Polusi udara PM 2.5 tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan terkait pernapasan. Penelitian terbaru, paparan PM2,5 juga bisa meningkatkan risiko demensia.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menghirup partikel mikroskopis berukuran kurang dari 2.5 mikron atau PM 2.5 dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang serius. Penelitian terbaru oleh ahli kesehatan masyarakat dari Harvard menemukan, polusi PM 2.5 juga dapat meningkatkan risiko demensia.
Polusi udara biasanya dikaitkan dengan penyakit pernapasan, sedangkan kaitan polusi udara dan otak, termasuk demensia, merupakan hal yang relatif baru. Studi ini diterbitkan di jurnal The British Medical Journal pada Rabu (5/4/2023).
Meta-analisis ini memeriksa 16 studi observasional dan menemukan bukti yang konsisten tentang hubungan antara PM 2.5 dan demensia. Studi tersebut mengukur paparan keseluruhan subyek demensia terhadap polutan dari satu tahun hingga 20 tahun.
Penulis pertama studi ini, Elissa H Wilker, dari Department of Environmental Heath, Harvard TH Chan School of Public Health, mengatakan, demensia adalah masalah besar di seluruh dunia. ”Jika kita bisa mengurangi paparan partikel ini, kita bisa mengurangi beban demensia,” ujarnya.
99 persen populasi global terpapar tingkat PM 2.5 yang dianggap tidak sehat karena menghirup konsentrasi tahunan lebih tinggi dari lima mikrogram per meter kubik.
Lebih dari 57 juta orang di seluruh dunia hidup dengan demensia, jumlah yang diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 153 juta pada tahun 2050. Sebelumnya, laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bulan lalu menunjukkan, 99 persen populasi global terpapar tingkat PM 2.5 yang dianggap tidak sehat karena menghirup konsentrasi tahunan lebih tinggi dari lima mikrogram per meter kubik.
Dalam penelitian ini, para ilmuwan Harvard memeriksa studi yang menggunakan metode yang dikenal sebagai ”pemastikan kasus aktif”, sebuah proses di mana setiap peserta disaring dengan pemeriksaan ekstensif untuk memastikan diagnosis demensia. Marc G Weisskopf, profesor epidemiologi di Harvard TH Chan School of Public Health, yang jadi penulis senior laporan ini mengatakan, pendekatan ini lebih akurat daripada penyaringan acak.
Mereka juga menggunakan perangkat lunak yang lebih tepat untuk menghilangkan bias yang dapat memengaruhi hasil, misalnya ketidaksetaraan dalam akses layanan kesehatan dan tingkat paparan polutan.
Para peneliti menemukan peningkatan risiko demensia sebesar 17 persen untuk setiap penambahan dua mikrogram per meter kubik udara dari paparan PM 2.5 tahunan, serta peningkatan risiko yang lebih kecil dari menghirup nitrogen oksida dan nitrogen dioksida, polutan yang paling sering dihasilkan dari knalpot lalu lintas.
Karena studi ini bersifat observasional, peneliti tidak menjelaskan bagaimana polusi udara dapat memengaruhi perkembangan demensia. Namun, mereka mengajukan hipotesa bahwa partikel polutan yang sangat kecil itu bisa memasuki tubuh kita dan menembus sistem peredaran darah yang membantu bahan bakar otak.
Dugaan lainnya, polusi udara ini menyebabkan peradangan kronis dalam tubuh, atau penumpukan kadar beta amiloid dalam darah. Otak pasien penyakit Alzheimer sering memiliki kadar beta amiloid abnormal yang menggumpal membentuk plak yang mengganggu fungsi sel dan neuron.
Risiko di Indonesia
Berbagai setudi sebelumnya menunjukkan, kontaminan PM 2.5 sering berasal dari lokasi konstruksi, jalan tidak beraspal, cerobong asap dan kebakaran, atau merupakan reaksi kimia kompleks dari polutan yang dipancarkan dari pembangkit listrik batubara, fasilitas industri, mobil dan truk.
Di Indonesia, risiko paparan PM 2.5 juga sangat tinggi, terutama di kota-kota besar seiring dengan memburuknya kualitas udara. Laporan IQAir, perusahaan teknologi berbasis di Swiss, pada Selasa (14/3) lalu menunjukkan, pencemaran PM 2.5 di Indonesia pada tahun 2022 dilaporkan menjadi yang terburuk ke-26 secara global dan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Menurut laporan ini, tingkat konsentrasi PM 2.5 harian Indonesia pada 2022 mencapai 30.4 µgram/m3. Sementra pencemaran PM 2.5 harian di Jakarta mencapai 36,2 µgram/m3 dan menempati peringkat ke-20 di dunia. Selain Jakarta, kota besar dengan tingkat polusi tinggi di Indonesia adalah Surabaya (34.4 µgram/m3), Bandung (26.1 µgram/m3), dan Semarang (24.3 µgram/m3).