Kembali ke Rencana Tata Ruang untuk Mitigasi Bencana
Hampir 100 kejadian yang mayoritas merupakan bencana hidrometeorologi terjadi di awal tahun 2023. Sudah saatnya setiap daerah kembali ke rencana tata ruang untuk mitigasi bencana dan melakukan pembangunan ke depan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Krisis iklim yang tengah terjadi saat ini telah meningkatkan angka kejadian bencana hidrometeorologi secara global, termasuk di Indonesia. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan setiap tahun bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan abrasi, di Indonesia mengalami tren peningkatan.
Sepanjang 2022, BNPB mencatat terdapat 3.545 kejadian bencana di Indonesia. Dari total kejadian tersebut, banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di berbagai wilayah, yakni 1.532 kejadian. Kemudian kejadian lainnya antara lain cuaca ekstrem (1.068), tanah longsor (634), kebakaran hutan dan lahan/karhutla (252), gelombang pasang dan abrasi (26), serta kekeringan (4).
Seluruh kejadian bencana tersebut telah mengakibatkan 861 orang meninggal, 8.727 orang luka-luka, 46 orang hilang, serta 6,1 juta orang menderita dan mengungsi karena berbagai peristiwa tersebut. Bencana tersebut juga merusak 95.403 rumah dan 1.983 fasilitas publik yang meliputi sekolah, tempat peribadatan, dan sarana kesehatan.
Sementara data terbaru sejak 1-19 Januari 2023 juga menunjukkan telah terjadi 96 kejadian bencana di berbagai wilayah di Indonesia. Kejadian tersebut di antaranya cuaca ekstrem (40), banjir (23), tanah longsor (15), karhutla (11), serta gelombang pasang dan abrasi (4).
Deputi Bidang Bencana BNPB Prasinta Dewi dalam diskusi bertajuk ”Mitigasi Bencana Berbasis Konservasi Ekosistem dan Tata Ruang” di Depok, Jawa Barat, Jumat (20/1/2023), mengatakan, mengurangi risiko bencana ini dapat dilakukan dengan upaya mitigasi. Upaya ini meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, hingga edukasi dan literasi.
”Kita bisa mengurangi risiko atau dampak dari bencana yang terjadi. Contoh yang sudah dilakukan BNPB yaitu menerapkan teknologi modifikasi cuaca agar wilayah Jabodetabek tidak mengalami hujan lebat atau banjir dengan kapasitas yang besar,” ujarnya.
Selain itu, teknologi modifikasi cuaca (TMC) juga dilakukan untuk mencegah terjadi karhutla. Dalam upaya mencegah karhutla ini, TMC bertujuan membuat hujan buatan melalui persemaian garam (natrium klorida/NaCl) di wilayah dengan potensi karhutla tinggi dan saat mulai terdeteksi munculnya titik api.
Menjelang tahun politik, Prasinta juga mengimbau agar calon kepala daerah tidak hanya mengedepankan program kerja terkait ekonomi dan pendidikan, tetapi juga mitigasi bencana. Setiap calon kepala daerah perlu melihat potensi bencana di wilayahnya masing-masing serta mengajak masyarakat untuk memahami kerawanan ini.
Prasinta menegaskan bahwa saat ini setiap daerah sudah harus membuat kebijakan untuk mendirikan sarana publik dan bangunan lainnya yang tahan terhadap bencana. Hal ini sangat penting untuk mengurangi dampak dari bencana tersebut karena mayoritas korban merupakan masyarakat yang tertimpa reruntuhan bangunan.
Berbagai kegiatan pembangunan yang berbasis kebijakan terkait mitigasi bencana pada akhirnya dapat menghemat anggaran pusat dan daerah. Sebab, anggaran puluhan hingga ratusan miliar dapat dikeluarkan untuk menanggulangi para korban dan memperbaiki bangunan hancur akibat dari bencana yang terjadi tersebut.
”Dari bencana gempa bumi di Cianjur (Jawa Barat) tahun lalu, dalam beberapa minggu kita mengeluarkan miliaran rupiah untuk membangunan kembali. Jadi, alangkah bijaksananya sebelum membangun kita harus melihat kembali upaya mitigasi mulai dari kebijakan, rencana tata kota, hingga kajian risiko bencana,” ujarnya.
Konteks penanggulangan bencana sekarang juga sudah terintegrasi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang. Dalam peraturan tersebut, salah satunya menekankan bahwa penyusunan tata ruang wilayah membutuhkan data dan informasi kebencanaan serta menganalisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Berbasis ekosistem
Selain tata ruang, mitigasi bencana berbasis ekosistem juga sangat penting sebagai upaya penanggulangan jangka panjang. Namun, secara umum mitigasi berbasis ekosistem ini membutuhkan waktu yang lama dan hasilnya tidak bisa dirasakan dengan cepat.
Salah satu contoh mitigasi bencana berbasis ekosistem ialah pemulihan vegetatif seperti mangrove. Upaya mitigasi ini memilki keunggulan yakni cenderung lebih murah dan kapasitas akan semakin meningkat dalam jangka panjang. Saat kondisi tidak bencana, vegetasi ini juga dapat memperkuat garis pantai dan mengurangi gelombang abrasi.
”Mitigasi ini tidak hanya soal membangun infrastruktur, tetapi juga harus berusaha mengurangi dampak yang ada sehingga perlu lebih meningkatkan mitigasi vegetatif. Saat ini sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menghijaukan kembali,” tutur Prasinta.
Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani mengatakan, berbagai kegiatan pembangunan yang sudah dilakukan dengan merujuk regulasi belum tentu sesuai dengan kondisi atau fungsi ekologis dari suatu kabupaten/kota tersebut. Hal ini berkaca dari pertambangan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, meski secara regulasi kegiatan tersebut telah direncanakan dan tertuang dalam peraturan gubernur.
”Kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi ekologis ini bisa dilihat dari tingkat kebencanaan yang terus naik. Banjir yang terjadi di Kabupaten Sintang tahun 2022 ternyata sudah diprediksi oleh BNPB sejak tahun sebelumnya karena perubahan fungsi ekologis,” katanya.
Sebagai upaya mencegah bencana ekologis ini, setiap daerah anggota LTKL pada 2021 menargetkan untuk mempertahankan fungsi ekologis minimal 50 persen dari fungsi yang sudah ada saat ini. Perlindungan kawasan yang berupa hutan, gambut, dan ekosistem penting lainnya ini dilakukan dengan cara inovatif agar bisa menyejahterakan masyarakat.
”Jika berbicara kabupaten tangguh bencana, kita perlu mencari titik temu lewat hilirisasi produk dan jasa yang bernilai tambah serta ramah lingkungan dan sosial. Ini bisa menjadi pola pikir baru bahwa konservasi bukan beban, melainkan sebuah peluang,” ujarnya.