Memahami Faktor Pemicu Kenaikan Angka ”Stunting” di Banda Aceh
Temuan petugas kesehatan menunjukkan, anak menderita ”stunting” tidak mendapatkan asupan gizi yang seimbang. Pola makan dan jenis pangan yang diberikan untuk anak tidak memenuhi kebutuhan gizi anak.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Angka stunting atau anak dengan tengkes di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, naik dari 23,4 persen pada 2021 menjadi 25,1 persen pada 2022 atau bertambah 1.7 persen. Kenaikan angka stunting dipicu banyak faktor, seperti cakupan imunisasi rendah, asupan gizi tidak berimbang, dan akses air bersih yang sulit.
Kepala Dinas Kesehatan Banda Aceh Lukman, ditemui Selasa (3/3/2023), mengatakan, kenaikan angka stunting tidak begitu mengejutkan karena pascapandemi Covid-19 kunjungan ke posyandu rendah. Saat pandemi pelayanan posyandu sempat tutup. ”Kami harus berusaha keras mendorong warga untuk bawa anak ke posyandu, tetapi hasilnya belum maksimal,” tuturnya.
Padahal, melalui posyandu, kader kesehatan desa dan petugas puskesmas dapat memantau pertumbuhan anak secara berkala, pemberian makanan tambahan, melakukan imunisasi, dan sosialisasi hidup sehat kepada keluarga.
”Penyebab kenaikan stunting selain asupan gizi tidak seimbang juga karena cakupan imunisasi dasar lengkap rendah, hanya 45 persen,” kata Lukman.
Sensus Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat, angka stunting di Banda Aceh pada 2022 sebesar 25,1 persen dari dari 23,4 persen pada 2021 atau melampaui ambang batas dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 20 persen. Tengkes ialah gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis. Dalam jangka panjang, penderita akan mengalami penurunan kemampuan kognitif dan kekebalan tubuh serta berisiko tinggi mengalami berbagai penyakit kronis.
Penyebab kenaikan stunting selain asupan gizi tidak seimbang juga karena cakupan imunisasi dasar lengkap rendah, hanya 45 persen.
Lukman mengatakan, pascapandemi ada penurunan kepercayaan warga terhadap imunisasi. Kondisi ini merupakan dampak dari pengaruh informasi bohong atau hoaks tentang vaksinasi Covid-19. Padahal, pada tahun 2018, sebelum pandemi cakupan imunisasi mencapai 71 persen.
Temuan petugas kesehatan menunjukkan, anak yang menderita stunting tidak mendapatkan asupan gizi yang seimbang. Pola makan dan jenis pangan yang diberikan untuk anak tidak memenuhi kebutuhan gizi anak. ”Sebagian karena kesulitan ekonomi sehingga tidak mampu menyediakan pangan sehat, tetapi ada juga karena tidak paham,” kata Lukman.
Anak tanpa imunisasi dasar lengkap rawan mengalami stunting terkonfirmasi pada salah seorang anak di Desa Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Nur berusia 2 tahun 2 bulan mengalami stunting. Berat badannya 8,2 kilogram dari seharusnya 11,5-13,9 kg dan tinggi badan 74 sentimeter dari seharusnya 80-01,7 cm.
Anita (35), orangtua Nur, mengutarakan, anaknya tidak mendapatkan imunisasi sama sekali karena sejak lahir sering sakit. Saat mengandung Nur, Anita baru mengetahui hamil ketika usia kandungan enam bulan. ”Saya hamil untuk anak bungsu ini (Nur) saat sedang menjalani KB, tidak ada perencanaan,” ujarnya.
Pemeriksaan dan perawatan medis baru dilakukan di atas usia kehamilan enam bulan. Sejak dalam kandungan, Nur tidak memperoleh asupan gizi seimbang. Selain tanpa imunisasi, Nur tidak mendapatkan asupan gizi seimbang. Anita jarang menyajikan nasi (karbohidrat), sayur (nabati), ikan/telur (protein), dan buah dalam piring secara bersamaan dalam piring makanan anaknya. ”Kalau ada uang baru beli buah-buahan,” kata Anita.
Anita termasuk keluarga ekonomi rendah, penerima bantuan tunai Keluarga Harapan. Dia berjualan nasi pagi, sedangkan suaminya tukang ojek becak motor. Pendapatan bersih sehari Rp 50.000 hingga Rp 100.000 hanya cukup untuk menghidupi dan biaya pendidikan empat anaknya.
Penanganan intensif
Lukman mengatakan, pemerintah berusaha keras untuk mencegah dan menangani anak dengan stunting. Banyak program yang dilakukan, seperti memaksimalkan kunjungan ke posyandu, pembentukan rumah gizi gampong (RGG) atau desa, dan edukasi masif kepada publik.
Rumah gizi gampong merupakan salah satu program khusus menangani persoalan stunting di tingkat desa. Salah satu kegiatan paling penting adalah pemberian makanan gizi seimbang secara berkala kepada anak penderita stunting. Program ini telah berjalan sejak 2021. Operasional RGG dibiayai oleh dana desa. ”Peran rumah gizi gampong sangat besar dalam pencegahan dan penanganan anak kurang gizi dan stunting,” ujarnya.
Penanggung jawab program nutrisi Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Perwakilan Aceh, Natassya Phebe, mengatakan, pascapandemi Covid-19, tugas pemerintah dan para stakeholder kian berat karena banyak daerah angka stunting-nya naik.
Natassya mengatakan, cakupan imunisasi, akses pelayanan posyandu, dan pemberian makanan bergizi harus digenjot. Selain itu, edukasi untuk keluarga cara menyediakan pangan sehat dan murah juga perlu. Unicef memiliki sejumlah program untuk menurunkan tengkes, seperti mendampingi pemerintah daerah, advokasi kebijakan, kampanye, dan peningkatan sumber daya manusia.
Pada tahun 2023, Unicef mengalokasikan anggaran Rp 14 miliar untuk melaksanakan sejumlah program di Aceh. Natassya mengatakan, target penurunan angka tengkes pada tahun 2024 menjadi 14 persen sangat berat. Namun, jika semua pemangku kepentingan sama-sama bekerja, target itu diyakini dapat dicapai.