungkin (tidak ada residu sama sekali) begitu sehingga Eropa pun akhirnya menggunakan kadar terkecil, yakni 0,1 miligram per kilogram,” katanya.
Aturan tersebut diatur dalam Regulation EU 2022/1396 tanggal 11 Agustus 2022 yang menyebutkan batas maksimal residu EtO pada bahan tambahan pangan sebesar 0,1 miligram per kilogram.
Sebelumnya, hasil kajian Bundesinstitut für Risikobewertung (BfR) Jerman menyebutkan, dosis paparan EtO yang dapat dikendalikan (manageable) untuk manusia adalah 0,037 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Dengan besaran tersebut, paparan EtO dinilai tidak memberikan risiko yang berarti.
Etilen oksida dapat bersifat genotoksik karsinogenik bagi tubuh manusia. Itu artinya, seberapa besar kadar yang ditemukan tetap memiliki sifat yang sama, yakni dapat merusak informasi genetik pada sel sekaligus dapat memicu kanker.
Hanifah menyebutkan, kandungan EtO umumnya ditemukan pada biji-bijian. Jenis biji-bijian yang biasanya digunakan sebagai bahan baku penstabil, pengemulsi, dan pengental pada bahan pangan tambahan adalah kacang lokus.
Mengutip jurnal Foods 2022 volume 11, The European Chemicals Agency (ECHA) telah mendefinisikan EtO sebagai bahaya keamanan pangan kronis yang bersifat karsinogen, mutagen, dan berbahaya bagi sistem reproduksi. Isu EtO pada pangan muncul berawal pada temuan kadar EtO yang amat tinggi pada biji wijen dari India. Pengetatan pun mulai diberlakukan di sejumlah negara terkait kandungan residu EtO pada pangan.
Temuan residu EtO dan turunannya kini telah meluas tidak hanya pada biji wijen, tetapi bisa berasal dari bahan tambahan pangan, rempah-rempah, ataupun pangan olahan, seperti mi instan. Dari data EURASFF pada 2020-2022, notifikasi tertinggi terkait EtO ditemukan pada komoditas, kacang-kacangan, produk kacang-kacangan, dan biji-bijian. Notifikasi lain juga dilaporkan pada rempah-rempah, suplemen makanan, bahan tambahan pangan, camilan, dan saus.
Batas residu
Sebagai pedoman bagi pihak yang terkait, aturan mengenai kandungan EtO serta senyawa turunannya, 2-CE (chloro ethanol) di berbagai negara dapat diakses dalam Keputusan Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida. Dalam keputusan tersebut menunjukkan bahwa standar keamanan pangan terkait kandungan EtO serta 2-CE masih beragam di sejumlah negara.
Di Eropa, residu EtO dibatasi pada limit kuantifikasi maksimal 0,1 miligram per kilogram. Namun, itu tergantung dari matriks pangannya. Pada jeruk, misalnya, batas maksimal residu (BMR) EtO adalah 0,02 miligram per kilogram.
Berbeda lagi dengan aturan di Kanada dan Amerika. Batas residu EtO yang diatur maksimal 7 miligram per kilogram. Namun, di Kanada, karena BMR untuk pangan olahan belum diatur, batasannya sebesar 0,1 miligram per kilogram.
Baca juga : Kembali ke Keamanan Pangan
Di Singapura, batas maksimal residu EtO hanya diatur pada rempah-rempah adalah 50 miligram per kilogram. Sementara produk lain yang mengandung residu EtO tidak diizinkan untuk dijual.
Sementara aturan di Taiwan menyebutkan tidak memperbolehkan EtO pada pangan. Hal itu berarti, kandungan EtO tidak boleh terdeteksi sama sekali dalam produk pangan. Aturan ini sama dengan yang diterapkan di Hong Kong.
Hal ini pula yang juga menjadi penyebab ditariknya produk mi instan produksi Indonesia di Taiwan. Otoritas Kesehatan Kota Taipei melaporkan keberadaan EtO pada bumbu produk mi instan merek “Indomie Rasa Ayam Spesial” produksi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, sebesar 0,187 mg/kg (ppm).
Terkait hal itu, produsen Indomie, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk atau ICBP, menyatakan, seluruh produk mi instan yang diproduksi di Indonesia telah sesuai standar keamanan pangan dari Codex Standard for Instant Noodles dan standar BPOM (Kompas.id, 28 April 2023).
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang mengatakan, dalam Keputusan Kepala BPOM Nomor 229/2022 juga telah mengatur batas maksimal residu EtO dan 2-CE. Dalam keputusan tersebut, batas maksimal residu EtO sebesar 0,1 miligram per kilogram dalam pangan olahan dan BMR untuk 2-CE sebesar 85 miligram per kilogram.
Ia menuturkan, BPOM telah mengusulkan kepada Codex Alimentarius Commission sebagai organisasi standar pangan internasional di bawah WHO dan FAO untuk mengatur batas maksimal residu EtO dan senyawa turunannya. Hal ini diperlukan untuk memberikan standar yang jelas secara internasional.
”Kami telah mengirimkan usulan pengajuan EtO dan 2-CE sebagai priority list contaminant for evaluation by Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) pada tanggal 25 Maret 2023. Secara bersamaan kami juga terus melakukan sosialisasi pada pelaku industri atau eksportir terkait aturan EtO di beberapa negara tujuan ekspor," katanya.
Baca juga : Menjamin Keamanan Pangan yang Berkelanjutan
Menurut Hanifah, batasan terkait kandungan EtO amat penting untuk diterapkan di setiap negara mengingat dampak bahaya pada kesehatan manusia. Aturan yang diterapkan pun sebenarnya sudah sesuai jika merujuk pada hasil kajian di Jerman mengenai dosis paparan EtO yang dapat dikendalikan. Penggunaannya sebagai bahan tambahan pangan juga tidak terlalu banyak, yakni 2-10 persen.
”Namun, jika Taiwan sampai melarang kandungan EtO, bahkan pada kadar 0,01 miligram per kilogram, itu artinya Taiwan sudah sadar akan bahayanya yang genotoksik karsinogenik,” ucapnya.
Artikel ini telah mengalami revisi tanpa mengubah substansi.