Jangan Rampas Hak Anak Memperoleh Fondasi Pendidikan
Persyaratan tes calistung untuk masuk SD membuat pembelajaran di jenjang PAUD tidak optimal. Pengembangan kemampuan fondasi pendidikan jauh lebih penting sebagai bekal anak menjalani transisi dari PAUD ke SD.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melarang tes baca, tulis, hitung dalam penerimaan peserta didik baru tingkat sekolah dasar mulai tahun ajaran 2023/2024. Satuan pendidikan diimbau untuk tidak merampas hak anak dalam memperoleh kemampuan fondasi pendidikan yang menjadi bekal penting dalam transisi pendidikan anak usia dini ke sekolah dasar.
Direktur Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Muhammad Hasbi mengatakan, larangan tes baca, tulis, hitung (calistung) itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan Mendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Namun, pihaknya belum berencana memberikan sanksi bagi satuan pendidikan yang tetap menggelar tes calistung.
Kemendikbudristek memilih pendekatan persuasif pada satuan pendidikan untuk mengikuti aturan tersebut. ”Jangan rampas hak anak untuk memperoleh kemampuan fondasi (pendidikan), mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai jenjang pendidikan dasar kelas awal,” ujarnya dalam Silaturahmi Merdeka Belajar: Transisi PAUD ke SD (sekolah dasar) yang Menyenangkan di Jakarta, Kamis (6/4/2023).
Persyaratan penguasaan calistunguntuk masuk SD membuat pembelajaran di jenjang PAUD tidak optimal. Sebab, PAUD akan fokus pada pembelajaran calistung. Padahal, anak usia dini memerlukan beragam kompetensi untuk mendukung tumbuh kembangnya.
”Tes calistung ini berpotensi menimbulkan stres berlebihan bagi anak. Tes calistung sebenarnya telah dilarang untuk diterapkan,” katanya.
Hasbi menuturkan, gerakan transisi PAUD ke SD menargetkan tiga perubahan. Selain menghilangkan tes calistung dalam penerimaan peserta didik baru, juga menerapkan masa pengenalan lingkungan sekolah dan menggelar pembelajaran yang menyenangkan untuk membangun kemampuan fondasi anak.
Kemendikbudristek menekankan enam kemampuan fondasi pendidikan yang harus disiapkan anak pada masa transisi PAUD ke SD. Kemampuan dasar itu meliputi mengenal nilai agama dan budi pekerti, keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi, dan kematangan emosi. Kemampuan lainnya adalah kematangan kognitif, pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri, serta pemaknaan belajar.
Gerakan transisi PAUD ke SD menargetkan tiga perubahan. Selain menghilangkan tes calistung dalam penerimaan peserta didik baru, juga menerapkan masa pengenalan lingkungan sekolah dan menggelar pembelajaran yang menyenangkan untuk membangun kemampuan fondasi anak.
Menurut Hasbi, sekolah dapat mengambil berbagai peran dalam mendukung gerakan transisi itu. Salah satunya dengan membagikan booklet kepada guru, orangtua, dan tenaga kependidikan untuk memberikan pemahaman mengenai target perubahan di satuan pendidikan.
Sekolah juga diharapkan aktif melaporkan perubahan yang terjadi melalui aksi nyata di Platform Merdeka Mengajar. ”Pelaporan ini berfungsi sebagai media untuk melihat berapa banyak satuan pendidikan yang telah melakukan perubahan dalam proses transisi dari PAUD ke SD,” ujarnya.
Penghapusan tes calistung sebagai syarat masuk SD itu mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Kepala SD Prof DR Moestopo, Bandung, Jawa Barat, Masniari P Pakpahan, mengatakan, pihaknya sudah lama meniadakan tes calistung tersebut.
”Di tempat kami, calistung tidak diajarkan di TK (taman kanak-kanak) dan tidak jadi syarat masuk SD,” katanya.
Menurut Masniari, terdapat tiga aspek pengembangan pendidikan anak, yaitu pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Di sekolah tersebut, pengembangan sikap diberi porsi lebih besar dibandingkan dengan dua aspek lainnya.
”Jadi, kami ikut senang dengan tidak adanya tes calistung dalam penerimaan peserta didik baru,” ucapnya.
Keberpihakan
Ketua Yayasan Pendidikan Sekolah Kembang Lestia Prima mengatakan, kebijakan transisi PAUD ke SD merupakan bentuk keberpihakan kepada anak. Sebab, ketika memasuki tahapan baru, anak butuh waktu untuk beradaptasi.
”Begitu juga dukungan dari guru dan orangtua. Kebijakan ini membantu kita untuk membantu anak-anak melewati masa adaptasi itu,” ujarnya.
Lestia menjelaskan, pihaknya menerapkan berbagai strategi dalam proses transisi itu. Saat masih di PAUD, anak-anak sudah diajak berkenalan dengan lingkungan SD. Mereka juga dilibatkan dalam kegiatan bersama dengan siswa SD.
Pada masa dua hingga enam minggu pertama di SD, anak-anak memulai kegiatan yang mirip dengan di PAUD, seperti bermain, menggambar, dan bernyanyi. ”Ada juga kegiatan baca dan tulis. Bukan untuk mengetes anak, tetapi mengenalkan saja, walaupun sebagian besar belum lancar,” katanya.
Ketua Yayasan Sanggar Aksara Yuliati Siantajani menuturkan, perkembangan anak tidak terlepas dari perkembangan otaknya. Anak usia dini memerlukan stimulasi dengan mengoptimalkan semua inderanya. Dengan begitu, terjadi banjir sinapsis sehingga sambungan antarsel semakin kuat.
”Pembelajaran yang penuh stimulasi sensorik, pengindraan, praktik, menjadi modal yang bagus bagi anak. Saat masuk usia SD, itu akan dipangkas. Yang tidak perlu akan dimusnahkan. Anak perlu mulai siap menerima hal-hal yang esensial,” ujarnya.