”Stunting” Bukan Hanya Soal Gizi, melainkan Juga Pencemaran Lingkungan
Penanganan ”stunting” atau tengkes bukan hanya dengan mencukupi asupan nutrisi yang seimbang bagi ibu dan anak, melainkan juga memastikan lingkungan hidup yang aman dari pencemaran.
Stunting atau tengkes tidak hanya disebabkan faktor malanutrisi kronis, tetapi juga sangat terkait dengan masalah lingkungan. Tempat tinggal, air, dan udara yang tercemar bisa menjadi faktor risiko stunting, yang menunjukkan pentingnya pendekatan komprehensif untuk mengatasi masalah ini, terutama di masyarakat urban.
Tengkes termasuk gangguan pertumbuhan anak, yang prosesnya dapat dimulai sejak janin di dalam rahim hingga setelah kelahiran. Periode penting setelah kelahiran terutama hingga usia dua tahun, biasanya disebut sebagai 1.000 hari pertama kehidupan.
Kecukupan gizi ibu dan bayi menjadi faktor penting dalam stunting. Sejumlah studi menunjukkan, tengkes bisa disebabkan nutrisi ibu tidak mencukupi, kekurangan gizi saat masih di kandungan, kurangnya menyusui sampai usia enam bulan. Penyebab lainnya adalah pengenalan makanan pendamping air susu ibu (ASI) terlambat, makanan pendamping ASI yang tidak memadai secara kuantitas dan kualitas, serta gangguan penyerapan nutrisi karena penyakit menular.
Namun, laporan Zulfikar A Bhutta dari Hospital for Sick Children University of Toronto dan tim di jurnal The Lancet pada 2013 menunjukkan, intervensi gizi hanya akan mengurangi prevalensi stunting sebesar 20 persen jika diterapkan dengan cakupan global 90 persen. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan tambahan untuk melengkapi intervensi gizi.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto mengatakan, faktor risiko yang memengaruhi pertumbuhan anak sangat beragam. ”Selain asupan gizi, ada banyak faktor lain yang harus diperhitungkan, di antaranya, lingkungan,” kata Budi yang mengajar epidemiologi pencemaran udara dan surveilans kesehatan lingkungan.
Pencemaran lingkungan bisa berinteraksi dengan nutrisi dan menjadi pemicu tidak langsung stunting. Sebagai contoh, kekurangan asupan zat besi bisa menyebabkan peningkatan penyerapan timbal, sebagaimana infeksi parasit yang mengganggu pertumbuhan sehingga memicu stunting. Di sisi lain, cemaran logam berat seperti timbal juga bisa berdampak langsung karena hal itu bisa merusak sistem pembentukan sel darah merah yang mengganggu sistem saraf dan kecerdasan.
Dwan Vilcins, peneliti dari Child Health Research Centre, The University of Queensland, Australia, dalam laporannya di Annals Global Health pada 2018 merinci beberapa faktor lingkungan yang terbukti berkontribusi langsung terhadap stunting. Antara lain, buruknya sanitasi dan pembuangan limbah, lantai kotor, mikotoksin dalam makanan, dan pembakaran bahan bakar padat di dalam ruangan. Kajian ini dilakukan menggunakan meta-analisis terhadap 71 laporan terbaru.
Baca juga: Meretas Sukses Berantas Tengkes
Menurut Vilcins, buruknya sanitasi dan pembuangan limbah dan lantai yang kotor cenderung menyebabkan agen infeksius di dalam lingkungan atau peningkatan risiko paparan agen tersebut. Infeksi yang sering terjadi atau kronis dapat menyebabkan malafungsi nutrisi, menghalangi tubuh menyerap mikronutrien tertentu, dan mengurangi asupan makanan.
Selain asupan gizi, ada banyak faktor lain yang harus diperhitungkan, di antaranya, lingkungan.
Menurut Budi, kualitas air yang buruk perlu mendapat perhatian karena berkontribusi pada tengkes bagi masyarakat urban di Indonesia. ”Sumber air minum kita banyak terkontaminasi logam berat, terutama merkuri dan timbal. Kita tahu banyak industri yang membuang limbahnya ke sungai, padahal sumber air PDAM itu dari sungai. Selain itu, hal ini juga bisa mengontaminasi air tanah,” tuturnya.
Menurut Ketua Asosiasi Profesi Keamanan Pangan Indonesia (APKEPI) Roy Sparringa, bahkan, buruknya mutu air jadi kontributor ketidakamanan pangan di Indonesia. ”Saya pernah meneliti tempe yang tercemar logam berat, ternyata itu dari air yang dipakai untuk mengolahnya. Cemaran biologi bisa diatasi dengan merebusnya, tapi logam berat akan tetap. Saya menduga, buruknya mutu air ini jadi salah satu faktor risiko tingginya stunting di Indonesia,” ungkapnya.
Mata rantai
Selain air, belakangan mulai banyak bukti yang menunjukkan keterkaitan antara polusi udara dan stunting, terutama di kawasan perkotaan. Sheela S Sinharoy dari Rollins School of Public Health, Emory University dan tim menulis di jurnal The Lancet (2020) bahwa polusi udara merupakan mata rantai yang hilang sebagai faktor penting penyebab tengkes.
Apalagi, laporan Organisasai Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 menunjukkan, 98 persen anak di bawah 5 tahun terpapar polusi udara di atas konsentrasi maksimal yang direkomendasikan. Fenomena ini terutama terjadi di negara miskin dan berkembang seperti Indonesia.
Data dari IQAir, tingkat cemaran PM 2,5 di Indonesia pada 2022 menjadi yang terburuk ke-26 dari 136 negara yang disurvei dan paling buruk di Asia Tenggara. Sementara Jakarta menjadi yang terburuk ke-20 dari semua kota di dunia.
Polusi udara mencakup polusi udara ambien (luar ruangan) dan rumah tangga (dalam ruangan). Sumber polusi udara ambien ini bisa berasal dari industri, kebakaran hutan, dan asap kendaraan. Pencemaran udara rumah tangga terkait terutama dengan memasak menggunakan bahan bakar biomassa padat seperti kayu dan arang, hingga asap rokok.
Baca juga Bonus Demografi Minus Gizi
”Untuk di kawasan perkotaan, sumber polusi luar ruangan terutama dari asap kendaraan. Sementara kalau di dalam rumah paling dekat asap rokok yang mengandung banyak senyawa kimia berbahaya. Banyak riset menunjukkan kontribusi asap rokok ini terhadap bayi di bawah dua tahun,” kata Budi.
Tinjauan sistematis dan meta-analisis Xiangyu Li dari School of Health Science Wuhan University dan tim di jurnal Environmental Pollution (2017) menunjukkan, peningkatan paparan prenatal terhadap polusi udara sekitar, diukur sebagai partikel halus (PM 2,5), terbukti meningkatkan risiko kelahiran prematur dan berat lahir rendah. Berat lahir rendah saat lahir adalah proksi untuk pembatasan pertumbuhan intrauterin yang juga secara independen terkait dengan stunting.
Metaanalisis terhadap 45 studi di 29 negara yang dilaporkan Vivian C. Pun dan tim di jurnal Environmental Science and Pollution Research International pada 2021 juga menunjukkan kaitan tengkes, berat badan lahir rendah, dan kelahiran prematur dengan paparan PM 2,5 sebesar 10 μg/m3 selama seluruh kehamilan. Peningkatan risiko stunting setelah kelahiran sebesar 19 persen juga dikaitkan dengan pajanan polusi udara rumah tangga pascakelahiran.
”Analisis kami menunjukkan bukti yang konsisten, signifikan, dan patut diperhatikan tentang peningkatan risiko hasil kesehatan terkait stunting dengan paparan PM 2,5 ambien dan paparan polusi udara rumah tangga. Bukti ini memperkuat pentingnya mempromosikan udara bersih sebagai bagian dari pendekatan terpadu untuk mencegah stunting,” sebut Vivian.
Laporan penelitian Ginanjar Syuhada dari Environmental, Climate, and Urban Health Division, Vital Strategies, Singapura dan tim di jurnal Environmental Research and Public Health edisi Februari 2023 telah menghitung kaitan polusi udara dan beban kesehatan penduduk di Jakarta, termasuk dengan tengkes pada anak.
Dalam kajian ini, para peneliti menghitung beban kesehatan dan ekonomi PM2,5 mikron dan Ozon permukaan tanah (O³), yang melebihi standar kualitas udara ambien lokal dan global. Mereka menggunakan metode penilaian risiko komparatif untuk memperkirakan beban kesehatan yang disebabkan oleh PM2.5 dan O³. Beban ekonomi dihitung dengan menggunakan biaya penyakit dan nilai dari pendekatan statistik tahun hidup.
Hasilnya menunjukkan, lebih dari 10.000 kematian dan lebih dari 5.000 rawat inap yang dapat dikaitkan dengan polusi udara setiap tahun di Jakarta. Selain itu, polusi udara juga menyebabkan lebih dari 7.000 hasil kesehatan yang merugikan pada anak-anak, meliputi 6.100 kasus tengkes, 330 kematian bayi, dan 700 bayi dengan kelahiran yang merugikan setiap tahun.
Baca juga: Beban Kesehatan Polusi Udara
Budi mengatakan, berbagai bahan pencemar kimia, terutama logam berat, bisa terakumulasi dalam tubuh. Jika sang ibu telah banyak terpapar sejak masih remaja, beberapa logam berat seperti timbal dan merkuri, ini bisa dipindahkan ke janin lewat plasenta. ”Ibu yang terpapar berbagai polutan, khususnya logam berat, memiliki risiko lebih besar melahirkan anak dengan gangguan pertumbuhan, termasuk stunting,” ucapnya.
Maka, upaya mengatasi stunting merupakan jalan panjang. Bukan hanya memastikan ketersediaan asupan nutrisi yang seimbang bagi ibu dan anak, melainkan juga memastikan lingkungan hidup yang aman dari pencemaran.