Masalah tata kelola ruang seni budaya di Tanah Air perlu segera dibenahi. Penutupan pameran ‘artina#2: matrajiva’ di Gedung Sarinah dan pembatalan Bulan Film Nasional 2023 di Taman Ismail Marzuki (TIM) menjadi contohnya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam sebulan terakhir, pameran ‘artina#2: matrajiva’ di Gedung Sarinah sempat ditutup dan Bulan Film Nasional 2023 yang rencananya digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) dibatalkan. Hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam tata kelola ruang seni budaya di Tanah Air yang perlu dibenahi.
Setelah sempat ditutup pada 14-16 April lalu, pameran ‘artina#2: matrajiva’ di Gedung Sarinah kembali dibuka. Penutupan itu terkait masalah pembayaran uang sewa ruang pameran di lantai enam gedung tersebut.
Pada Selasa (25/4/2023), tidak kurang dari 100 pengunjung yang mendatangi pameran itu. Namun, meski pameran telah dibuka kembali, persoalan antara pihak pengelola pameran dan manajemen Sarinah belum sepenuhnya tuntas.
Penggagas sekaligus Direktur Artistik Artina Heri Pemad menyesalkan penutupan ruang pameran tersebut. Padahal, dua pameran terakhir yang digelar di tempat itu juga membawa nama Sarinah, yaitu ‘artina-Sarinah’.
“Polemik ini menjadi titik tolak memperbaiki tata kelola seni budaya yang melibatkan penyelenggara negara. Tidak bisa hanya bicara untung dan rugi di saat itu juga. Sebab, investasi kebudayaan itu panjang,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Menurut Pemad, terdapat dua pola dalam kegiatan seni budaya, yaitu kegiatan komersial dan fungsi negara dalam mewadahi kegiatan tersebut. Jika untuk kepentingan komersial, menjadi ranah swasta sehingga bebas untuk membahas untung dan rugi.
“Akan tetapi, kalau atas dasar bahwa negara harus memberikan tempat untuk kegiatan seni dan budaya, tidak serta-merta cuma menghitung untung dan rugi. Sarinah kan juga bagian dari (badan usaha) negara,” jelasnya.
Pemad menyebutkan, total biaya sewa ruang seni di lantai 6 Sarinah sekitar Rp 10 miliar per tahun. Biaya sebesar itu tidak mungkin dibebankan sepenuhnya ke pihak pengelola pameran seni.
Setelah sempat ditutup pada 14-16 April lalu, pameran ‘artina#2: matrajiva’ di Gedung Sarinah kembali dibuka. Penutupan itu terkait masalah pembayaran uang sewa ruang pameran di lantai enam gedung tersebut.
“Padahal (pameran) ini bentuknya kerja sama, bukan tenant biasa. Jangan lupakan tujuan pameran ini dan prosesnya,” katanya.
Pemad menambahkan, sejak awal sudah ada komunikasi dengan manajemen Sarinah untuk membantu biaya pameran itu dengan mencarikan sponsor. Namun, dana yang diperoleh dari sponsor belum menutupi biaya yang ditagihkan kepada pihaknya.
“Jadi, polemik dengan saya sendiri belum selesai. Biayanya masih ditagihkan,” katanya.
Penutupan artina–Sarinah bermula dari keterlambatan pembayaran biaya uang jaminan (security deposit), sewa ruangan, belanja modal, dan pemakaian listrik sebesar Rp 3,5 miliar oleh PT Mojisa selaku penyewa ruang seni di lantai 6 Sarinah Thamrin seluas 1.800 meter persegi. Menurut Sekretaris Perusahaan PT Sarinah Haslinda dalam keterangan resmi, PT Sarinah melakukan kerja sama dengan Heri Pemad melalui PT Mojisa dengan skema sewa menyewa.
Haslinda menyampaikan, PT Sarinah telah melakukan upaya bersama mencari sponsor dari berbagai pihak untuk keberlangsungan artina-Sarinah, walaupun sebenarnya, sesuai kesepakatan usaha mendapatkan sponsor merupakan kewajiban pihak PT Mojisa. “PT Sarinah telah melakukan komunikasi intensif dan sesuai peraturan kami telah melakukan dialog dan memberikan surat peringatan beberapa kali,” ucapnya (Kompas.id, 17/4/2023).
Ruang berekspresi
Polemik penutupan pameran ‘artina#2: matrajiva’ disayangkan sejumlah pihak, termasuk pengunjung. Pengelolaan ruang ekspresi berkesenian semestinya tidak hanya mempertimbangkan faktor komersial semata.
Permana (31), pengunjung, mengaku mengetahui masalah tersebut karena sempat ramai diperbincangkan di media sosial beberapa waktu lalu. “Pameran seperti ini bagus untuk menambah wawasan pengunjung. Sangat disayangkan jika ruang ekspresi berkesenian hanya ditakar dengan urusan uang,” ujarnya.
Kendala penggunaan ruang berkesenian juga terjadi di TIM. Bahkan, Bulan Film Nasional (BFN) 2023 yang semestinya digelar pada 25 Maret-2 April batal digelar.
BFN 2023 batal karena tidak tercapai kesepakatan untuk menggunakan ruang putar Kineforum di TIM. Kineforum merupakan bioskop mini yang dimanfaatkan sebagai ruang putar alternatif.
Pascapembatalan itu, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memutuskan menghentikan sementara kurasi kegiatan seni budaya di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM, khususnya untuk ruang-ruang seni di bawah pengelolaan PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Dalam siaran pers di laman resmi DKJ disebutkan, batalnya kegiatan BFN 2023 dikarenakan ketiga skema penggunaan ruang-ruang seni tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Pertama, skema membayar sewa ruang tidak bisa dilakukan oleh DKJ karena tidak pernah ada pengajuan dan arahan dalam anggaran APBD untuk DKJ terkait dengan sewa ruangan di TIM.
Kedua, skema bagi hasil (profit sharing) tidak boleh dilakukan oleh DKJ, mengingat kegiatan-kegiatan DKJ dan juga Akademi Jakarta (AJ) bukanlah kegiatan berorientasi laba. Ketiga, skema rekomendasi subsidi dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta belum bisa diterapkan, mengingat Pergub Subsidi untuk PKJ TIM belum ditetapkan.