Di Indonesia, konsumsi minuman manis ketiga tertinggi di Asia Tenggara, kasus diabetes juga menempati empat terbanyak di dunia. Perlu regulasi tegas untuk mendorong perubahan produksi dan konsumsi sehat di Indonesia.
Oleh
FADLY RAHMAN
·4 menit baca
Awal Februari lalu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melayangkan surat ke Kementerian Keuangan terkait usulan penetapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Hal ini didasarkan oleh keprihatinan Menkes melihat angka diabetes anak semakin meningkat, yang hingga 2023 melonjak 70 kali lipat.
Tahun lalu, pernah viral somasi yang dilayangkan oleh pihak produsen sebuah minuman kekinian kepada seorang konsumen terkait kritikan terhadap rasa terlalu manis produk minuman. Kementerian Kesehatan dalam akun media sosialnya menanggapi perihal bahaya konsumsi gula berlebihan bagi kesehatan: "kalau makan terlalu banyak gula bisa bikin kegemukan, obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit tidak menular lainnya."
Namun entah mengapa, setelah itu pembahasan bahaya konsumsi minuman manis mengendap lagi. Justru gerai-gerai minuman berkadar gula tinggi makin menjamur. Baru setelah kasus kematian anak akibat gagal ginjal akut dan tingginya angka diabetes anak, isu bahaya produk minuman manis berkadar gula tinggi kembali mencuat.
Sudah menjadi kebiasaan, penyadaran kesehatan terhadap masyarakat baru muncul ketika bahaya suatu produk konsumsi massa sudah viral di media sosial (ingat kasus seperti bahaya MSG dan susu kental manis). Jika memang tidak baik bagi kesehatan, mengapa produk-produk minuman dengan kadar gula tinggi mirisnya beredar luas di negeri yang jelas-jelas memiliki kekayaan ragam kuliner sehat dan lezat ini?
Untuk harapan hidup yang sehat walafiat, konsumen di Indonesia mesti menjamin dirinya sendiri. Konsumen tidak pernah ada di posisi yang menguntungkan. Laba jelas hanya direguk oleh para produsen, pengusaha iklan, serta lembaga yang mengurusi registrasi label halal setiap produk. Ingat, halal bukan berarti selalu baik (thoyyib) untuk dikonsumsi! Namun, pengetahuan konsumen terkait dengan bahaya konsumsi berlebihan dalam produk-produk minuman manis bagi kesehatan amatlah minim.
Konsumsi dan kesehatan
Konsumen jelas perlu ditanamkan pemahaman pedoman konsumsi yang positif bagi kesehatannya. Terkait hal ini, seorang guru besar jurnalistik di University of California dan kontributor di majalah New York Times, Michael Pollan, menerangkan dalam bukunya Food Rules (2009) tentang hubungan aturan konsumsi makanan sehat dan berkualitas bagi manusia. Di antara semua aturan, ada yang menyinggung kepada dosa pemasar makanan dalam mengiklankan produknya di televisi.
Misalnya, Pollan berpesan: ”Hindari makanan yang diiklankan televisi”. Dalam aturan ini Pollan menulis: ”pmasar makanan amat ulung memutarbalikkan kritik atas produk mereka... mereka cukup merumuskan ulang (menjadi rendah lemak, tak mengandung sirup jagung tinggi fruktosa...) lantas sesumbar mengenai khasiat kesehatannya.” Menurut Pollan, hanya para produsen makanan besar yang mampu beriklan seperti itu di televisi.
Pesan Pollan itu bukan tanpa bukti. Ziauddin Sardar dan Borin van Loon dalam buku ilustrasinya Introducing Media Studies (2000), mengangkat skandal pembohongan terhadap konsumen oleh Sunny Delight (SD), produk minuman sari buah terkenal di Inggris. Melalui iklannya yang jor-joran, SD berhasil menjadi minuman ketiga paling laris di Inggris dengan sesumbar produknya ini mengandung vitamin A, B, dan C yang sehat bagi anak-anak.
Pollan meneliti bahwa kini di pasaran beredar 40 jenis gula yang digunakan pada berbagai makanan dan minuman kemasan.
Banyak orangtua dibuatnya tertipu dan anak-anaknya menjadi korban. Pada 2009, komisi pengawas makanan Inggris menemukan bukti, ternyata SD sarat mengandung bahan pengental, pewarna, dan perisa makanan. Bahan-bahan ini yang mengesankan tampak seperti jus buah. Nyatanya, SD tak lebih cuma minuman sarat gula.
Pollan cukup rewel terhadap makanan dan minuman yang sarat gula, seperti sarannya: ”Hindari makanan yang salah satu dari tiga bahan utamanya adalah beragam bentuk pemanis”. Pollan meneliti bahwa kini di pasaran beredar 40 jenis gula yang digunakan pada berbagai makanan dan minuman kemasan.
Sedikit contohnya sebutlah pemanis jagung, dekstrin, dekstrosa, fruktooligosakarida, konsentrat sari buah, glukosa, sukrosa. Jenis-jenis pemanis tersebut saat ini banyak mengendap dalam produk makanan/minuman yang iklannya tampil manis di televisi hingga berjajar apik di supermaket dan minimarket. Begitu mudah ditemukan, dibeli, dimakan, dan direguk.
Mengapa Pollan mewanti-wanti untuk menghindarinya? Apakah berbahaya? Dalam jangka pendek mungkin tidak terasa. Tetapi, jika sering dikonsumsi dalam jangka panjang bisa memengaruhi kesehatan. Diabetes salah satunya.
Berdasarkan data indeks diabetes Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejak 2000, empat dari 10 negara dengan jumlah penderita diabetes yang terbanyak di dunia adalah India, China, Amerika Serikat, dan Indonesia. Merujuk data International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes di Indonesia yang terdata hingga 2021 sebanyak 19, 47 juta jiwa. Diperkirakan pada 2045 jumlahnya mencapai 28, 57 juta jiwa.
Meski jumlah penderita penyakit degeneratif macam diabetes terus merangkak naik, jumlah produk minuman dengan kadar gula tinggi kian meruyak jenisnya. Pollan menyuguhkan fakta menarik, bahwa di Amerika Serikat, pihak yang juga menangguk untung besar dari buruknya pola makan masyarakat di negara Paman Sam itu adalah industri kesehatan. Ternyata, tiap tahun, perawatan kesehatan akibat pola makan buruk di negara itu menelan ongkos tiga perempat dari 2 triliun dollar AS lebih. Artinya, perawatan lebih memakan ongkos besar ketimbang mencegah penyakitnya.
Perlu regulasi tegas
Luasnya peredaran produk-produk minuman berkadar gula tinggi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari betapa longgarnya regulasi pemerintah dalam mengatur perizinan produksi dan pemasarannya. Perkembangan laju industri kuliner sejak 1998 yang tidak disertai pengawasan ketat terhadap inovasi kuliner kekinian tanpa disadari berdampak kepada tingginya angka konsumsi minuman manis (sugar sweetened beverages). Dari hasil riset Fabrizio Ferreti dan Michelle Mariani (2019), Indonesia menempati urutan ketiga tertinggi untuk konsumsi minuman manis (20,23 liter per orang per tahun) di Asia Tenggara.
Regulasi tegas oleh pemerintah diperlukan untuk mendorong perubahan dalam hal produksi dan konsumsi sehat di Indonesia. Sebuah fakta sejarah dari masa kolonial setidaknya dapat menyadarkan kita bahwa ketegasan dalam kebijakan mengatur industri makanan dan minuman diperlukan demi mewujudkan kemaslahatan kesehatan masyarakat.
Regulasi tegas oleh pemerintah diperlukan untuk mendorong perubahan dalam hal produksi dan konsumsi sehat di Indonesia.
Pada 3 November 1914, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Voedingsmiddelen Commisie (VC)/Komisi Makanan. Tugas komisi ini meliputi penelitian kesehatan, pengawasan ambang batas penggunaan bahan-bahan kimia di dalam obat dan makanan, serta kelayakan produk makanan dan minuman untuk dikonsumsi massa.
Monitoring terhadap para pelaku industri makanan serta edukasi konsumsi terhadap masyarakat dilakukan demi menghindari jatuhnya korban akibat peredaran produk berbahaya bagi kesehatan. Sanksi tegas pun dilakukan terhadap para produsen yang tidak mengikuti kebijakan VC.
Semua itu dilakukan mengingat pada awal abad ke-20 di negeri koloni penggunaan bahan kimia mulai marak digunakan dalam produksi makanan dan minuman yang dikonsumsi massa. Produk-produk minuman seperti limun, sirup buah, anggur, arak, susu, dan kopi tidak luput dari pengawasan komisi ini.
Regulasi tegas pemerintah dapat berpengaruh bukan hanya di lapisan produksi, namun juga konsumsi. Dan dalam hal konsumsi, Pollan mengingatkan agar sebaiknya kita lebih mawas diri dengan memilih “back to nature”. Ini sangat relevan dengan masyarakat Indonesia yang hidup di negeri dengan sumber daya pangan dan kuliner melimpah.
Ada banyak minuman khas Indonesia yang segar, lezat, sehat, dan diolah dari bahan-bahan alami seperti dawet, cendol, bir pletok, wedang, bandrek, bajigur, dan jamu. Dengan pengolahan yang baik disertai edukasi kuliner Indonesia secara terpadu, bukan tak mungkin, masyarakat akan terbebas dari berbagai godaan minuman manis kekinian.
Fadly Rahman, Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran