Pengoptimalan Sektor Kemaritiman dalam RPJPN 2025-2045 Perlu Evaluasi
Potensi kemaritiman Indonesia akan dioptimalkan dalam visi RPJPN 2025-2045. Menuangkan sektor kemaritiman ini perlu belajar dari gagasan terdahulu dan juga berfokus pada dampak krisis iklim untuk wilayah pesisir.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi kemaritiman Indonesia akan dituangkan dan dioptimalkan dalam visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau RPJPN 2025-2045. Namun, pengoptimalan ini jangan hanya berfokus pada ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan berbagai aspek lainnya, mulai dari lingkungan, sosial, hingga dampak krisis iklim.
Pengoptimalan potensi kemaritiman Indonesia ini sebelumnya ditekankan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam acara penjaringan masukan visi RPJPN 2025-2045, akhir Maret lalu.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional Parid Ridwanuddin mengemukakan, semua pihak, termasuk pemerintah, seolah terlambat menyadari terkait potensi Indonesia sebagai negara maritim. Hal ini ditunjukkan dari pengoptimalan potensi kemaritiman Indonesia yang baru akan dituangkan dalam RPJPN 2025-2045.
Dampak krisis iklim, seperti desa dan pulau tenggelam, juga tidak dituangkan dalam dokumen RPJPN.
”Dengan digesernya arah pembangunan Indonesia ke sektor laut, jangan-jangan sebenarnya sumber daya alam di daratan sudah habis. Kawasan pertanian produktif juga sudah berubah menjadi pabrik atau infrastruktur lainnya,” ujarnya dalam diskusi ”Mewujudkan Keadilan Iklim dalam RPJPN 2025-2045”secara daring, Jumat (14/4/2023).
Berkaca dari catatan kritis tersebut, Parid menyebut pentingnya seluruh pihak memberikan evaluasi terhadap narasi RPJPN yang tengah didorong pemerintah. Evaluasi ini penting tidak hanya untuk aspek lingkungan, tetapi juga sosial dan ekonomi masyarakat.
Menurut Parid, menuangkan sektor kelautan dalam RPJPN harus belajar dari gagasan Poros Maritim Dunia (PMD). Gagasan ini sebenarnya mencakup aspek budaya, kedaulatan pangan dari nelayan, diplomasi, keamanan, dan infrastruktur maritim. Akan tetapi, pada implementasinya yang diprioritaskan hanya infrastruktur dan sedikit keamanan maritim.
Selain itu, dasar evaluasi RPJPN 2005-2025 jangan hanya pada pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bersifat umum. Sebab, hal ini akan membuat laut menjadi ruang terbuka persaingan antara nelayan kecil dan industri skala besar atau pihak lainnya.
Evaluasi yang dilakukan seharusnya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945. Pasal tersebut mengandung makna terkait penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk kegiatan perekonomian negara.
”Dampak krisis iklim, seperti desa dan pulau tenggelam, juga tidak dituangkan dalam dokumen RPJPN kita karena mengabaikan kondisi lapangan. Bahkan, menurunnya jumlah nelayan juga tidak masuk dalam dokumen ini,” katanya.
Pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Hotmauli Sidabalok, menuturkan, konsep pembangunan secara umum atau mainstream masih berfokus pada indikator produk domestik bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi. Ini termasuk soal penurunan angka kemiskinan dan pembangunan infrastruktur.
”Pembangunan ini perlu dipertanyakan apakah mempertimbangkan kebebasan politik dan sosial untuk masyarakat. Jadi, pembangunan mainstream tidak berbicara soal bagaimana masyarakat punya wewenang untuk menyampaikan pendapatnya,” ucapnya.
Dampak pembangunan
Salah satu contoh pembangunan ini ditunjukkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Tol Tanggul Laut Semarang-Demak dan proyek lainnya, yakni kampung nelayan Tambak Lorok. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, dua proyek pembangunan ini justru dinilai berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan merusak ekosistem pesisir.
Menurut Hotmauli, proyek pembangunan tersebut tidak mengedepankan perspektif keadilan lingkungan karena lebih banyak beban yang ditimbulkan dibandingkan keuntungan. Beberapa beban lingkungan itu seperti terjadinya perubahan lahan pertanian dan tambak, amblesan tanah, penutupan sungai di hilir, dan hilangnya aktivitas menjaga mangrove.
Contoh tersebut membuat Hotmauli menyimpulkan bahwa aspek keadilan lingkungan dan iklim tidak semata-mata muncul dari kondisi alam, tetapi juga pembangunan yang dilakukan selama ini. Sebab, mayoritas masyarakat di sekitar lokasi tidak mengetahui dampak buruk yang ditimbulkan dari proyek pembangunan tersebut.
Hotmauli menekankan, semua pihak harus mencermati pembangunan secara kritis, termasuk yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Advokasi juga harus dikedepankan kepada pemerintah agar pembangunan yang dicanangkan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat ataupun lingkungan.