Jadwal Sekolah Dapat Memengaruhi Hasil Pendidikan
Tidak ada yang menjamin bahwa durasi dan jadwal sekolah yang lama atau lebih pagi akan menunjang prestasi belajar. Sejumlah faktor lain turut menentukan.
Jadwal masuk sekolah pagi untuk pelajar SMA/SMK di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang diubah dari pukul 05.000 WITA menjadi mulai pukul 05.30 pada Februari 2023 lalu sempat menimbulkan pro-kontra. Namun, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur bergeming dan tetap meyakini bahwa cara itu akan mendongkrak mutu pendidikan, terutama untuk mempersiapkan lulusan SMA/SMK agar bisa tembus ke perguruan tinggi ternama, baik di dalam maupun luar negeri.
Dari analisis Kate Redman dari tim Global Education Report (GEM) UNESCO yang dipaparkan di world education blog, Jumat (7/4/2023), semua pihak, termasuk sekolah dan pendidik cenderung menerima begitu saja kalender dan jadwal sekolah. Mereka berpikir hal itu tidak memiliki konsekuensi karena telah dijalankan dari generasi-generasi sebelumnya.
Namun, dari distribusi hari pengajaran lintas minggu dan tahun, hingga durasi dan pengaturan hari sekolah itu sendiri, ternyata jadwal sekolah dapat berdampak penting pada kualitas dan pemerataan sistem pendidikan.
Baca juga: Masuk Sekolah Terlalu Pagi, 96,16 Persen Siswa SMAN 1 Kupang Terlambat
Pengaturan kalender sekolah tahunan terkait langsung dengan total waktu pengajaran untuk siswa. Hal tersebut sering kali diatur oleh otoritas nasional atau subnasional.
Di antara negara berpenghasilan menengah dan tinggi, rata-rata jumlah hari pengajaran per tahun di pendidikan dasar berkisar antara 162 hari di Perancis hingga 219 hari di Israel.
Menurut Kate, memang tidak ada satu model yang berhasil. “Tetapi menemukan model yang tepat untuk negara, musim, dan budaya sangatlah penting. Membuat keputusan yang salah tentang kapan, berapa lama, dan berapa banyak jeda sekolah yang seharusnya dapat membuat perbedaan,” papar Kate.
Pengaturan tentang jadwal sekolah di berbagai penjuru dunia memang beragam. Sebagian perbedaannya adalah karena pengaturan minggu sekolah yang bervariasi, misalnya antara 4 atau 4,5 hari di Perancis dan di Israel 6 hari. Faktor lainnya adalah total lama liburan sekolah, mulai dari kurang 9 minggu di Meksiko hingga hampir 18 minggu di Irlandia.
Ada juga perbedaan distribusi istirahat sekolah sepanjang tahun. Meskipun siswa di Luksemburg dan Turki memiliki liburan 15 minggu setahun, itu dibagi menjadi enam istirahat di Luksemburg, sementara di Turki dua istirahat.
Sampai sejauh ini belum ada studi yang menjelaskan sekolah lebih pagi dapat meningkatkan prestasi anak.
Pola yang umum adalah libur sekolah terlama pada akhir tahun akademik, sering kali selama musim panas. Sejarah kalender ini muncul di Eropa dan Amerika Utara dan sekarang umum di sebagian besar dunia. Hal ini tidak terkait dengan kebutuhan tenaga kerja agraria, seperti yang diyakini secara umum, tetapi lebih mungkin terkait dengan kebutuhan akan standardisasi karena urbanisasi dan meningkatnya tingkat pendapatan.
Struktur kalender sekolah di banyak negara lebih disebabkan oleh pengaruh kolonialisme daripada musim. Kalender sekolah Bangladesh berasal dari masa kolonial Inggris dan tidak selaras dengan siklus pertanian lokal yang mengharuskan siswa mengikuti ujian selama periode panen di puncak musim hujan.
Sekolah-sekolah di Somalia berlangsung dari September hingga Juni dan kemungkinan terpengaruh oleh pemerintahan Inggris dan Italia. Jadwal ini tidak selaras dengan bulan-bulan hangat di negara itu dan dengan negara-negara tetangganya, seperti Kenya dan Uganda.
Sementara itu, sekolah-sekolah di wilayah belahan Bumi selatan, seperti Samoa Amerika dan Polinesia Perancis, mengikuti kalender belahan Bumi utara.
Praktik budaya dan agama
Kalender sekolah juga dipengaruhi oleh praktik budaya dan agama. Negara-negara dengan latar belakang Kristen, misalnya, melembagakan jeda sekitar Natal dan Paskah. Di negara-negara Muslim, kalender sekolah dapat berubah untuk menyesuaikan diri dengan masa Ramadhan, seperti di Indonesia dengan jam belajar harian yang lebih pendek serta libur di awal puasa dan lebih panjang lagi di akhir Ramadhan untuk merayakan Idul Fitri.
Padahal, penyesuaian kalender sekolah dengan konteks lokal dapat memiliki implikasi pemerataan dan pembelajaran yang penting. Dengan menggunakan eksperimen alami dalam pergantian kalender, sebuah penelitian menunjukkan bahwa tumpang tindih antara permintaan tenaga kerja musiman dan ujian sekolah tahunan di Bangladesh menyebabkan tingkat putus sekolah tujuh poin persentasenya lebih tinggi bagi siswa dari rumah tangga pertanian.
Di India, perbedaannya diperkirakan dari lima hingga tujuh poin persentase. Selama puncak musim panen, tidak hanya siswa dari rumah tangga pertanian yang cenderung bolos kelas, tetapi juga kelelahan dan cedera akibat kerja lapangan menghambat persiapan ujian.
”Kurangnya resonansi kalender sekolah dengan budaya lokal telah berkontribusi pada ketidakhadiran guru yang lebih tinggi dan tingkat kehadiran yang lebih rendah di antara anak-anak di India,” papar Kate.
Dukungan faktor lain
Seiring dengan jumlah hari sekolah, panjangnya total waktu pengajaran peserta didik bervariasi di dalam dan antarnegara, dari rata-rata kurang dari 600 jam pelajaran wajib per tahun di pendidikan dasar di Latvia dan Federasi Rusia hingga lebih dari 1.000 jam di Chile, Kosta Rika, dan Denmark. Lebih banyak waktu pengajaran secara luas dikaitkan dengan kinerja siswa yang lebih baik, tetapi efeknya cenderung dimediasi oleh faktor-faktor seperti kualitas pengajaran, lingkungan kelas, otonomi sekolah, dan akuntabilitas.
Baca juga: Narasi ”Well-Being” Memberikan Kebahagiaan Anak dalam Belajar
Menambahkan beberapa menit waktu belajar mungkin tidak membuat perbedaan, menambahkan satu jam dapat membantu, tetapi menambahkan tiga jam mungkin kontraproduktif. Di Argentina, kebijakan memperpanjang hari sekolah dasar justru mengurangi retensi nilai siswa sebesar 23 persen.
Di sebagian negara yang ikut tes PISA, lebih banyak waktu pengajaran dikaitkan dengan kemungkinan lebih besar siswa yang kurang beruntung bisa berhasil secara akademis. Semakin lama hari sekolah juga dikaitkan dengan peningkatan partisipasi ibu di pasar tenaga kerja.
Namun, meningkatkan panjang hari sekolah berdampak pada peningkatan biaya. Selain membutuhkan lebih banyak gedung sekolah, lebih banyak guru, dan kontrak kerja yang lebih lama, terdapat pula implikasi pada infrastruktur yang signifikan. Di Jerman, ketika negara melakukan reformasi nasional untuk meningkatkan durasi hari sekolah selama 15 tahun terakhir, banyak sekolah harus membangun kafetaria agar dapat menyediakan makanan. Mereka yang tidak dapat melakukannya sering kali tidak dapat mengubah jadwal mereka.
Waktu mulai sekolah
Di luar durasi, waktu mulai sekolah juga penting. Semakin banyak literatur menunjukkan manfaat dari penundaan waktu mulai, terutama di tingkat sekunder. Selain memungkinkan lebih banyak waktu tidur, memulai lebih lambat waktu sekolah tampaknya lebih selaras dengan ritme sirkadian remaja.
Sebuah studi yang menggunakan tugas acak siswa untuk kelas awal atau akhir di Amerika Serikat menemukan bahwa menunda waktu mulai 50 menit menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam kinerja siswa untuk semua mata pelajaran. Beberapa penelitian bahkan menemukan penundaan singkat sangat membantu.
Di Hong Kong, China, penundaan 15 menit dari pukul 07.45 hingga 08.00 dikaitkan dengan perhatian yang lebih besar, kesulitan perilaku yang lebih sedikit, dan hubungan teman sebaya yang lebih baik antarsiswa sekolah menengah. Di Inggris Raya, perubahan dari jam 08.50 pagi menjadi 10.00 pagi dikaitkan dengan lebih sedikit absen karena sakit dan peningkatan prestasi akademik.
Akhirnya, istirahat juga telah terbukti meningkatkan tingkat aktivitas fisik, ingatan dan konsentrasi siswa, serta perkembangan sosioemosional dan kinerja akademik mereka. Beberapa negara menganggap istirahat sebagai bagian dari waktu pengajaran wajib. Denmark dan beberapa wilayah Spanyol mengatur waktu istirahat dengan undang-undang.
Namun, karena jam istirahat harian sering dianggap membuang-buang waktu, banyak sekolah tidak menyediakannya. Di Amerika Serikat, dalam lima tahun pertama setelah UU No Child Left Behind tahun 2001, yang berfokus pada tes standar, sebagian besar distrik menambah waktu untuk mata pelajaran yang diuji dan 20 persen distrik mengurangi waktu istirahat rata-rata 50 menit per minggu.
Secara terpisah, dosen Fakultas Psikologi UGM Novi Poespita Candra yang juga Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan menyatakan, masalah durasi sekolah juga perlu mempertimbangkan berbagai aspek pendukung belajar. Semakin lama di sekolah dengan sistem pembelajaran konvensional, salah satunya ceramah, rentan menimbulkan kelelahan kronis jangka panjang. Akibatnya, fokus belajar anak bakal berkurang.
”Anak-anak diharapkan dapat memulai hari sekolah dengan penuh motivasi dan harapan,” kata Novi.
Menurut Novi, sampai sejauh ini belum ada studi yang menjelaskan sekolah lebih pagi dapat meningkatkan prestasi anak. Prestasi siswa meningkat jika motivasi internal belajar siswa tinggi.