Perdukunan yang Melintasi Zaman
Perdukunan memiliki jejak yang panjang dalam peradaban manusia. Namanya mungkin berbeda-beda—dukun, cenayang, orang suci, saman, sikerei, datuk—tetapi perdukunan melintasi hampir semua batas budaya di dunia.
Sebanyak 12 orang tewas dibunuh dukun ”pengganda uang” di Banjarnegara, Jawa Tengah. Sementara pada Senin (3/4/2023), ribuan orang memenuhi Gelanggang Olahraga (GOR) Kostrad Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, untuk berobat ke dukun yang sebelumnya viral di Tiktok.
Fenomena perdukunan sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Sejak awal diterbitkan hingga kini, Kompas telah menulis 4.197 artikel terkait praktik perdukunan. Sebagian besar berita ini tentang penipuan yang dilakukan para dukun.
Berita pertama tentang perdukunan diterbitkan pada Senin, 12 Juli 1965, mengisahkan seorang dukun yang juga kepala sekolah dasar di Kuningan, Jawa Barat, ditangkap karena menipu dan bertindak asusila. Kepada para korban, sang dukun berjanji menggandakan uang lewat bantuan makhluk halus yang mengambilnya dari koruptor.
Kasus penipuan oleh dukun yang diikuti pembunuhan juga berulang kali terjadi. Pada 27 Mei 1970, suami-istri dan anaknya dibunuh seorang dukun di Bandung. Awalnya, sang dukun berjanji mengobati sang anak yang sakit dengan imbalan uang. Namun, bukannya sembuh, anak-beranak ini justru dibunuh sang dukun.
Pada Mei 1997, diberitakan kasus pembunuhan terhadap 42 perempuan oleh seorang dukun di Kecamatan Sunggal, Deli Serdang, Sumatera Utara. Sang dukun mengaku membunuh para perempuan yang datang minta pertolongan spiritual padanya sejak tahun 1986, sebagai bagian ritual perdukunan.
Baca juga: Empat Jenazah Korban Dukun Banjarnegara Kembali Teridentifikasi
Tak hanya di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di banyak negara lain. Masyarakat Amerika Latin menyebut orang-orang yang secara curang menyamar sebagai penyembuh tradisional ini sebagai ”dukun plastik”.
Dukun plastik adalah istilah yang disematkan pada individu yang menyamar sebagai dukun, orang suci, atau pemimpin spiritual tradisional lainnya, tetapi tidak memiliki hubungan asli dengan tradisi atau budaya yang mereka klaim.
Dalam beberapa kasus, dukun plastik ini mungkin memiliki hubungan budaya asli, tetapi mengeksploitasi pengetahuan itu demi ego, kekuasaan, ataupun uang.
Evolusi samanisme
Di luar keberadaan para dukun plastik, praktik samanisme (perdukunan) memiliki jejak panjang dalam peradaban manusia. Namanya mungkin berbeda-beda—dukun, cenayang, orang suci, saman, sikerei, datuk—tapi samanisme melintasi hampir semua batas budaya di dunia.
Salah satu jejak tertua samanisme di dunia bisa ditemukan pada lukisan tangan di goa karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur, sebagaimana dilaporkan arkeolog Maxime Aubert dari Universitas Griffith dan tim di jurnal Nature (2018).
Serial lukisan goa ini yang tertua berumur 52.000 tahun. Awalnya, lukisan ini didominasi gambar tapak tangan dan binatang purba seperti tapir dan trenggiling raksasa, yang punah di Kalimantan. Hingga 13.600 tahun lalu, para penghuni goa ini mulai menggambar sosok manusia menari atau dikenal sebagai motif ”Datu Saman”.
Penelitian Manvir Singh, antropolog Harvard University, tentang praktik perdukunan di Mentawai yang dilaporkan di Behavioral and Brain Sciences (2018) menyebutkan, sikerei atau sosok saman di Mentawai merupakan ”profesi pertama”, yang mewakili pembagian kerja pertama yang dilembagakan di luar usia dan jenis kelamin.
Baca juga: Dukun, Pengobatan Alternatif, dan Sistem Kesehatan Kita
Dia bertugas melayani berbagai keperluan, mulai dari menyembuhkan penyakit, mengusir roh jahat, meramal, atau bahkan mengubah cuaca.
Dalam paper ini, Singh mengusulkan sebuah teori evolusi budaya untuk menjelaskan mengapa perdukunan berkembang secara konsisten dan, mengapa tradisi perdukunan menunjukkan ciri-ciri berulang di seluruh dunia; mengapa perdukunan diprofesionalkan lebih awal, sering kali tanpa ada spesialisasi lain; dan pergeseran kondisi sosial memengaruhi bentuk atau keberadaan perdukunan.
Singh menyebut, perdukunan berkembang saat para spesialis bersaing untuk memberikan layanan magis kepada komunitas. Hasilnya adalah serangkaian tradisi yang meretas bias psikologis orang untuk meyakinkan bahwa mereka dapat mengendalikan ketidakpastian.
”Teorinya adalah bahwa ada hal-hal penting yang ingin kita kendalikan—memanggil hujan, memanggil hewan, menyembuhkan penyakit,” tuturnya. Di seluruh dunia, orang percaya bahwa hasil yang penting dan tidak pasti ini dipengaruhi kekuatan tak terlihat—dewa, penyihir, nenek moyang mereka, peri, dan banyak lagi.
Namun seorang dukun mengatakan, ”Saya bisa mengendalikan itu. Saya bisa berbicara dengan peri. Saya bisa melihat tanda-tanda penyihir. Saya bisa dirasuki dewa atau berbicara dengan mereka.”
Dalam samanisme, hasil akhir upaya dukun kerap tak bisa dipastikan. Namun, orang tetap percaya, lebih karena dirinya tersugesti untuk percaya.
Teorinya adalah bahwa ada hal-hal penting yang ingin kita kendalikan—memanggil hujan, memanggil hewan, menyembuhkan penyakit.
Kunci kepercayaan warga bahwa dukun memiliki kemampuan itu, kata Singh, berasal dari narasi bahwa dia menjelma jadi sesuatu yang lebih dari manusia dan mampu berinteraksi dengan kekuatan supranatural, di antaranya dengan menari berjam-jam hingga memasuki kondisi trans.
Baca juga: Pengetahuan Lokal Dukun Tergerus Zaman
Sebagai bagian tradisi tua, samanisme saat ini menunjukkan perkembangan baru. Menurut sensus di Inggris Raya seperti ditulis Alexander Alich dari Health Services Management Centre, University of Birmingham di The Conversation (Januari, 2023), perdukunan atau samanisme menjadi ”kepercayaan ” tumbuh tercepat di negeri itu.
Hanya 650 orang mengatakan mereka menganut sistem kepercayaan tersebut pada tahun 2011. Namun, angka tersebut telah meningkat lebih dari 10 kali lipat selama dekade terakhir menjadi 8.000 orang pada tahun 2022.
Tak hanya di Inggris, popularitas samanisme ini juga meningkat di beberapa negara maju lain, termasuk di Amerika, Australia, Korea Selatan, hingga Siberia. Menurut penelitian Alich tentang perdukunan dan keselamatan pasien, banyak alasan mengapa orang modern mencari perdukunan.
”Mereka mungkin tertarik untuk mengalami koneksi, menemukan makna atau tujuan hidup mereka, atau tak puas dengan perawatan medis ortodoks,” katanya. Selain itu, krisis multidimensi, termasuk krisis iklim, yang belakangan melanda, membuat banyak orang terobsesi untuk terkoneksi dengan kekuatan supranatural.
Namun, perlu dicatat, perdukunan tidak diatur di bawah badan mana pun. Gelar ”dukun” juga tidak didefinisikan dengan baik sehingga pasien harus ekstra hati-hati. Alih-alih merasakan pengalaman baru apalagi kesembuhan, pasien bisa jatuh pada dukun plastik yang membahayakan keselamatan.