Humor mempunyai jejak sejarah di Indonesia sebagai media kritik. Meski demikian, humor membuat suasana tidak tegang, bahkan yang dikritik bisa ikut tertawa bersama audiens.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Fungsi humor rupanya bukan sekadar mengocok perut. Dalam sejarahnya, orang Indonesia menggunakan humor untuk berbagai kepentingan, mulai dari mengkritik penguasa hingga mendekatkan diri dengan orang lain. Meski tujuannya bisa menjadi berbeda-beda, ada satu hasil pasti dari humor: semua senang!
Audiens tertawa terpingkal-pingkal saat adegan demi adegan ndagel muncul di layar lebar aula Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, pada Jumat (31/3/2023). Pada layar itu, penyelenggara program Refleksi Film Legenda Komedi menampilkan film Warkop DKI dari tahun 1980 berjudul Gee..eer (Gede Rasa).
Film bercerita soal Sanwani (diperankan Kasino Hadiwibowo alias Kasino), orang kaya raya dan anak dari pasangan yang kaya raya pula. Ia diminta orangtuanya untuk segera menikah. Sebelum melamar kekasihnya, Sanwani segera mengobati penyakitnya akibat kerap ”jajan” dulu. Di rumah sakit, Sanwani bertemu dengan teman-teman lamanya.
Sanwani lantas mengajak Slamet (Wahjoe Sardono alias Dono) dan Poltak (Dorman Borisman) yang belum mapan untuk tinggal bersama. Keduanya naksir adik perempuan Sanwani, Pratiwi (Ita Mustafa), yang baru kembali dari studi di luar negeri. Namun, adiknya jatuh hati pada Paijo (Indrodjoyo Kusumonegoro alias Indro), seorang dokter yang kariernya tengah menanjak.
Selama 1 jam 45 menit, penonton disuguhi berbagai adegan dan selorohan satire. Salah satu adegan berkisah saat karyawan-karyawan Sanwani minta kenaikan gaji, tapi ditolak.
Ada juga adegan saat pekerja rumah tangga Sanwani, Gombloh (Eddy Gombloh), menyebut gajinya yang tak kunjung naik walau sudah bekerja bertahun-tahun. Belum lagi, pekerjaannya banyak sekali, mulai dari memasak, menyiapkan kebutuhan tuannya, hingga menjadi sopir.
Adegan lain menyoal perbedaan hidup orang kaya dan miskin. Sebagai contoh, saat Slamet dan Poltak mesti melipat diri di bagasi mobil yang panas, sedangkan Sanwani dan kekasihnya, Pratiwi, serta Paijo duduk nyaman di mobil.
”Seolah-olah pejabat berhak punya ini-itu, sementara masyarakat bawah lagi kepanasan dan kesusahan,” kata CEO Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) Novrita Widiyastuti. IHIK3 adalah lembaga yang antara lain mengkaji humor di Indonesia serta mengumpulkan berbagai kajian dan literatur humor.
Salah satu hal yang dikaji IHIK3 adalah film-film Warkop DKI. Dari lebih 30 film yang diproduksi pada periode 1979-1994, setidaknya ada dua film yang telah dikaji. Keduanya berjudul Mana Tahaaaan… (1979) dan Gee..eer (Gede Rasa) (1980).
Jika dikaji lebih lanjut, kedua judul film ini mengandung kritik terhadap penguasa yang dibalut satire. Indro menyebut bahwa ini adalah cara Warkop melawan represi masa Orde Baru.
Satire cerdas yang dibawakan membuat Warkop DKI menjadi sorotan publik saat itu. Mereka pun berada di bawah radar pantauan pemerintah. Indro mengatakan, mereka kerap diminta datang ke aparat hukum untuk diperiksa. Mereka tahu bahwa sebetulnya itu bukan pemeriksaan, melainkan intimidasi agar tidak melancarkan kritik sosial lewat humor.
Mengkritik penguasa melalui humor pun jadi mesti dilakukan dengan hati-hati. Selain menghafal UUD 1945, mereka memperhitungkan dengan matang setiap langkah dan ucapan yang akan dibawa di hadapan audiens. Salah satu pedoman Warkop DKI adalah humor mereka mesti mencerahkan publik.
”Kami belajar agar tidak serampangan. Kritik itu agar orang menjadi tahu (informasi atau situasi). Kalau bikin resah, no, itu bukan Warkop,” ucap Indro.
Menurut sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Derajad S Widhyharto, humor tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga media komunikasi. Kritik, cibiran, dan sindiran yang disampaikan dalam bentuk humor bisa diterima masyarakat karena tidak langsung menunjuk hidung. Risiko membuat seseorang tersinggung pun relatif kecil.
”Dalam humor ada analogi. (Kritik) tidak dikatakan secara langsung, tetapi melalui analogi situasi dan aktor. Dengan humor, orang yang jadi sasaran tidak merasa dirinya yang dijadikan bahan humor,” ucap Derajad saat dihubungi terpisah, Selasa (4/4/2023). Selain sebagai media komunikasi, humor juga menjadi media refleksi diri.
Di humor ada analogi. (Kritik) tidak dikatakan secara langsung, tetapi melalui analogi situasi dan aktor.
Humor juga dapat menjadi alat mengomunikasikan hal-hal serius secara ringan. Hal ini kerap dilakukan Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dulu. Humor pun digunakannya untuk mencairkan suasana politik yang sedang tegang saat itu.
Sebagai contoh, suatu waktu Gus Dur diminta mundur oleh para demonstran. Reaksi Gus Dur cenderung santai, bahkan nyeleneh. Ia menjawab, ”Sampeyan ini bagaimana, wong saya ini maju aja susah, harus dituntun, kok, disuruh mundur.”
Novrita mengatakan, humor dapat mendekatkan ”orang atas” dengan ”orang bawah”. Dengan humor, ”orang atas” akan tampak lebih humanis, terbuka, dan sejajar dengan masyarakat awam. Ini membuat para ”orang atas” lebih mudah didekati dan diajak berinteraksi.
Ia menambahkan, meracik humor mesti mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya adalah humor tidak boleh dibuat dengan menjadikan orang lemah sebagai bahan tertawaan. Dalam hal ini, humor mesti mempertimbangkan simpati ke sesama manusia. Komedian juga mesti rajin memperkaya wawasan.