Meski memiliki akses ekonomi dan kesehatan lebih baik, prevalensi stunting di kawasan urban dan suburban masih tinggi. Intervensi spesifik sensitif perlu lebih terarah karena pemicu stunting di tiap wilayah berbeda.
JAKARTA, KOMPAS—Meski prevalensinya lebih rendah dibanding perdesaan, jumlah anak stunting di perkotaan masih relatif besar. Padahal, akses warga kota terhadap pengetahuan, sumber ekonomi, dan layanan kesehatan jauh lebih tinggi. Kemiskinan, terbatasnya cakupan imunisasi, kurangnya pengetahuan, hingga lingkungan yang tercemar jadi pemicu stunting di perkotaan.
Luis asyik menunggangi mobil-mobilan di depan rumah petaknya di Kelurahan Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (8/4/2023). Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum lebar saat Kader Surabaya Hebat memberinya bingkisan dan susu cair kaleng. Tidak ada yang aneh dalam aktivitas harian sulung dari dua bersaudara yang dua bulan lagi genap berumur 5 tahun itu.
Nyatanya, Luis teridentifikasi stunting sejak 2021 dan hingga dua tahun ini belum terentaskan. Di usianya saat ini, berat badannya kurang dari 12 kilogram (kg) dan tinggi tubuhnya kurang dari 100 sentimeter (cm). Idealnya, anak laki-laki usia 5 tahun memiliki berat antara 14,1 kg-24,2 kg dan tinggi 100,7 cm-119,2 cm.
Kondisi itu menjadi tantangan di tengah keberhasilan Pemerintah Kota Surabaya menurunkan prevalensi tengkes atau stunting dari 28,9 persen pada 2021 menjadi 4,8 persen pada 2022. Saat ini, prevalensi tengkes di Surabaya merupakan yang terendah di antara kabupaten atau kota di Indonesia.
“Luis doyan minum susu cair, tetapi makannya sangat sedikit. Itupun, makannya sehari sekali mirip orang puasa,” kata bibi Luis yang enggan disebut namanya. Selama kedua orangtuanya bekerja, sang bibilah yang menjaga Luis dan adiknya.
Berbagai upaya dilakukan orangtua dan kader untuk mendorong nafsu makan Luis, tetapi belum berhasil. Farida, staf gizi Puskemas Wonokromo yang turut mendampingi Luis menyebut anak itu mendapat air susu ibu (ASI) hingga usia dua tahun, imunisasi lengkap, dan tidak mengidap penyakit gangguan metabolisme apa pun.
Situasi berbeda dialami Nur, anak berumur 2 tahun 2 bulan yang tinggal di Desa Beurawe, Kota Banda Aceh, Aceh. Di usianya sekarang, beratnya hanya 8,2 kg dan tinggi 74 cm. Idealnya, anak seumuran Nur memiliki bobot 11,5 kg-13,9 kg dan tinggi 80 cm-101,7 cm. Menurut sang ibu, Anita (35), Nur tidak mendapat imunisasi karena sering sakit sejak lahir.
Anita baru tahu mengandung Nur saat usia janin sudah enam bulan, saat ia menjalani program keluarga berencana (KB). Karena terlambat diketahui, sejak dalam kandungan hingga lahir, Nur tidak mendapat gizi mencukupi. Selain itu, kehidupan ekonomi keluarga Nur terbatas.
Penghidupan keluarga dengan empat anak dan penerima bantuan Program Keluarga Harapan itu hanya bergantung pada penghasilan ayah Nur sebagai tukang becak motor sebesar Rp 50.000-Rp 100.000 per hari.
Lain Nur, lain pula yang dialami Bilqis, anak ke-10 dari 11 anak yang dimiliki pasangan Asnawi (49) dan Nurlaelah (39), warga Desa Cibarusahjaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Di usia Bilqis sekarang yaitu 2 tahun 5 bulan, berat badannya 8,1 kg dan tinggi badan 76,2 cm. Berat dan tinggi badan ideal untuk Bilqis sama dengan untuk Nur.
Bilqis tinggal di kawasan suburban, di Desa Cibarusahjaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dekat kawasan industri yang sedang tumbuh di Cikarang. Keluarga ini tinggal di rumah kecil berdinding kayu dengan dua kamar tidur dan satu ruang keluarga yang dihuni pasangan Asnawi—Nurlaelah dan 7 anaknya.
Tiga anak pasangan itu telah meninggal, termasuk adik Bilqis dan satu orang anak tinggal di pesantren. Teras rumahnya dipenuhi jemuran sehingga udara di luar rumah pun terasa pengap.
Persoalan makan juga ditengarai jadi pemicu tengkes yang dialami Bilqis. “Ia susah makan, apalagi ia juga alergi telur sehingga biasanya saya kasih makan mi, bubur instan, tahu-tempe dan kadang-kadang pisang,” kata Nurlaelah.
Saat mengandung Bilqis, Nurlaelah yang telah 11 kali melahirkan itu tidak pernah mengonsumsi protein hewani dan hanya dua kali minum susu ibu hamil karena alergi.
Bilqis juga tidak pernah dibawa ke posyandu untuk penimbangan rutin karena lokasinya jauh. Setelah ada posyandu baru didepan rumah Asnawi sejak Agustus 2022, Bilqis pun dibawa ke posyandu dan berat badannya terus naik. Namun, seluruh anak Asnawi dan Nurlaelah, termasuk Bilqis, tidak ada yang diimunisasi meski kader terus mengajaknya.
“Sebenarnya saya ingin ikut program KB, tetapi sejak awal menikah, bapak saya tidak membolehkan karena dianggap pamali,” katanya.
Multifaktor
Persoalan tengkes di perkotaan perlu jadi perhatian serius. Tengkes atau stunting merupakan gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis. Dalam jangka panjang, tengkes mengakibatkan penurunan kemampuan kognitif dan kekebalan tubuh serta meningkatkan risiko berbagai penyakit seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.
Dari 32 ibu kota provinsi, Kabupaten Mamuju ibukota Sulawesi Barat dan Kota Tarakan, satu-satunya kota Kalimantan Utara, prevalensi stunting di 10 kota naik dari tahun 2021 ke 2022.
Kenaikan prevalensi tengkes tertinggi terjadi di Manokwari, Papua Barat, sebesar 7,3 persen serta diikuti Pekanbaru, Riau 5,4 persen dan Samarinda, Kalimantan Timur 3,7 persen. Kondisi ini memprihatinkan mengingat kenaikan prevalensi stunting tertinggi banyak terjadi di kota-kota yang dikenal kaya dan memiliki Indeks Pembangunan Manusia tinggi.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, persoalan tengkes pada anak-anak di wilayah urban dan suburban dipicu oleh kurangnya kecukupan nutrisi, tidak optimalnya status kesehatan, dan pola asuh yang tidak mendukung.
Banyak anak penderita tengkes di perkotaan mengalami tuberkulosis. Mereka umumnya tinggal di kawasan kumuh dengan kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat rumah sehat sehingga meningkatkan risiko kemunculan berbagai penyakit menular, termasuk tuberkulosis. “Anak dengan tuberkulosis berisiko mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan,” katanya.
Permukiman yang tidak sehat dan turut menyumbang tengkes itu mudah ditemukan hampir di semua kawasan perkotaan dan suburban. Kepala Perwakilan BKKBN Kalimantan Selatan Ramlan mengatakan kebanyakan anak tengkes di Banjarmasin tinggal di daerah kumuh di tepi sungai.
Selain rumahnya tidak layak, mereka juga masih menggunakan jamban terapung dan mengonsumsi air sungai yang tercemar. “Sekitar 70 persen penyebab stunting ditentukan oleh faktor fisik atau infrastruktur, sedangkan faktor gizi dan imunisasi hanya menyumbang 30 persen,” katanya.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto mengatakan variabel penyebab tengkes di setiap daerah berbeda sehingga intervensi yang dilakukan antardaerah pun bisa berbeda-beda.
Maka dari itu, pencegahan tengkes tidak cukup dengan memberi asupan bergizi untuk anak dan ibu semata, tetapi juga harus mengatasi masalah pencemaran lingkungan, terutama di kawasan perkotaan yang lingkungannya sudah tercemar.
Sekitar 70 persen penyebab stunting ditentukan oleh faktor fisik atau infrastruktur, sedangkan faktor gizi dan imunisasi hanya menyumbang 30 persen.
Hasto menambahkan, orangtua diperkotaan cenderung lebih sibuk sehingga banyak anak dirawat oleh pengasuh lain atau neneknya. Situasi ini seringkali membuat pemantauan nutrisi dan pola asuhnya jadi kurang baik. Akibatnya, meski akses ke fasilitas kesehatan dekat dan mampu secara ekonomi, tidak bisa serta merta membuat anak-anak di perkotaan bebas tengkes.
Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi. Kesibukan ibu di perkotaan bekerja membuat pemberian ASI eksklusif menjadi tidak optimal hingga turut menyebabkan tengkes.
“ Penelitian World Bank menunjukkan ibu yang mulai bekerja setelah tiga bulan melahirkan membuat pemberian ASI eksklusif menjadi drop (turun). ASI eksklusif berperan besar mencegah stunting setidaknya mulai dari bayi lahir sampai usia enam bulan,” katanya.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan justru turun dari 48,2 persen pada 2021 menjadi 16,7 persen pada 2022. Banyaknya ibu bekerja juga membuat jangkauan posyandu di perkotaan lebih terbatas. Pemantauan kesehatan ibu hamil serta pengukuran berat dan tinggi anak pun tidak optimal.
“Di perkotaan juga banyak penduduk pendatang sehingga tidak semua populasi tertangkap di sistem kesehatan. Pelayanan rutin yang seharusnya diberikan kepada masyarakat pun menjadi tidak terakses,” katanya.
Hasto berharap pemerintah daerah mampu menerjemahkan lima pilar utama penanganan tengkes berbentuk teknis sesuai kearifan lokal. Lima pilar penanganan stunting yakni komitmen kuat, sosialisasi dan edukasi, konvergensi dan pengarahan lintas sektor menuju bebas tengkes, penyediaan makanan cukup, serta data yang baik, inovasi, dan evaluasi.
“Semangat pemerintah daerah untuk penurunan stunting tinggi namun perhatian pada teknis implementasinya masih kurang,” katanya. Imbauan pemerintah daerah masih bersifat umum, kurang deskriptif dan spesifik. Selain itu, program percepatan penurunan tengkes perlu dipastikan berkelanjutan karena menangani anak tengkes membutuhkan waktu panjang.