Sebagian pasien tuberkulosis resisten obat (TBC RO) tidak berobat hingga tuntas karena panjangnya durasi pengobatan dan efek samping yang berat. Paduan pengobatan BPaL dapat mengurangi tantangan itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Cirebon menunjukkan sampel dahak untuk pemeriksaan tuberkulosis di Auditorium Adang Hamara Lapas Narkotika Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (12/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS – Pengobatan tuberkulosis resisten obat kini dapat dipersingkat menjadi enam bulan dengan regimen BPaL atau bedaquiline, pretomanid, dan linezolid. Selain lebih singkat, efek samping pengobatan juga dapat dikurangi dengan regimen ini. Hal tersebut diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pengobatan dan tingkat kesembuhan pada pasien.
Paduan BPaL direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Desember 2022. BPaL memiliki tingkat efektivitas hingga 90 persen dan durasi pengobatan adalah enam bulan. Sementara itu, efektivitas pengobatan tuberkulosis resisten obat (TBC RO) saat ini sebesar 60-80 persen dengan durasi pengibatan 9-12 bulan atau 8-20 bulan.
Dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan Erlina Burhan mengatakan, dengan pengobatan TBC RO saat ini, pasien mesti mengonsumsi 3.500 pil hingga pengobatan selesai. Biaya pengobatannya mencapai sekitar Rp 120 juta. Dengan BPaL, pasien bisa mengurangi jumlah pil yang dikonsumsi menjadi 524-832 buah. Biaya pengobatan juga bisa dikurangi menjadi hanya sekitar Rp 9 juta.
“Kami berharap BPaL dan BPaLM bisa menjadi program nasional pada 2023,” kata Erlina pada diskusi daring “Fast Track the Cure: Pengobatan 6 Bulan, Harapan Baru bagi Pasien TBC RO” pada Kamis (6/4/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Hasil rontgen paru warga dalam kegiatan penapisan tuberkulosis (TB) di di GOR Otista, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta. Timur, Kamis (9/2/2023). Kegiatan penapisan melalui rontgen, tes mantoux, dan pemeriksaan dahak ini sebagai upaya penanganan kasus tuberkulosis sejak dini di masyarakat.
Pengobatan ini bisa dilakukan tanpa atau dengan obat moxifloxacin (BPaLM), tergantung pada kondisi pasien. BPaLM hanya bisa diterapkan antara lain ke pasien berusia di atas 14 tahun, serta yang tidak terpapar bedaquiline, pretomanid, dan linezolid selama lebih dari sebulan.
Inovasi pengobatan TBC RO ini penting karena durasi yang panjang membuat sebagian pasien tidak berobat hingga tuntas. Beratnya efek samping obat juga menghambat pasien untuk sembuh. Efek samping itu antara lain mual, muntah, pusing, hingga halusinasi. Bahkan, pasien yang “tidak kuat” berobat berisiko bunuh diri.
Efek samping obat TBC RO antara lain mual, muntah, pusing, hingga halusinasi. Bahkan, pasien yang “tidak kuat” berobat berisiko bunuh diri.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Rekat Peduli Indonesia Ani Herna Sari, TBC RO bukan hanya masalah kesehatan, namun juga sosial hingga ekonomi. Ia yang juga penyintas TBC RO, misalnya, mesti keluar dari pekerjaannya dulu dan menjual rumah untuk menyelesaikan pengobatan.
Pasien juga kerap menerima stigma negatif dari masyarakat. Dukungan keluarga dan orang terdekat dibutuhkan agar pasien tidak kehilangan semangat berobat. Jika tidak diobati hingga tuntas, pasien berpotensi menularkan penyakit ini ke orang lain.
“Tantangan itu dialami pasien mulai saat gejala muncul, bagaimana akses perawatan, diagnosis, mulai pengobatan, menjalani pengobatan, hingga rehabilitasi,” tutur Ani.
Paduan pengobatan BPaL di Indonesia telah dipersiapkan sejak 2019. Penelitian operasional lantas diluncurkan pada 2022, lalu dilakukan pada 7 Juli 2022 hingga 31 Maret 2023 terhadap 87 pasien TBC RO. Uji coba dilakukan di 15 rumah sakit di 4 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Dari 87 pasien tersebut, 63 orang di antaranya masih diobati, 21 orang sembuh, 1 orang meninggal dunia, dan 2 orang ditarik dari penelitian tersebut karena beberapa alasan. Erlina mengatakan, tidak ada yang putus obat selama penelitian berlangsung.
“Efek samping yang dialami pasien antara lain anemia, rasa kebas, keram, atau kesemutan. Tetapi, semua efek samping bisa diatasi dengan pemberian obat tambahan dan transfusi darah bagi yang anemia,” kata Erlina yang juga terlibat dalam penelitian operasional ini.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan, paduan pengobatan BPaL akan diperluas pada 2023 dan akan segera dilakukan implementasi tahap awal. Ia menambahkan bahwa regimen pengobatan yang lebih singkat, aman, dan minimal mesti diterapkan. Sebab, ini berhubungan dengan kemauan dan tingkat keberhasilan pengobatan.
Adapun persentase pasien TBC RO yang mulai berobat (enrollment rate) di Indonesia per Maret 2023 adalah 42 persen. Tingkat keberhasilan pengobatan TB CRO sebesar 51 persen.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, menurut perkiraan WHO, ada 969.000 kasus TBC di Indonesia. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang kasus TBC terbanyak kedua di dunia setelah India.
Walau demikian, jumlah pasien yang mampu terdeteksi masih rendah. Pada 2021, diperkirakan ada 845.000 kasus TBC, namun yang bisa diidentifikasi baru 568.000 kasus atau 67 persen. Budi mengatakan, pasien yang tak terdeteksi berpotensi besar menularkan penyakit ke orang lain.
“Target saya adalah 90 persen notifikasi harus tercapai saat saya pensiun. Jika saat ini estimasi kasusnya 969.000, ya, 90 persen dari itu yang mesti dicapai notifikasinya. Artinya, sekitar 872.000 kasus. Jika dibagi 12 bulan, berarti sebulannya mesti mengidentifikasi 72.000 kasus,” kata Budi.
Dari angka 72.000 kasus yang mesti diidentifikasi per bulan, Budi menargetkan agar 100 persen pasien mesti berobat hingga tuntas. Ia berharap paduan pengobatan BPaL dapat meningkatkan enrolment rate TBC RO.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas medis mengarahkan tubuh warga pada proses rontgen paru dalam kegiatan penapisan Tuberkulosis (TBC) di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023).