Diperlukan komitmen yang kuat agar keinginan menurunkan prevalensi tengkes 3 persen per tahun tidak menjadi sekadar wacana. Untuk ini diperlukan kerangka operasional penurunan prevalensi tengkes secara nyata.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Supriyanto
Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta (11/1/2022) menargetkan angka prevalensi anak tengkes turun 3 persen tiap tahun (Kompas, 12/1/2022). Penetapan target ini barangkali didasarkan atas pencapaian penurunan tengkes pada 2018-2019. Data Litbangkes menyebutkan terjadi penurunan prevalensi tengkes dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019.
Namun, penetapan target penurunan secara linier 3 persen tiap tahun bukan perkara mudah untuk diwujudkan mengingat semakin kecil prevalensi tengkes kian sulit diturunkan. Adapun salah satu faktor penyebabnya ialah anak tengkes dapat diturunkan dari ibu yang juga tengkes (Prendergast and Humphrey, 2014).
Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa upaya memutus lingkaran tengkes identik dengan upaya memutus lingkaran kemiskinan. Lebih jauh, Prendergast and Humphrey (2014) menyebutkan ibu tengkes yang mengalami kehamilan cendrung memiliki janin yang berpotensi tengkes.
Upaya memutus lingkaran tengkes identik dengan upaya memutus lingkaran kemiskinan.
“Potential loss” bangsa
Namun, meski masalah tengkes cukup kompleks, diperlukan keseriusan untuk menurunkan prevalensi tengkes. Hal ini juga sejalan dengan pencanangan Unicef (2009) yang menargetkan penurunan tengkes 40 persen pada tataran global selama 2010-2025.
Bahkan, penurunan tengkes perlu lebih dipercepat guna menghindari potensi yang hilang (potential loss) bangsa secara berkelanjutan, baik sosial maupun ekonomi. Secara sosial, hal itu berupa menurunnya mutu modal manusia, terutama dari aspek pendidikan. Anak tengkes akan kesulitan dalam mengakumulasikan pengetahuan dan kemampuan selama hidupnya.
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN
Indeks Modal Manusia 2020
Maka, dalam konteks itu tampaknya cukup beralasan jika prevalensi tengkes menjadi salah satu indikator penting dari indeks modal manusia (human capital index/HCI). HCI didesain untuk mengukur jumlah (the amount) modal manusia saat lahir dan diharapkan dapat diperoleh pada usia 18 tahun ke atas.
Namun, sayangnya, perolehan jumlah modal manusia di Tanah Air belum cukup memadai, antara lain akibat kualitas pendidikan yang cukup rendah. Publikasi Bank Dunia tentang Human Capital Project (2018) menyebutkan bahwa anak Indonesia sebenarnya dapat menyelesaikan 12,3 tahun pendidikan dasar dan menengah pada usia 18 tahun. Namun, karena sebagian diantaranya kurang memiliki kecukupan modal manusia, terutama akibat tengkes, pendidikan yang diselesaikan hanya 7,9 tahun.
Dengan cukup rendahnya mutu modal manusia di Tanah Air, tampaknya sulit mengharapkan anak-anak Indonesia ketika dewasa mampu bekerja dan berkarya dengan produktivitas optimal. Hal ini tentu berdampak buruk secara ekonomi. Bank Dunia memperkirakan bahwa untuk setiap satu persen penurunan tinggi badan anak tengkes, mengakibatkan kehilangan 1,4 persen produktivitas secara ekonomi. Realitasnya, pendapatan anak tengkes lebih rendah 20 persen dari anak tidak tengkes ketika dewasa (Buckley, 2016).
Maka, atas dasar itu, angka prevalensi tengkes perlu secepatnya diturunkan, dengan harapan semakin kecil prevalensinya akan kian besar potential loss yang dapat dicegah.
DIDIE SRI WIDIANTO
Didie SW
Soal komitmen
Namun, keinginan Presiden Jokowi untuk menurunkan prevalensi tengkes 3 persen per tahun bukan perkara mudah untuk diwujudkan. Diperlukan komitmen yang kuat agar keinginan menurunkan prevalensi tengkes tidak menjadi sekadar wacana. Hal ini dipertegas Presiden Jokowi yang menginginkan program dan intervensi penurunan prevalensi tengkes tidak sekadar seremoni membagikan makanan tambahan (Kompas, 11/1/2022).
Maka dari itu, diperlukan kerangka operasional penurunan prevalensi tengkes secara nyata. Pertama, penyiapan data sasaran penerima manfaat program. Secara faktual, data sasaran tengkes amat diperlukan, antara lain untuk menentukan cakupan program, besaran anggaran dan jumlah pelaksana tugas lapangan.
Namun, disadari bahwa pengumpulan data sasaran itu tidak cukup mudah dilakukan, apalagi untuk keperluan intervensi yang memerlukan data sasaran hingga wilayah terkecil serta menurut nama dan alamat (by name and by address). Dalam konteks itu, pemerintah barangkali bisa memanfaatkan pendataan keluarga yang dilakukan Kader Dasawisma PKK dengan menambah pertanyaan tentang anggota keluarga yang mengalami dan berpotensi tengkes.
Pemerintah barangkali bisa memanfaatkan pendataan keluarga yang dilakukan Kader Dasawisma PKK dengan menambah pertanyaan tentang anggota keluarga yang mengalami dan berpotensi tengkes.
Kedua, kecukupan penyediaan anggaran program penurunan tengkes secara konsisten dan berkesinambungan. Secara faktual, program penurunan tengkes tidak bisa dilakukan secara single year, namun bersifat multi years dan berkelanjutan.
Dalam konteks itu, anggaran program penurunan prevalensi tengkes barangkali dapat dijadikan satu pos anggaran dari anggaran perlindungan sosial. Patut dicermati bahwa anggaran perlindungan sosial di Tanah Air masih tergolong rendah, bahkan lebih rendah dari negara-negara berpendapatan menengah bawah. Adapun anggaran perlindungan sosial di Indonesia rata-rata 0,84 persen di luar subsidi terhadap produk domestik bruto (PDB), sementara rata-rata anggaran perlindungan sosial negara-negara berpendapatan menengah bawah mencapai 1,5 persen dari PDB (Bank Dunia, 2019).
SUPRIYANTO
Ketiga, pemerintah perlu secara intensif melakukan monitoring dan pengawasan. Monitoring perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas program dan memperbaiki kesalahan yang melenceng dari sasaran program. Selain itu, monitoring juga perlu dilakukan terhadap keaktifan institusi dan pelaksana program. Hal ini mengingat program penurunan prevalensi tengkes memerlukan sinergi dari seluruh institusi terkait.
Berbagai upaya kiranya perlu dilakukan agar prevalensi tengkes dapat segera diturunkan. Dalam konteks ini, komitmen yang kuat dan serius dari para pihak yang berwenang merupakan modal penting untuk mewujudkan penurunan prevalensi tengkes.
Bahkan, untuk meningkatkan efektivitas program, barangkali perlu melakukan outward looking pada negara yang berhasil menurunkan prevalensi tengkes, salah satunya Brazil. Negara Samba itu tercatat berhasil menurunkan prevalensi tengkes cukup meyakinkan dari 37 persen pada 1974 menjadi 7 persen pada 2006 (Victora CG, 2011).
Razali Ritonga, Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan; Alumnus Georgetown University, AS dan Lemhannas RI Angkatan Ke-46