Komnas HAM: Ada Indikasi Pelanggaran HAM dalam Pembangunan KEK Mandalika
Setidaknya dua ajang otomotif kelas dunia telah berlangsung di Sirkuit Internasional Mandalika, yakni World Superbike dan MotoGP. Di balik kebanggaan tersebut, hak-hak masyarakat adat sekitar terenggut.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak semula telah mengindikasikan adanya pelanggaran HAM dalam proyek pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Pelanggaran tersebut berupa perampasan hak-hak atas tanah dan penghidupan masyarakat sekitar kawasan.
Pernyataan itu disampaikan oleh komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, dalam laporan riset ”Dampak HAM dan Sosio-Ekonomi akibat Pembangunan Proyek Infrastruktur Mandalika” di Jakarta, Senin (10/4/2023). Riset tersebut dilakukan oleh Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII), yakni perkumpulan organisasi non-pemerintah Indonesia dan internasional yang bergerak pada penegakan HAM dan perlindungan lingkungan.
Sebelumnya, Komnas HAM telah menerima laporan aduan dari warga yang terdampak pembangunan Sirkuit Internasional Mandalika di Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2022. Berdasarkan aduan tersebut, warga melaporkan adanya intimidasi pengambilalihan lahan oleh aparat keamanan. Padahal, mereka merasa tidak pernah melepaskan hak atas tanahnya kepada siapa pun, termasuk Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).
Dari yang sebelumnya bertani, kini mereka tidak punya lahan lagi sehingga mereka menjadi buruh tani. Mereka yang bekerja sebagai nelayan rumput laut harus mencari lokasi baru yang lebih jauh untuk budidaya rumput laut.
PT ITDC merupakan perusahaan milik badan usaha milik negara yang memimpin proyek pembangunan KEK Mandalika yang mencakup Sirkuit Internasional Mandalika. Pembangunan proyek tersebut menggunakan pinjaman Bank Investasi Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB) sebesar Rp 3,8 triliun.
”Sejak awal, kami sudah menduga jika ada pelanggaran HAM dalam kasus Mandalika ini. Kami sudah mengeluarkan rekomendasi kepada PT ITDC, Pemerintah Provinsi Nusantara Barat, bahkan kepada Presiden. Namun, terus terang, karena sifatnya rekomendasi ini salah satu kelemahan dari fungsi Komnas HAM, kami tidak bisa memaksa,” kata Prabianto.
Laporan aduan tersebut ditindaklanjuti dengan pemantauan untuk mencari fakta-fakta di lapangan dan meminta tanggapan dari PT ITDC. Setelah itu, Komnas HAM merekomendasikan agar pihak-pihak terkait memberikan ganti untung kepada warga terdampak, membuka ruang dialog dengan warga, dan tidak melakukan intimidasi warga.
Menurut Prabianto, penyelesaian konflik sengketa lahan antara warga dan pihak penyelenggara proyek sebaiknya dilakukan melalui mekanisme mediasi dalam bentuk aduan konflik lahan. Dengan mekanisme tersebut, Komnas HAM dapat memberikan alternatif penyelesaian masalah dengan membuka ruang dialog kedua belah pihak.
”Kasus Mandalika ini perlu dikawal dengan pemantauan dan pengaduan kepada Komnas HAM terkait dengan hak-hal tanah dan penghidupan masyarakat yang selama kni mereka miliki. Bagi calon investor, penting untuk mereka mengedepankan prinsip-prinsip HAM dalam berbisnis. Khusus untuk ITDC, mereka perlu melakukan uji tuntas HAM atas kegiatan bisnis mereka,” kata Prabianto.
Pelanggaran hak-hak masyarakat di KEK Mandalika tecermin melalui kajian yang dilakukan oleh KPPII. Laporan tersebut disusun berdasarkan survei selama periode Desember 2022 hingga Januari 2023 terhadap 105 masyarakat adat Sasak yang terdampak proyek Mandalika.
Peneliti KPPII, Sayyidatiihayaa Afra, menyebut, sebanyak 99 persen responden merasa tidak puas atas informasi mengenai proyek Mandalika dan 82 persen responden menyatakan jika mereka tidak memberikan persetujuan untuk proyek Mandalika. Padahal, AIIB selaku penggelontor dana mewajibkan kliennya atau peminjamnya, yakni PT ITDC, untuk mengedepankan kerangka kerja lingkungan dan sosial (enviromental and social framework/ESF).
Standar lingkungan dan sosial AIIB meliputi penilaian risiko dan dampak lingkungan-sosial dari proyek, serta konsultasi yang bermakna dengan pemangku kepentingan selama persiapan proyek dan pada fase pembangunan. Selain itu, persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat setempat.
”PT ITDC gagal melakukan tiga standar tersebut. Hanya 6 persen yang terlibat dalam konsultasi dengan AIIB atau PT ITDC. Padahal, proyek itu baru boleh berjalan ketika ada persetujuan dari seluruh masyarakat,” ujar Afra.
Selain itu, KPPII juga menemukan, 70 persen responden merasa terintimidasi oleh adanya aparat keamanan dalam proses pembebasan lahan. Kejadian serupa bukan untuk kali pertama, melainkan telah terjadi sejak tahun 1990 saat pengambangan investasi pariwisata oleh Lombok Tourism Development Corporation dan pembangunan Bandara Internasional Lombok.
Afra menambahkan, sebanyak 84 persen menyatakan jika mereka terdampak oleh pengerahan aparat kemanan selama berlangsungnya ajang World Superbike tahun 2021 dan MotoGP tahun 2022 di Sirkuit Internasional Mandalika. Salah satu responden mengatakan, saat ajang tersebut berlangsung sebanyak 800 personel aparat keamanan berjaga dengan alasan keamanan.
Dampak sosial ekonomi
Proyek tersebut berdampak pada masyarakat adat Sasak yang menggantungkan kehidupannya pada hasil alam. Beberapa mata pencarian mereka antara lain dengan bertani, mengumpulkan rumput laut, kerang-kerangan, ikan dan udang, beternak ayam, serta beternak sapi.
Menurut hasil survei KPPII, sebanyak 69 persen responden menyatakan proyek Mandalika telah menghancurkan sumber daya alam yang selama ini memberi penghidupan kepada mereka. Hal itu tecermin dari hilangnya lahan bertani, tidak diberikannya akses menuju pantai atau laut, serta perubahan sosial pada masyarakat Sasak yang kini bergantung pada pekerjaan tanpa keterampilan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
”Sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan yang menghidupi mereka. Dari yang sebelumnya bertani kini mereka tidak punya lahan lagi sehingga mereka menjadi buruh tani. Lalu mereka yang bekerja sebagai nelayan rumput laut harus mencari lokasi baru yang lebih jauh untuk budidaya rumput laut,” tutur Harry Sandi Ame, perwakilan masyarakat adat Sasak.
Bukan hanya kehilangan mata pencarian utama, masyarakat adat yang terdampak juga tidak mendapatkan kompensasi yang memadai. Masih dari survei KPPII, sebanyak 99 persen responden merasa jika mereka tidak mendapatkan kompensasi yang adil dan sesuai dengan nilai tanah, rumah, serta mata pencarian mereka yang hilang akibat proyek Mandalika.
Terhitung hanya 15 persen responden yang mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka dan kurang dari sepertiga responden yang menerima kompensasi untuk rumah dan tanaman yang hilang. Lalu 92 persen responden mengatakan jika mereka tidak bisa bernegosiasi untuk kompensasi yang memuaskan.
”Padahal, kalau perusahaan mau membayar dengan harga yang sesuai, kami bersedia untuk pindah. Sederhana saja, tanah kami dibayar dan kami siap untuk pindah. Namun, nyatamya tidak demikian malah banyak aparat yang datang dan terkesan memberikan teror,” kata Sahnan (45), warga Desa Kawo, Kecamatan Pucut, Lombok Tengah.
Oleh sebab itu, KPPII memberikan empat rekomendasi kepada para pemangku kepentingan. Pertama, PT ITDC dan pemerintah menarik aparat keamanan dalam proses pembebasan lahan.
Kedua, pembebasan lahan diselesaikan secara tuntas dengan memberikan kompensasi ganti untung yang sesuai. Ketiga, penduduk yang terdampak diberikan pemulihan. Terakhir, pemerintah dan PT ITDC menyelesaikan masalah permukiman kembali atau relokasi yang dilakukan secara paksa.
Di samping itu, Direktur Djokosoetono Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia Patricia Rinwigati turut memberikan rekomendasi. ”Pihak-pihak yang bermitra dalam proyek tersebut harus mengedepankan HAM dalam mengambil kebijakan. Lalu para penduduk juga perlu diberikan pemulihan atas trauma yang mereka alami,” kata Patricia.
Pada artikel ini telah dilakukan revisi tanpa mengubah substansi.