Kebijakan Narkoba Masih Berfokus pada Penegakan Hukum
Penanganan dampak buruk penggunaan narkoba dinilai belum menyentuh aspek kesehatan dan hak asasi manusia. Akibatnya, terjadi kriminalisasi dan penyebaran berbagai penyakit infeksi pada pengguna narkoba.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
MELBOURNE, KOMPAS — Kebijakan mengenai narkoba di berbagai negara masih menitikberatkan pada penegakan hukum dan toleransi nol pada pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Namun, kebijakan ini menimbulkan stigma, disinformasi, dan penyebaran sejumlah penyakit infeksi.
Direktur Eksekutif Harm Reduction International Naomi Burke-Shyne menyampaikan hal itu dalam sambutannya pada pembukaan Harm Reduction International Conference di Melbourne Convention Center, Melbourne, Australia, Minggu (16/4/2023). Konferensi tersebut dihadiri 1.200 peserta dari 60 negara.
”Stigma dan disinformasi merupakan dasar sebagian besar kebijakan publik tentang narkoba. Tidak ada bukti kebijakan berfokus pada hukuman dan toleransi nol bagi penggunaan narkoba bisa mengurangi pemakaiannya. Karena itu, pendekatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) perlu diterapkan,” kata Naomi.
Ketua Komisi Global untuk Kebijakan Narkoba Helen Clark menyatakan, lebih dari enam dekade setelah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 lahir, kita masih menghadapi banyak konsekuensi negatif. ”Pendekatan pelarangan narkoba untuk mengurangi jumlah pengguna dan volume narkoba yang dikonsumsi gagal total,” ujarnya.
Laporan Narkoba Dunia 2022 dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) memperkirakan 284 juta orang berusia 15-64 tahun memakai narkoba atau narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) dalam 12 bulan sebelumnya atau naik 26 persen sejak tahun 2010.
Sementara Badan PBB untuk Penanggulangan AIDS (UNAIDS) melaporkan, risiko tertular HIV 35 kali lebih tinggi pada pengguna narkoba suntik dibandingkan dengan mereka yang tidak menyuntikkan narkoba.
Adapun Tinjauan Global 2022 Harm Reduction International tentang Hukuman Mati untuk Pelanggaran Narkoba melaporkan, 35 negara memberlakukan hukuman mati bagi pelaku pelanggaran terkait narkoba dan selusin negara menerapkan hukuman mati wajib untuk pelanggaran narkoba tertentu.
Tidak ada bukti kebijakan berfokus pada hukuman dan toleransi nol bagi penggunaan narkoba bisa mengurangi pemakaiannya. Karena itu, pendekatan perlu diubah.
Kini, lebih dari 3.000 orang menghadapi hukuman mati karena pelanggaran terkait narkoba. Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya 4.000 orang telah dieksekusi karena pelanggaran narkoba di seluruh dunia. Penal Reform International melaporkan, pada 2022 satu dari lima orang dipenjara karena pelanggaran narkoba.
Selain itu, terjadi krisis overdosis opioid, terutama di Amerika Serikat, Skotlandia, dan Kanada. Kebijakan pelarangan dan hukuman juga mengakibatkan perilaku berisiko tinggi, seperti penyuntikan yang tak aman dan menghalangi warga mendapat layanan kesehatan yang dibutuhkan.
Mengubah pendekatan
Pelarangan dan kriminalisasi kepemilikan serta penggunaan zat psikoaktif juga membahayakan kelompok rentan, antara lain perempuan, masyarakat adat, remaja, serta orang dengan HIV. ”Karena itu, pendekatan hukuman perlu beralih ke kebijakan berbasis bukti yang menghormati hak asasi manusia,” kata Helen.
Pengendalian narkoba yang berfokus pada penegakan hukum dan kerap menyasar komunitas miskin diperkirakan menghabiskan biaya 100 miliar dollar AS tiap tahun. ”Hentikan aliran dana untuk sistem hukuman yang menindas. Sebagian dana harus diinvestasikan untuk kesehatan, keadilan, dan komunitas,” kata Naomi.
”Dampak negatif kebijakan narkoba mesti jadi isu bersama. Kami tidak dapat melawan rasisme, mencapai keadilan jender atau memastikan tiap orang mendapat hak lebih sehat dan aman tanpa mereformasi undang-undang narkoba yang menjadi alat dalam sistem penindasan ini. Jadi, perlu ada gerakan bersama,” ujarnya.
Dalam layanan pengurangan dampak buruk, bahaya narkoba bisa dimitigasi. Namun, konsep pengurangan dampak buruk dan intervensinya menjadi perdebatan sejak diangkat dalam forum pengendalian narkoba internasional pertengahan 1980-an,” ucap Helen yang juga mantan Perdana Menteri Selandia Baru tersebut.
Kondisi ini mengakibatkan layanan pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba belum tersedia luas. Kurang dari 2 persen orang yang menyuntikkan narkoba tinggal di negara-negara dengan cakupan jarum suntik dan terapi substitusi opioid yang direkomendasikan PBB.
Di banyak negara, layanan pengurangan dampak buruk tidak ada. Lebih buruk lagi, sejumlah negara mengkriminalkan kepemilikan jarum suntik sebagai alat pemberi obat. Para pembuat kebijakan menganggap layanan itu membenarkan penggunaan narkoba dan butuh dana lebih besar dibandingkan dengan anggaran penegakan hukum.
Pengurangan dampak buruk menjadi bagian penting perubahan itu dan bagian dari gerakan hak asasi manusia. Inisiatif pengurangan dampak buruk harus menyediakan akses ke layanan kesehatan dan sosial yang berdampak pada pengguna narkoba, termasuk akses ke layanan hukum.