Pengungkapan kasus penyelundupan sabu 324,3 kilogram, seharusnya kian menyadarkan kita akan kedaruratan kejahatan narkoba.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pada Kamis (19/8/2021), Badan Narkotika Nasional merilis dua kasus penyelundupan sabu jaringan Thailand dan Aceh sebanyak 324,3 kilogram, yang digagalkan BNN bersama Bea dan Cukai. Dua kasus itu diungkap 12-13 Agustus lalu. Menurut hasil penyelidikan, sabu berasal dari wilayah Golden Triangle atau Segitiga Emas produsen narkoba, yakni Thailand, Laos, dan Myanmar. (Kompas, 20/8/2021).
Jika pengungkapan kasus ini dikategorikan sebagai peringatan, maka ini bukan lagi peringatan dini bagi Indonesia, tetapi peringatan keras untuk kesekian kalinya. Ibarat sirene, sudah berdentang sangat keras, lama, berkali-kali pula.
Sebagai tolok ukur, data Direktorat Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri per Desember 2020 menyebutkan, situasi pandemi Covid-19 tidak menyurutkan penyelundupan narkoba di sejumlah negara seperti Iran, Maroko dan Indonesia.
Kurun Januari-November 2020, Polri menangani 41.093 kasus dengan total tersangka 53.184 orang (53.118 warga negara Indonesia dan 66 warga negara asing). Adapun jumlah kasus naik 3,24 persen dibandingkan dengan periode Januari-Desember 2018 (39.805 kasus) dan jumlah tersangka naik 3,87 persen (2019 ada 51.194 orang).
Barang bukti sabu juga melonjak dari 2,7 ton pada 2019 menjadi 5,91 ton pada 2020 (naik 119 persen). Peningkatan itu tetap mencemaskan meski kenaikan pada jenis lain terjadi penurunan. Barang bukti ganja menurun 15,55 persen (dari 59,91 ton ke 50,59 ton) dan ekstasi turun 5,67 persen (dari 959.885 butir ke 905.425 butir). (Kompas, 26/12/2020).
Data Desember 2020 itu selaras dengan laporan berkala Badan Dunia untuk Kriminalitas dan Narkoba (UNODC) pada 2018. Dalam laporan itu UNODC menyatakan bahwa Asia Tenggara menjadi pasar baru metamfetamina (sabu). Laporan UNODC 2018, data Polri Desember 2020, dan pengungkapan kasus selama 2021 termasuk kasus yang dirilis Kamis lalu, membuktikan betapa Indonesia menjadi negara tujuan peredaran sabu. Sudah tentu berikut jenis narkoba lain. Bahkan, dalam sebagian kasus sudah menjadi area produksi juga.
Sebagai salah satu kejahatan transnasional, penanganan kejahatan narkoba tak bisa dijalankan dengan rutinitas semata. Sudah saatnya pemerintah RI mengerahkan segala daya-upaya untuk menangani kejahatan narkoba secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Tiga cabang penanganan yang meliputi reduksi penawaran (supply reduction), reduksi permintaan (demand reduction), dan reduksi dampak buruk (harm reduction), harus dijalankan secara optimal dan tanpa pandang bulu.
Optimalisasi penanganan itu sangat kompleks, karena mulai dari pencegahan penyelundupan, konsistensi penegakan hukum demi efek jera, dan fasilitas perawatan dan pengobatan bagi penyalahguna. Syarat utamanya, kemauan politik pemerintah menjadikan penanganan narkoba sebagai prioritas.