Mayoritas Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Berisiko Jatuh Miskin
Pasien tuberkulosis resisten obat dapat jatuh miskin apabila tidak diberi perlindungan sosial. Sebab, sebagian besar dari mereka menanggung biaya katastropik selama masa pengobatan yang berlangsung 9-24 bulan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Dokter memberi penjelasan terkait hasil foto rontgen dada peserta kegiatan penjaringan tuberkulosis (TBC) secara aktif di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Rabu (14/12/2022). Penjaringan TBC secara aktif merupakan bagian penting upaya mengeliminasi penyakit tersebut di kalangan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 81 persen pasien tuberkulosis resisten obat atau TBC RO menanggung biaya katastropik, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk berobat hingga tuntas yang melebihi batas maksimal pengeluaran per pendapatan keluarga per tahun. Mereka membutuhkan perlindungan sosial agar tidak jatuh pada kemiskinan.
Demikian hasil penelitian Stop TB Partnership Indonesia (STPI) pada 2022. Penelitian dilakukan terhadap 100 pasien TB RO di Jawa Barat dan Jawa Timur. Hasil penelitian ini dipaparkan dalam gelar wicara daring, Selasa (11/4/2023).
Dalam riset tersebut, peneliti menghitung biaya langsung pengobatan, ditambah biaya langsung nonpengobatan, dan ditambah biaya tidak langsung yang ditanggung pasien selama berobat. Semua itu lantas dibagi dengan jumlah pengeluaran rumah tangga. Jika hasilnya di atas 20 persen, pasien dinyatakan menanggung biaya katastropik.
Contoh biaya langsung pengobatan adalah biaya pembelian vitamin, rontgen, atau hal lain yang tidak ditanggung program Jaminan Kesehatan Nasional. Biaya langsung nonpengobatan misalnya biaya transportasi selama berobat. Sementara biaya tidak langsung adalah yang dihasilkan dari kehilangan pekerjaan atau penurunan pendapatan saat sakit TBC RO.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Dokter memberikan obat kepada pasien TBC di poliklinik Tuberculosis multidrug resistant (TBC MDR) Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta, Kamis (4/2). Rungan tersebut khusus melayani pasien TBC yang imun dengan obat TBC biasa sehingga memerlukan obat khusus dengan tenaga medis yang khusus pula.
Dari data yang dihimpun, rata-rata pengeluaran untuk berobat sebanyak Rp 1,8 juta, sementara rata-rata pengeluaran rumah tangga bulanan adalah Rp 3,3 juta. Hasilnya, 81 persen responden penelitian menanggung biaya katastropik.
”Semua kelas ekonomi berpotensi mengalami pengeluaran katastropik. Sebab, semua kelas ekonomi yang kami survei mengalami perubahan pengeluaran rumah tangga selama pengobatan. Jadi, ini tidak hanya dialami orang miskin,” kata kata Monitoring, Evaluation, and Learning Coordinator STPI Nurliyanti.
Sakit TBC RO itu memiskinkan. Ini merupakan penyakit dengan akibat katastropik di mana banyak pasien akhirnya jatuh miskin.
Di sisi lain, pasien TBC RO juga berisiko kehilangan pekerjaan akibat sakit. Ada yang mundur dari pekerjaan karena efek samping obat, tetapi ada juga yang diberhentikan dari pekerjaannya. Hal ini berdampak ke pendapatan pasien, khususnya jika pasien adalah pencari nafkah keluarga.
Ketua Yayasan Rekat Peduli Indonesia Ani Herna Sari mengatakan, dirinya mesti keluar dari pekerjaannya saat mengidap TBC RO. Ia juga menjual rumah untuk menutupi kebutuhan hidup.
Menurut Ketua Yayasan STPI Nurul Nadia HW Luntungan, pasien TBC RO tidak hanya butuh dukungan medis, tetapi juga ekonomi dan sosial. Tanpa itu semua, akan sulit melacak pasien TBC RO dan membantu mereka berobat hingga tuntas. Jika pasien tidak ditemukan dan diobati, penularan akan terus terjadi.
”Sakit TBC RO itu memiskinkan. Ini merupakan penyakit dengan akibat katastropik di mana banyak pasien akhirnya jatuh miskin. Mereka jadi enggan berobat karena ada kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan sosial yang mesti dipenuhi,” kata Nurul.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga menunggu proses rontgen paru dalam kegiatan penapisan tuberkulosis (TBC) di Kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban tuberkulosis atau TBC tertinggi di dunia.
Perlindungan sosial
Berangkat dari temuan ini, STPI melakukan survei lanjutan terkait perlindungan sosial pada 2022. Penelitian dilakukan terhadap 332 pasien TBC RO di sepuluh provinsi, antara lain Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Hasilnya, 257 responden menyatakan tidak menerima bantuan dari Program Keluarga Harapan yang dijalankan Kementerian Sosial. Padahal, 75 persen di antara 257 responden itu miskin dan rentan miskin.
Dari semua responden yang menerima bantuan, 81 persen di antaranya menyebut bahwa bantuan itu, antara lain, berupa pemberian makanan tambahan, bantuan pangan nontunai, dan uang tunai. Sebanyak 71 persen di antaranya adalah bantuan dari pemerintah, 15 persen bantuan dari lembaga filantropi, dan 14 persen dari kerabat.
”Bantuan dari setiap provinsi berbeda sehingga butuh kebijakan nasional yang dapat diturunkan menjadi kebijakan tingkat provinsi,” kata Nurliyanti.
KOMPAS/RYAN RINALDY
Kader Pimpinan Daerah Aisyiyah Surabaya menyosialisasikan bahaya penyakit tuberkulosis (TB) kepada warga di Hari Bebas Kendaraan Bermotor Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3).
Ia lantas merekomendasikan kebijakan bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfer/CCT). CCT pernah diterapkan di sejumlah negara, seperti Brasil, India, Argentina, dan Afrika Selatan. Adapun di Indonesia, skema yang paling mendekati CCT adalah PKH.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi berharap agar hasil kajian STPI dapat menjadi masukan untuk pemerintah. Kajian juga diharapkan dapat dijadikan dasar memperkuat penanganan TBC di masa depan.