Penderita Tuberkulosis Resisten Obat Perlu Jaminan Sosial
Hasil kajian menunjukkan, 81 persen orang dengan tuberkulosis resisten obat mengalami kondisi katastropik dan mayoritas berada dalam kategori miskin. Oleh karena itu, mereka perlu mendapat jaminan sosial dari pemerintah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penderita tuberkulosis resisten obat atau TBC-RO perlu mendapat jaminan sosial. Sebab, tuberkulosis termasuk dalam penyakit katastropik yang membutuhkan pengobatan dan perawatan bekepanjangan. Hasil kajian menunjukkan beberapa program pemerintah yang ada saat ini berpotensi mendukung orang yang terdampak TBC-RO.
Hal itu terangkum dalam laporan ringkasan kebijakan tentang jaminan sosial bagi orang terdampak TBC-RO yang diluncurkan secara daring di Jakarta, Selasa (20/9/2022). Hasil kajian ini disusun oleh tim peneliti dari Stop TB Partnership Indonesia (STPI).
Peneliti STPI yang juga salah satu penyusun laporan tersebut, Ninik Annisa, mengemukakan, laporan ini disusun karena data menunjukkan sebanyak 8.268 penduduk Indonesia terkonfirmasi TBC-RO. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 5.082 orang atau 61,5 persen di antaranya yang berhasil diobati.
”Kondisi TBC-RO yang tidak terobati tidak hanya dapat menimbulkan kematian bagi penderita, tetapi juga berpotensi menularkan kepada orang lain. Di sisi lain, masa pengobatan penderita TBC-RO cukup lama, yaitu antara 9 bulan dan 24 bulan. Proses pengobatan ini juga memiliki dampak multidimensi, seperti fisik, psikologi, dan finansial,” ujarnya.
Kondisi TBC-RO yang tidak terobati tidak hanya dapat menimbulkan kematian bagi penderita, tetapi juga berpotensi menularkan kepada orang lain. Di sisi lain, masa pengobatan penderita TBC-RO cukup lama, yaitu antara 9 bulan dan 24 bulan.
Ninik menjelaskan, riset mengenai jaminan sosial bagi orang terdampak TBC-RO dilakukan selama lima bulan sejak Desember 2021-April 2022. Kajian dilakukan dengan metode kuantitatif, yakni survei kepada 332 responden di 10 kota, dan metode kualitatif melalui tinjauan literatur ataupun kebijakan hingga diskusi grup terfokus (FGD).
Dari hasil kajian ini disimpulkan bahwa 81 persen orang dengan TBC-RO mengalami kondisi katastropik. Mereka mengalami kehilangan pekerjaan ataupun kemampuan produktif.
Hasil survei kuantitatif juga menunjukkan, 54 persen responden yang merupakan orang dengan TBC-RO berada dalam kategori miskin dengan penghasilan kurang dari Rp 2 juta. Sementara 23 persen responden lainnya berada dalam kategori rentan miskin berpenghasilan Rp 2 juta hingga Rp 3 juta.
Meski demikian, data menunjukkan hanya 23 persen dari mereka yang menerima bantuan program keluarga harapan (PKH) pada 2020. Dengan kondisi ini, orang dengan TBC-RO berpotensi semakin menderita karena mereka juga harus menanggung biaya medis untuk pengobatan dan fasilitas kesehatan ataupun biaya nonmedis lainnya.
”Pasien TBC-RO perlu berobat setiap hari ke rumah sakit karena harus terus dipantau dan terkadang mereka butuh pendamping. Bahkan, sering kali pengobatan memiliki efek samping sehingga mereka juga butuh konsumsi penyeimbang, seperti buah,” ucap Ninik.
Tim peneliti STPI kemudian mengkaji lima program pemerintah yang berpotensi mendukung orang terdampak TBC-RO. Lima program itu ialah PKH, program Indonesia sehat atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, program sembako, program kewirausahaan sosial (Prokus), dan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni (RS-RTLH).
Selain itu, terdapat usulan alternatif skema jaminan sosial berupa transfer tunai bersyarat (conditional cash transfer/CCT), CCT khusus, dan program jaminan sosial lainnya. Merujuk sejumlah hasil kajian dari negara lain, skema CCT dapat membantu orang terdampak TBC-RO dan bermanfaat besar dalam mengurangi angka kemiskinan.
Dalam laporan ini, tim peneliti juga memberikan rekomendasi kebijakan bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Sosial (Kemensos). Dua kementerian ini dinilai perlu memberikan jaminan sosial bagi orang terdampak TBC-RO dengan melakukan integrasi basis data, teknis persiapan, pelaksanaan, hingga monitoring evaluasi.
Dukungan pemerintah
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Andie Megantara mengutarakan, studi yang diinisiasi STPI membuktikan bahwa sebagian besar pasien TBC-RO mengalami dampak katastropik. Kondisi ini dua kali lebih besar dibandingkan dengan pasien TBC sensitif obat.
”Berdasarkan kondisi tersebut, sudah selayaknya pasien TBC-RO dapat dimasukkan dalam P3KE (pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem). Mereka berhak mendapat program pengurangan beban pengeluaran, program pengurangan kantong kemiskinan, dan program peningkatan pendapatan,” ujarnya.
Menurut Andie, strategi peningkatan pelayanan TBC bermutu dan berpihak kepada pasien dilakukan pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tahun ini, program JKN ditargetkan dapat mencakup 96,8 juta jiwa bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, termasuk keluarga penerima manfaat PKH.
”Peserta JKN mendapat manfaat berupa pengobatan TBC yang sesuai dengan indikasi medis. Komplikasi juga dijamin dalam JKN dengan obat rutin sesuai dengan program pemerintah,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Tiffany Tiara Pakasi menegaskan, perbaikan lingkungan rumah pasien TBC-RO agar layak huni menjadi langkah penting penanggulangan TBC. Kegiatan ini juga mulai dilakukan oleh Kemenkes bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
”Terkait pemberian jaminan sosial, saat ini pemerintah juga sudah melakukannya dengan bantuan hibah dari pihak luar negeri, tetapi jumlahnya terbatas. Alokasi dukungan ini ada yang untuk saat terdiagnosis TBC-RO maupun selama pengobatan,” ucapnya.