Cukai Minuman Berpemanis Menurunkan Biaya Kesehatan Masyarakat
Riset terbaru menunjukkan, pemberlakuan cukai minuman berpemanis telah meningkatkan kesehatan masyarakat dan menghemat biaya perawatan. Temuan bisa jadi pertimbangan Indonesia untuk segera menerapkan cukai serupa.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minuman berpemanis telah menjadi sumber berbagai masalah kesehatan, termasuk meningkatnya tren diabetes. Hal ini mendorong beberapa negara telah memberlakukan cukai tambahan untuk mengurangi konsumsinya. Riset terbaru menunjukkan, pemberlakuan cukai minuman berpemanis telah meningkatkan kesehatan masyarakat dan menghemat biaya perawatan.
Bukti ini didapatkan dari penelitian di kota Oakland, Amerika Serikat, yang memberlakukan cukai minuman berpemanis sejak Juli 207. Sejak pemberlakukan cukai ini, penduduk Oakland mengurangi pembelian minuman manis dan hal itu telah meningkatkan kesehatan dan menghemat keuangan kota.
Penelitian yang dilakukan Justin S White, profesor ekonomi kesehatan dari University of California San Francisco (UCSF), ini dipublikasikan di jurnal PLOS Medicine pada Selasa (18/4/2023). Ditemukan, pembelian minuman berpemanis gula turun 26,8 persen dibandingkan dengan kota-kota serupa yang tidak dikenakan cukai.
Cukai ini setidaknya sama efektifnya dengan intervensi kesehatan masyarakat lainnya yang diakui secara luas seperti kebijakan tempat kerja bebas asap rokok.
Penelitian ini dilakukan kurang lebih setahun setelah Komisi Perawatan Klinis Nasional (NCCC), yang dibentuk oleh Kongres AS, memberi nasihat tentang kebijakan diabetes. Mereka merekomendasikan agar legislator mengesahkan cukai nasional atas minuman yang dimaniskan dengan gula.
”Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cukai minuman berpemanis dapat memperbaiki pola makan dan kesehatan secara berarti dan menghasilkan penghematan biaya yang besar selama periode waktu yang berkelanjutan, yang semuanya mendukung cukai nasional atas minuman berpemanis,” kata Dean Schillinger, profesor kedokteran UCSF, yang turut dalam studi.
Sebelumnya, menurut Schillinger, The American Beverage Association telah menekan badan legislatif California agar meloloskan undang-undang yang melarang cukai minuman berpemanis lebih lanjut di Negara Bagian California. ”Pemilih sekarang memiliki bukti bahwa mengizinkan cukai semacam itu dapat menghasilkan manfaat yang signifikan bagi masyarakat dan kami berharap para legislator di tingkat negara bagian dan nasional menindaklanjuti temuan ini,” katanya.
Menghemat biaya
Para peneliti membandingkan pembelian minuman manis di Oakland dengan pembelian di Richmond, California, dan Los Angeles yang tidak memiliki cukai minuman. Mereka melihat perilaku konsumen di kota-kota ini dalam 30 bulan sebelum, lalu setelah, cukai mulai berlaku pada 1 Juli 2017.
Mereka kemudian menggunakan pemodelan komputer untuk memperkirakan seberapa berkurangnya pembelian minuman berpemanis memengaruhi kesehatan masyarakat, yang diukur dengan tahun kehidupan yang berkualitas (quality-adjusted life-years/QALY).
Mereka juga menghitung penghematan biaya perawatan kesehatan untuk mencegah atau mengendalikan penyakit terkait minuman berpemanis, seperti diabetes, penyakit jantung, stroke, dan penyakit gusi. Mengonsumsi minuman berpemanis 26,8 persen lebih sedikit selama sepuluh tahun menambahkan 94 QALY per 10.000 penduduk dan menyelamatkan kota lebih dari 100.000 dollar AS per 10.000 penduduk dalam biaya perawatan kesehatan.
Mereka tidak menemukan bukti bahwa konsumen melintasi perbatasan untuk membeli minuman manis di lokasi tetangga yang tidak dikenai cukai atau bahwa mereka mengganti minuman berpemanis gula yang dikenai cukai dengan camilan manis.
”Perhitungan kami menunjukkan bahwa cukai ini setidaknya sama efektifnya dengan intervensi kesehatan masyarakat lainnya yang diakui secara luas, seperti kebijakan tempat kerja bebas asap rokok dan langkah-langkah pengendalian polusi udara,” sebut Justin White.
Penurunan pembelian di Oakland terjadi untuk semua jenis minuman berpemanis, termasuk minuman bersoda manis sebesar 23,1 persen, jus buah 30,4 persen, minuman olahraga 42,4 persen, dan teh manis sebesar 24,4 persen. Penurunan pembelian serupa untuk produk berukuran individu dan keluarga, dan serupa di daerah berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi.
”Studi di kota-kota AS lainnya telah menemukan pengurangan serupa dalam pembelian minuman berpemanis seperti yang satu ini,” kata Schillinger. ”Dampak berkelanjutan dari cukai Oakland sangat penting. Ini menunjukkan bahwa jika cukai SSB (sugar sweetened beverages/minuman berpemanis) diskalakan secara nasional, negara kita akan menikmati kesehatan yang lebih baik dan biaya perawatan kesehatan yang lebih rendah.”
Pada tahun 2021, tujuh kota di AS dan lebih dari 35 negara memberlakukan cukai minuman berpemanis dalam upaya untuk mengurangi risiko penyakit kronis yang sensitif terhadap pola makan dan meningkatkan pendapatan pemerintah untuk promosi kesehatan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa mengonsumsi minuman manis dikaitkan dengan risiko obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi.
Baru bulan lalu, sebuah studi UCSF juga menemukan bahwa cukai minuman berpemanis di lima kota, termasuk Oakland, secara signifikan menurunkan risiko diabetes dan kenaikan berat badan yang tidak sehat pada ibu hamil. Hal itu juga menurunkan risiko memiliki janin yang terlalu kecil.
Sementara studi sebelumnya telah menemukan bahwa cukai SSB menyebabkan lebih sedikit pembelian dan lebih sedikit asupan minuman berpemanis dalam jangka pendek. Hal ini adalah yang pertama untuk memeriksa penurunan berkelanjutan bersama dengan perilaku pembelian lainnya, seperti pembelian ”pengganti” makanan ringan manis, dan yang pertama mengevaluasi efektivitas biaya.
Tren di Indonesia
Hingga saat ini, Indonesia belum menerapkan cukai minuman berpemanis sekalipun tren diabetes di masyarakat terus meningkat dengan beban biaya kesehatan yang membesar. Indonesia menempati ranking ketiga tertinggi di Asia Tenggara dengan jumlah konsumsi rata-rata 20,23 liter per orang per tahun.
Wacana penerapan cukai ini di Indonesia sebenarnya sudah bergulir sejak 2016 dan target penerimaan cukai minuman berpemanis telah ditentukan untuk tahun 2022 yang diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021. Belakangan, Kementerian Keuangan menunda penerapan cukai ini tahun depan atau awal tahun 2024. Padahal, sejumlah lembaga, seperti Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), telah mendesak agar kebijakan cukai minuman berpemanis di Indonesia segera dijalankan.