Dengan atau tanpa Tenggat Waktu Tidak Memengaruhi Tingkat Stres
Hasil penelitian menyimpulkan, ”deadline” tidak menambah beban simpatik. Lalu, aktivasi simpatik lebih terkait dengan intensitas mereka membaca dan menulis, tingkat penggunaan gawai, dan frekuensi berstirahat.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerjaan di bidang pengetahuan modern, seperti jurnalis, manajer, dan peneliti, kerap berhadapan dengan deadline atau tenggat waktu pekerjaan. Sebuah penelitian mengungkapkan, deadline tidak memengaruhi tingkat stres seseorang dalam bekerja dan justru memotivasi orang untuk menyelesaikan pekerjaan.
Setiap harinya, para jurnalis berhadapan dengan deadline kala memproduksi sebuah artikel atau tulisan. Tak terkecuali pula, seorang manajer harus mengumpulkan laporan bulanannya dan peneliti pun sering berkutat dengan pengumpulan makalah atau proposal.
Tak heran, jika muncul anggapan bahwa deadline merupakan hal yang negatif sekaligus pengalaman yang menantang. Sebagai hal yang negatif, orang-orang pun cenderung menginginkan deadline ditiadakan.
Dilansir dari Sciencedaily.com, Senin (24/4/2023), National Science Foundation (NSF) di Amerika Serikat sempat menghilangkan deadline dalam beberapa program pendanaannya. Tindakan tersebut pun mendapat respons dari para kritikus yang berpendapat bahwa, sekalipun menyakitkan, tenggat waktu diperlukan agar seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu.
Lalu, para peneliti dari University of Houston (UH), Texas A&M, dan Politeknik Milano menyajikan sebuah rumusan masalah mengenai deadline dalam pekerjaan. Rumusan masalah itu menyebutkan, ”Apakah pekerjaan pengetahuan yang bersinggungan dengan deadline akan menimbulkan beban simpatik yang lebih tinggi daripada pekerjaan pengetahuan yang jauh dari deadline?”
Para peneliti terdiri dari MD Tanim Hasan, Shaila Zaman, Ioannis Pavlidis, dan Amanveer Wesley dari Computational Physiology Lab UH, Texas, Amerika Serikat, serta Panagiotis Tsiamyrtzis dari Mechanical Engineering Politechnico di Milano, Italia. Mereka membuat kajian bertajuk Sympathetic Activation in Deadlines of Deskbound Research - A Study in the Wild yang diterbitkan oleh Association for Computing Machinery pada Rabu (19/4/2023).
Dalam kajian tersebut, aktivasi simpatik yang dimaksud merupakan keadaan gairah fisiologis yang secara tidak sadar membuat orang berada di ujung tanduk dan sering kali menyebabkan stres. Menurut para peneliti, hal itu terjadi akibat intensitas dan durasi dalam mengejar deadline.
Jika Anda berada di bawah hujan deras sepanjang waktu atau hujan turun sedikit lebih deras, Anda tetaplah basah kuyup.
Pemaparan rumusan masalah itu disampaikan dalam Prosiding Association of Computing Machinery (ACM) Human Factors in Computing oleh Ioannis Pavlidis, Profesor Ilmu Komputer dan Direktur dari the Affective and Data Computing Laboratory UH. Berdasarkan kesepakatan, penelitian itu memantau 10 peneliti saat bekerja di kantor dalam dua hari menjelang deadline dan pada hari tanpa deadline.
”Ini adalah penelitian yang tidak mudah. Mungkin saya menggunakan perumpamaan seperti ini, jika Anda berada di bawah hujan deras sepanjang waktu atau hujan turun sedikit lebih deras, Anda tetaplah basah kuyup. Jadi, pemodelan ini menunjukan pengaruh deadline terhadap perilaku para peneliti saat bekerja,” kata Pavlidis dalam Sciencedialy.com.
Melalui kamera tersembunyi, wajah para peneliti, ekspresi wajahnya, serta gestur terekam sepanjang mereka bekerja. Aktivasi simpatik para peserta diukur setiap detik melalui kuantifikasi tingkat keringat perinasal yang dicitrakan.
Dengan menerapkan permodelan data tingkat lanjut, tim menemukan bahwa para peneliti mengalami aktivasi simpatik atau kondisi tertekan yang tinggi saat bekerja dan menunjukkan ekspresi tertantang selama ratusan jam dalam rekaman. Yang mengejutkan lagi, aktivasi simpatik yang tinggi ini tetap sama, baik dengan maupun tanpa deadline.
Kondisi tertekan
Selain itu, penelitian ini juga menemukan aktivasi simpatik atau kondisi tertekan yang semakin meningkat saat orang menggunakan gawainya secara berlebihan dan membaca atau menulis secara produktif. Pada faktor pertama, kecanduan gawai telah mengubah perilaku manusia secara keseluruhan.
Kemudian, faktor kedua merupakan bagian yang tak terlepas dari penelitian dan tak dapat dihindari. Bagaimanapun juga, para peneliti secara otomatis seperti mengatur peningkatan aktivasi simpatik mereka secara naluriah untuk menyesuaikan frekuensi istirahat fisik.
Selanjutnya, rata-rata para peneliti akan mengambil satu kali istirahat fisik setiap dua jam. Data analisis awal juga menunjukkan, setiap peningkatan 50 persen dalam aktivasi simpatik atau kondisi tertekan, frekuensi untuk beristirahat meningkat sebanyak dua kali lipat sehingga batas-batas kerja kognitif di bawah tekanan turut meningkat.
”Dalam studi ini, kami tidak hanya memberikan wawasan baru tentang perilaku peneliti, tetapi juga menantang beberapa pandangan umum tentang deadline. Kami juga berharap agar studi naturalistik semacam ini dapat berkembang di berbagai bidang untuk menantang salah kaprah yang kerap kita yakini dalam banyak hal,” tutur Pavlidis.
Hasil akhir pada penelitian ini menunjukkan bahwa tenggat waktu secara signifikan tidak menambah beban simpatik para peneliti. Terlepas dari deadline, aktivasi simpatik para peneliti sangat terkait dengan intensitas mereka membaca dan menulis, tingkat penggunaan gawai, serta frekuensi istirahat fisik.