Untuk mengatasi persoalan ”stunting” di perkotaan, upaya meningkatkan gizi ibu dan anak harus dilakukan sejalan dengan memperbaiki lingkungan hidup keluarga.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stunting memiliki faktor risiko yang sangat beragam dan bisa berbeda di kawasan perkotaan dan perdesaan. Untuk mengatasi persoalan stunting di perkotaan, upaya meningkatkan gizi ibu dan anak harus dilakukan sejalan dengan memperbaiki lingkungan hidup keluarga.
”Variabel penyebab stunting di Indonesia itu bisa berbeda di tiap daerah, kota dan desa juga bisa berbeda. Selain soal gizi, daftar penyebabnya bisa banyak sekali. Selama penyebabnya itu ada, maka risiko stunting akan selalu ada. Di dunia nyata semuanya dinamis dan ini harus dipetakan kalau kita ingin mengatasi persoalan ini,” kata Budi Haryanto, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jumat (7/4/2023).
Stunting atau tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis. Dalam jangka panjang, orang dengan stunting akan mengalami penurunan kemampuan kognitif dan kekebalan tubuh serta berisiko tinggi mengalami berbagai penyakit kronis antara lain diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Variabel penyebab stunting di Indonesia itu bisa berbeda di tiap daerah, kota dan desa juga bisa berbeda. Selain soal gizi, daftar penyebabnya bisa banyak sekali.
Menurut Budi, meski secara umum stunting atau tengkes disebabkan adanya malnutrisi kronis pada ibu dan bayi, penyebab kurangnya asupan ini juga beragam. Selain faktor sosial ekonomi, hal ini bisa disebabkan oleh gangguan penyerapan tubuh. Gangguan ini bisa berasal dari infeksi bakteri patogen maupun karena cemaran bahan kimia yang masuk melalui makanan dan minuman ataupun melalui pernapasan.
Dengan mengenali beragam faktor risiko ini, maka intervensi yang dilakukan bisa berbeda-beda. ”Tidak cukup dengan memberi asupan makanan yang bergizi untuk ibu dan anak, tetapi juga mengatasi masalah pencemaran lingkungan, terutama untuk kawasan perkotaan yang lingkungannya sudah tercemar,” tuturnya.
"Stunting" di kota
Sekalipun sejumlah studi di negara berkembang menunjukkan status gizi anak di perkotaan lebih baik daripada anak-anak yang tinggal di perdesaan, banyak kasus stunting di Indonesia terjadi di kawasan perkotaan. Misalnya, laporan studi Tri Siswati dari Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kementerian Kesehatan Yogyakarta dan tim di Indonesian Journal of Nutrition and Dietetics tahun 2020 menunjukkan, stunting pada anak di perkotaan.
Sebanyak 13.248 anak berusia 0-59 bulan dianalisis dalam studi ini. Prevalensi stunting 0-59 anak di perkotaan Indonesia minimal 32,16 persen. Stunting di perkotaan paling rendah di Maluku sebanyak 20,34 persen dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur sebesar 42,75 persen.
Studi ini menemukan, faktor secara signifikan berhubungan dengan stunting adalah ukuran lahir (berat lahir kecil dan pendek), orangtua bertubuh pendek, dan faktor sosial, seperti tingkat pendidikan orangtua yang rendah dan ekonomi yang rendah.
Berdasarkan penelitian ini, intervensi pada perawatan prenatal dan perawatan kesehatan ibu harus berfokus pada penurunan tingkat ukuran lahir kecil, dan melaksanakan program 1000 hari pertama kehidupan seperti pendidikan gizi orangtua dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik terkait terhadap kesehatan dan gizi anak.
Namun, Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 di Indonesia, lembaga independen yang berfokus pada riset dan advokasi terkait bahan kimia dan limbah, mengatakan, stunting bukan hanya masalah kecukupan pangan bergizi. Banyak studi yang telah menunjukkan bahwa beragam faktor risiko lingkungan yang terkait dengan stunting. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan bagaimana lingkungan berinteraksi dengan gizi.
”Kegiatan promosi kesehatan mungkin lebih efektif jika mereka mempertimbangkan faktor lingkungan bersama dengan intervensi gizi,” katanya.
Yuyun mengatakan, sejumlah studi telah menunjukkan kaitan stunting dengan faktor lingkungan yang tercemar. ”Anak-anak itu bukan orang dewasa mini. Paru-parunya belum sempurna, sistem sirkulasi darahnya belum sempurna dan filter di badan mereka belum matang. Karena itu, polusi apa pun, dari udara, air, tanah, atau dalam makanan, akan dengan mudah dihirup, dicerna, dan diserap sama sistim metabolisme mereka,” katanya.
Hal ini sejalan dengan studi Goodarz Danaei dari Department of Global Health and Population, Harvard TH Chan School of Public Health, dan tim di jurnal PLOS Medicine tahun 2016. Studi menyimpulan, faktor risiko utama stunting di negara berkembang adalah fetal growth restriction (FGR) atau pertumbuhan janin relatif lebih kecil selama usia kehamilan dan sanitasi yang buruk. Kajian ini dilakukan di 137 negara berkembang, termasuk Indonesia.
Danaei merekomendasikan, pengurangan beban tengkes di negara berkembang memerlukan perubahan paradigma dari intervensi yang hanya berfokus pada anak dan bayi menjadi intervensi yang menjangkau ibu dan keluarga. Dalam hal ini, selain memperbaiki gizi juga meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Budi mengatakan, untuk memperbaiki kualitas lingkungan dalam rangka mengatasi stunting, maka sumber pencemaran harus diatasi. ”Sumber pencemar kimia dan logam berat yang bisa menyebabkan stunting harus dibatasi dan dikelola supaya tidak lagi mencemari, baik yang mencemari makanan dan minuman maupun yang bersumber di udara,” katanya.
Selain itu, manusianya, dalam hal ini ibu hamil dan bayi harus diproteksi, jangan sampai kontak dengan beragam pencemar. ”Harus dipastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi aman dari cemaran. Kalau ada anggota keluarga yang merokok, harus keluar rumah. Sementara kalau keluar rumah, sebaiknya memakai masker karena kualitas udara perkotaan kita memang buruk,” tuturnya.