Perguruan Tinggi Masih Dominan Dianggap sebagai Lembaga Birokrasi
Kinerja dosen sebagai insan akademis dan ilmuwan di perguruan tinggi masih sarat diukur dengan pendekatan lembaga birokrasi dan administrasi. Pendekatan ini kontraproduktif memacu profesionalisme dosen.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyeragaman aturan berupa rebirokratisasi aparatur sipil negara atau ASN dapat berdampak pada sejumlah pembatasan yang justru kontraproduktif bagi kinerja ilmuwan, terutama di perguruan tinggi. Padahal, ilmuwan memiliki bentuk, lingkungan, dan luaran kinerja saintifik yang khas, yang didasarkan pada prinsip kolegialitas dan etika ilmiah yang kuat, bukan didasarkan pada aspek administratif, birokratis, serta teknokratisme.
Oleh karena itu, pengaturan jabatan fungsional ASN secara homogen dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 1 Tahun 2023 menimbulkan kekhawatiran dan keresahan di kalangan ilmuwan, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai dosen. Hal ini karena dominannya memperlakukan universitas dan institusi akademik lainnya layaknya sebagai lembaga birokrasi dan administrasi pemerintahan, serta mengabaikan tugas dan fungsi khas universitas yang membawa misi Tri Dharma perguruan tinggi.
”Kami dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia atau ALMI melihat mendasar dan mendesaknya negara dan pemerintah untuk dapat menjaga marwah akademik para akademisi dan ilmuwan yang bekerja sebagai ASN di Indonesia. Terkait pengaturan jabatan fungsional yang sifatnya akademik, khususnya dosen, sudah sepatutnya lebih mempertimbangkan upaya mendukung dan mengembangkan iklim kompetitif produksi pengetahuan dan menguatkan keunggulan akademik yang berpusat di universitas,” kata Ketua ALMI Gunadi dalam pernyataan sikap ALMI, Senin (17/4/2023).
Pernyataan sikap ALMI tersebut disampaikan terkait pemberlakuan Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional ASN dan dampaknya bagi dosen.
Gunadi mengatakan, ilmuwan memegang peran yang penting dan strategis bagi bangsa. Mereka merupakan tulang punggung pendidikan, riset, serta pengembangan inovasi dan teknologi untuk membawa Indonesia sebagai negara maju di 2045. Selain itu, ilmuwan juga berperan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta membantu membangun perangai dan budaya ilmiah melalui pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, serta berperan sosial di kalangan masyarakat Indonesia dan generasi penerus bangsa.
Kontraproduktif
ALMI mendesak agar kebijakan pemerintah menghindari pengaturan berlebihan birokratisasi atau administrasi, serta mencari alternatif pengaturan dosen ASN sebagai jalan keluar strategis untuk mencegah brain drain atau academic humancapital flight.
Pengaturan dan kontrol birokrasi dan administrasi yang berlebihan terhadap kalangan akademisi merupakan langkah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk memperkuat kembali ilmuwan muda. Tanggung jawab demikian dapat dimanfaatkan oleh negara dan pemerintahan dalam menjawab problem kebangsaan.
Untuk itu, pemerintah harus turut andil menjamin kebebasan akademik para ilmuwan yang menjalankan fungsi saintifik pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, seperti peneliti, perekayasa, dan analis. Gunadi menegaskan, kebijakan pendidikan tinggi sudah sepatutnya membangun sistem perguruan yang mewadahi pencapaian dan atau memberikan penghargaan akademik, membebaskan kewajiban administratif yang menghabiskan begitu banyak waktu kerja efektif, tenaga, dan pikiran sehingga mengganggu mandat utamanya dalam pengembangan keilmuan.
Pengaturan dosen ASN, lanjut Gunadi, sepatutnya diarahkan untuk memastikan kebijakan yang dapat menumbuhkan tradisi kolegialisme (peer review dan mentoring) dan etika ilmiah dalam melahirkan karya akademiknya. ”ALMI mendorong penting dan mendasarnya pengaturan kebijakan pendidikan tinggi, mengupayakan pada strategi berlandaskan pada paradigma baru, yakni menguatkan strategi debirokratisasi, mewadahi keunggulan akademik, membentengi otonomi kampus dan lembaga riset, serta memberikan jaminan kebebasan akademik,” tutur Gunadi.
Oleh karena itu, penyesuaian dan implementasi regulasi baru yang akan dilaksanakan perlu mempertimbangkan sejumlah hal, termasuk melibatkan partisipasi publik yang meluas dan bermakna, secara intensif dan sistematik, mengecek ulang kesiapan perguruan tinggi, keterlibatan dan masukan dari sejumlah asosiasi dosen, tenaga kependidikan, serta perguruan tinggi. Perlu juga mempertimbangkan masa jeda dan transisi yang cukup dan rasional, menghindari ketergesaan dalam pengambilan keputusan publik, serta memberikan kemudahan akses informasi dan pengetahuan yang membawa dampak kebermaknaan sosial atas aturan terkait.
Gunadi juga mengingatkan, dalam pengembangan teknologi atau aplikasi baru bagi dosen, pemerintah perlu menjelaskan pijakan atau dasar perubahan berbasis audit dan uji kelayakan sistem aplikasi manajemen fungsional ASN. Aplikasi yang ada selama ini dirasakan tumpang tindih dan berbeda-beda sehingga integrasi data bisa lebih memudahkan dan bukan sebaliknya kian membebani dosen.
Negara dengan tujuan pencerdasan kehidupan bangsa, kata Gunadi, sudah seharusnya memiliki komitmen politik yang kuat untuk memprioritaskan investasi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini termasuk mengembangkan sumber daya manusia dosen dan tenaga pendidik.
”Harapannya, iklim produksi pengetahuan dan inovasinya menghasilkan keunggulan kompetitif dan mampu berkontribusi bagi pembangunan nasional serta berdaya saing bangsa secara global. Langkah demikian lebih mengedepankan transformasi peradaban bangsa berbasis ilmu, bukan melandaskan pada ’festivalisasi’ yang kerap mengundang kontroversi dengan aturan-aturan yang melebihi apa yang dibutuhkan atau over regulated,” papar Gunadi.
Semakin profesional
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas dalam kegiatan Sosialisasi Tata Kelola Jabatan Fungsional Dosen yang diselenggarakan Kemenpan dan RB, mengatakan, pada dasarnya peraturan tentang jabatan fungsional tersebut lahir sebagai bagian dari reformasi besar birokrasi ASN agar lebih profesional, agile, dan fleksibel. ASN tidak disibukkan dengan mengisi berbagai formulir penilaian, tetapi lebih pada mengerjakan tugasnya secara profesional dan efisien.
”Permen PAN dan RB Nomor 1 Tahun 2023 tidak sedikitpun ada upaya mempersulit, apalagi membuat birokrasi baru. Justru ini upaya transisi untuk mempermudah. Kami tidak ingin profesi dosen yang mulia disibukkan untuk mengurus angka kredit. Kenapa agak repot enam bulan ini karena ini transisisi,” kata Azwar menjelaskan.
Sebagaimana dalam setiap peralihan dari sistem lama ke sistem yang baru, transisi yang terjadi kadang tidak nyaman. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi selaku pembina jabatan fungsional dosen harus menyiapkan transisinya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam menyampaikan, strategi transisi untuk menyesuaikan dengan Perman PAN dan RB tersebut. ”Pola penilaian angka kredit dosen nantinya akan disesuaikan dengan Permen PAN dan RB yang baru. Karena tujuan Kemenpan dan RB selaras dengan harapan kita bahwa ke depan kenaikan pangkat dan jabatan dosen bisa lebih lancar dengan beban administrasi yang minimal,” tutur Nizam.
Sesuai Permen PAN dan RB Nomor 1 Tahun 2023, perolehan kinerja harus ditetapkan paling lambat 30 Juni 2023. ”Tadinya kita harapkan semua dosen ASN mengajukan klaim kinerja melalui sistem informasi yang sudah ada agar tidak ada kinerja yang terlewat. Namun, mengingat waktu transisi yang tidak lama, kita lakukan strategi yang tidak terlalu membebani dosen. Caranya dengan memanfaatkan data yang sudah terkumpul di sistem informasi sumber daya terintegrasi (Sister) yang ada di Kemendikbudristek dan secara proaktif mengambil data yang ada di sistem informasi kepegawaian di perguruan tinggi,” papar Nizam.
Dosen yang belum memutakhirkan kinerjanya per 31 Desember 2022 dapat memperbarui di sistem yang digunakan selama ini hingga 15 Mei 2023. Di kurun 16-31 Mei 2023 hasil pengumpulan data kinerja tersebut dapat diverifikasi para dosen dan, apabila ada kekurangan, dapat mengajukan perbaikan. Selama Juni, seluruh data kinerja tersebut akan dinilai berdasar peraturan penilaian angka kredit yang lama dan nantinya dikonversi untuk dapat digunakan pada sistem yang baru.
”Dosen tidak dirugikan dan kita tetap dapat memenuhi tenggat waktu sesuai Permen PAN dan RB, paling lambat tanggal 30 Juni 2023,” ujar Nizam.
Nizam menegaskan, Permen PAN dan RB Nomor 1 Tahun 2023 tidak berlaku bagi dosen non-ASN sehingga tidak ada tenggat pengumpulan hasil kerja bagi dosen non-ASN. Hasil kerja dosen non-ASN tetap akan dinilai berdasarkan Permendikbud Nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen sampai dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi baru.
”Kemendikbudristek saat ini tengah merancang skema pembinaan karier dosen yang lebih baik dan selalu terbuka untuk menerima masukan dari semua pihak,” kata Nizam.