Warkop: ”Take One”... dan Bendera 4640
Meski Kasino dan Dono pernah tidak saling bertegur sapa selama tiga tahun, 1988-1990, komunikasi tetap terjalin lewat Indro. Tidak pernah tebersit sedikit pun Warkop untuk bubar.
Dalam sebuah perkemahan mahasiswa yang berjudul Perkampungan Universitas Indonesia di Cibubur, akhir September tahun 1973, Kasino Hadiwibowo dan Nanu Mulyono tampil menghibur peserta acara tersebut. Kedua mahasiswa UI tersebut menampilkan banyolan yang kocak dan nyanyian yang khas, cocok dengan kondisi dunia mahasiswa saat itu.
Kasino yang lahir di Gombong (1950) fasih berbicara dengan logat Jawa (Tegal), Betawi, Sunda, Bali, China, dan Padang. Sementara Nanu, mahasiswa kelahiran Jakarta (1952), menonjol dengan logat Batak dan permainan gitarnya. Celetukan-celetukan yang menggelikan keluar dari mulut Kasino dan disambar oleh Nanu, ditambah iringan permainan gitar Nanu yang keren.
Tanpa sadar keduanya menjadi perhatian serius dari Temmy Lesanpura, seniornya sesama UI, yang kebetulan Kepala Program Radio Prambors. Temmy kemudian menyampaikan kepada Rudy Badil (Jakarta, 1945), yang juga mahasiswa UI, untuk meminta Kasino dan Nanu mengisi program siaran di Prambors.
September 1973, Kasino, Nanu, dan Rudy Badil membuat acara bernama Obrolan Santai di Warung Kopi yang on air tiap malam Jumat pukul 21.00-23.00. Isi obrolan beragam, mulai dari situasi terkini saat itu, lelucon pendek mahasiswa, folklor, hingga lagu-lagu pelesetan.
Acara ini ternyata disukai pendengar radio dan selalu dinanti kemunculannya. Wahjoe Sardono (Solo, 1951) alias Dono yang bergabung tahun 1974, disusul Indrodjoyo Kusumonegoro (Jakarta, 1958), yang biasa dipanggil Indro, ikutan mengisi rubrik Warung Kopi di Radio Prambors. Dari obrolan malam Jumat itu muncullah nama-nama, antara lain, Mas Bei (Kasino), Acing (Kasino), Thulo (Nanu), Bang Jhony (Nanu), Bang Holil (Rudy Badil), Mister James (Rudy Badil), Mas Slamet (Dono), Ubai (Indro), dan Poltak (Indro). Total ada 16 nama pemeran yang suaranya dibawakan oleh kelima anggota Warkop.
Humor yang ditampilkan terkesan intelek dengan penyampaian yang cerdas. Setiap bahan lawakan disiapkan dengan rapi, ada yang menulis, melakukan riset, untuk kemudian meramunya menjadi bahan lawakan. Kebetulan mereka berlatar belakang mahasiswa sehingga sentilan humornya terkadang membuat kuping panas bagi yang merasa tersentil. Mereka harus adu pintar membungkus sentilannya agar tidak bermasalah. Saat itu, kondisi politik di era Orde Baru, tidak mudah untuk menyampaikan kritik.
Kesuksesan di radio membuat mereka juga diminta tampil di panggung. Tawaran main pun berdatangan, tidak saja tampil di Jakarta, tetapi juga di luar kota dan antarpulau. Tidak hanya kegiatan siaran di radio, mereka juga kerap mengisi kegiatan di acara kemahasiswaan. Kepopuleran grup komedi ini, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Warkop, membuat Radio Prambors mengusulkan mereka untuk tampil dalam malam Tahun Baru 1 Januari 1977 di TVRI dalam acara Terminal Tempat Anak Muda Mangkal arahan Mus Mualim. Humor satir yang awalnya muncul di acara-acara kemahasiswaan, kamping pencinta alam, beralih ke ruang studio radio, panggung pertunjukan, layar kaca televisi, hingga layar lebar gedung bioskop.
Kaset, film, dan popularitas
”Take one... itulah pengalaman pertama dan membanggakan buat saya di depan kamera,” kata Indro saat wawancara dengan Kompas, Rabu (17/7/2019) malam, di rumahnya. ”Waktu itu saya harus akting sebagai sopir taksi Blue Bird di film pertama Warkop yang berjudul Mana Tahaaan... tahun 1979. Take one maksudnya pengambilan gambar tanpa diulang atau sekali jadi,” ujar Indro.
Galeri foto lainnya: Rekaman Perjalanan Warkop DKI
Pengalamannya berorganisasi saat sekolah dan ikut kegiatan kepanduan (Pramuka) membuat Indro lebih pede dibandingkan yang lain. Beda dengan Kasino, Nanu, dan Dono yang harus beberapa kali retake (pengulangan pengambilan gambar). Film yang disutradarai Nawi Ismail dan diproduksi atas kerja sama Pramaqua dan Bola Dunia Film itu terbilang sukses dan ditonton lebih dari 400.000 orang. Nawi sendiri adalah sutradara film komedi yang berhasil melambungkan Benyamin Sueb.
Menurut koran Pelita (16/2/1980), selama 11 hari diputar di Bioskop Nusantara, Bandung, tercatat 35.000 orang menonton film tersebut. Sementara data Perfini menyebutkan, film perdana Warkop ini menggaet lebih dari 400.000 penonton di Jakarta. (Buku Warkop: Main-main Jadi Bukan Main, 2010, hlm 119).
Film Mana Tahaaan... diawali dengan adegan Indro yang tergesa-gesa membawa dua kopernya menyongsong kedatangan kereta api di Stasiun Purbolinggo. Maksudnya mungkin Purbalingga, tetapi yang tertulis di dinding stasiun adalah Purbolinggo. Adegan selanjutnya, Indro mencari tempat duduk kosong yang kebetulan berhadapan dengan Dono. Indro duduk di kursi nomor 25, sedangkan Dono di nomor 27. Waktu Indro mengangkat kopernya untuk diletakkan di bagasi di atas kursi, sepatunya menginjak kaki Dono sampai Dono meringis kesakitan. Dono pun bilang, ”Hai Mas, Mas... kaki saya jangan diinjak.” ”Oooo... maaf... maaf,” kata Indro.
Logat medok Indro dan keluguan Dono menjadi pembuka perjalanan orang daerah yang akan mencari keberuntungan di kota besar (Jakarta). Keduanya berperan sebagai calon mahasiswa yang ingin kuliah di Jakarta. Cerita yang ditulis sendiri oleh Warkop dengan latar belakang mereka dari kampus membuat alur cerita di film perdana ini juga bicara seputar dunia mahasiswa. Kuliah, tempat kos, hiburan, dan bercandaan ala mahasiswa pada zamannya. Di film ini mereka bermain bersama Kusno Sudjarwadi, Rahayu Effendi, dan ”ratu dangdut” kala itu, Elvie Sukaesih.
Sebelum merilis film Mana Tahaaan..., Warkop sudah mengeluarkan album pertama rekaman dalam bentuk kaset dengan judul Warung Kopi Prambors (Cangkir Kopi, 1979) yang diproduksi oleh Pramaqua. Isinya merupakan rekaman dari pertunjukan Warkop di Palembang tahun 1979 dan di Studio Gelora Seni. Hebatnya, Warkop dibayar flat pay Rp 10 juta oleh Pramaqua. Jumlah yang sangat besar saat itu. Bandingkan dengan Pramaqua yang membayar album perdana band God Bless (1976) Rp 5 juta.
Kaset perdana Warkop laku 260.000 kopi, melampaui penjualan kaset Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors 1977 dan Badai Pasti Berlalu. Edisi lawak Warkop lewat kaset terus meluncur hingga 12 album dalam rentang tahun 1979-1987, seperti Warung Kopi Prambors (Warung Tenda, 1979), Warung Kopi dan OM PSP (1979), Mana Tahaaan... (1980), Dokter Masuk Desa (1981), Gerhana Asmara (Warkop dan Srimulat, 1982), Pingin Melek Hukum (1983), Semua Bisa Diatur (1984), Pokoknya Betul (1984), Sama Juga Bohong (1986), Makin Tipis Makin Asyik (1987) dan Kunyanyikan Judulku (1987).
Sukses di rekaman kaset dan film perdana, grup komedian ini mendapat tawaran untuk film-film berikutnya. Tidak kurang dari 34 film diperankan Warkop dari tahun 1979 hingga 1994. Film-film tersebut adalah tahun 1980 Gengsi Dong, GeEr-Gede Rasa, dan Pintar Pintar Bodoh; tahun 1981 Manusia 6.000.000 Dollar, IQ Jongkok, dan Setan Kredit; tahun 1982 CHIPS, Dongkrak Antik; tahun 1983 Maju Kena Mundur Kena, Pokoknya Beres; tahun 1984 Tahu Diri Dong, Itu Bisa Diatur; tahun 1985 Gantian Dong, Kesempatan dalam Kesempitan; tahun 1986 Sama Juga Bohong, Atas Boleh Bawah boleh; tahun 1987 Depan Bisa Belakang Bisa, Makin Lama Makin Asyik, dan Saya Suka Kamu Punya; tahun 1988 Jodoh Boleh Diatur, Malu-malu Mau; tahun 1989 Godai Kita Dong; tahun 1990 Sabar Dulu Doong..., Mana Bisa Tahan; tahun 1991 Lupa Aturan Main, Sudah Pasti Tahan; tahun 1992 Bisa Naik Bisa Turun, Masuk Kena Keluar Kena, dan Salah Masuk; tahun 1993 Bagi-bagi Dong, Bebas Aturan Main; dan tahun 1994 Saya Duluan Dong, Pencet Sana Pencet Sini.
Satu hati
Personel Warkop yang awalnya lima orang, Kasino, Nanu, Rudy Badil, Dono, dan Indro, menjadi lebih sering tampil berempat. Rudy Badil mundur karena demam panggung dan memilih kerja di belakang layar. Pada tanggal 22 Maret 1983, Nanu meninggal akibat sakit ginjal (Kompas, Rabu, 23/3/1983, hlm 6).
Video lainnya: Main-main Jadi Bukan Main
Kesuksesan Warkop terus berlanjut meski personelnya memiliki sifat yang berbeda. Namun, justru perbedaan itu menjadi alat perekat. Kasino dengan sifat manajerialnya membantu menata arah perjalanan Warkop, Dono yang lebih nyeni memberi warna dalam penyajian lawakan. Sementara Indro sebagai yang termuda berperan sebagai jembatan antara Kasino dan Dono.
Meski Kasino dan Dono pernah tidak saling bertegur sapa selama tiga tahun, 1988-1990, komunikasi tetap terjalin lewat Indro. ”Tidak pernah tebersit sedikit pun di kepala gue untuk bubar,” kata Kasino. Kalau ada orang yang menjelek-jelekan Dono, dengan gagah perkasa Kasino akan membelanya, demikian sebaliknya, ujar Indro. Saat tampil di panggung ataupun film, keduanya bisa profesional, tidak menampakkan adanya konflik.
Akibat larisnya Warkop, kadang mereka tampil tidak dalam full team. Dono pun mundur sebagai asisten dosen di Jurusan Sosiologi UI pertengahan tahun 1981 akibat kesibukannya di film, selain sedang serius menekuni bidang kewartawanan. ”Dulu saya pernah hidup dengan hasil menulis di koran,” kata Dono (Kompas, Minggu, 29/11/1983, hlm 5).
Meski Kasino dan Dono pernah tidak saling bertegur sapa selama tiga tahun, 1988-1990, komunikasi tetap terjalin lewat Indro. Tidak pernah tebersit sedikit pun Warkop untuk bubar.
Profesinya sebagai wartawan malah kadang merepotkan saat masyarakat yang mengenalnya. Seperti saat pergelaran musik rock Hallo Bandung, Minggu (17/4/1983). Mereka mengerumuni dan menanyakan motor CHIPS-nya. Kebetulan film CHIPS yang dibintangi Warkop sedang diputar di Bandung. Belum lagi ada yang mengolok-olok. ”Mau manggung, nih? Kok, bawa tustel?” Atau ada yang memanggilnya ”hey, bemo”.... Dono pun hanya bisa nyengir dan segera menyingkir menghindari kerumunan.
Pada malam penutupan Festival Film Indonesia (FFI) 1986, Senin (11/8/1986), Warkop, minus Indro yang berhalangan hadir, diwakili oleh Dono dan Kasino yang tampil menghibur ribuan pengunjung Taman Budaya di Denpasar, Bali. Pesona kedua personel Warkop melebihi peserta FFI. Bahkan ketika baru mendarat di Bandara Ngurah Rai, Jumat (8/8), dan mobil peserta diarak keliling Denpasar, mobil yang ditumpangi Dono dan Kasino menjadi pusat perhatian(Kompas, Rabu, 13/8/1986 hlm 1).
Saat mengisi stan Pojok Kompas (10-19 Oktober 1997) di Plaza Timur Senayan saat SEA Games XIX, Warkop tampil dengan Dono dan Indro karena Kasino sedang sakit. Kasino mendukung acara ini dan kelihatan semangat saat Dono memberi tahu Warkop akan pasang logo siluet trio DKI (Dono-Kasino-Indro) di stan Pojok Kompas. Kasino meninggal pada tanggal 18 Desember 1997 karena sakit. Demikian pula saat Dono tidak dapat tampil menemani Indro. Saat itu Indro keberatan karena kalau tampil sendiri merasa bukan Warkop. Tetapi, Dono mengatakan kepada Indro untuk tetap tampil karena, ”Bendera Warkop sekarang ada di pundak loe.” Dono meninggal pada tanggal 30 Desember 2001 karena sakit dan yang terakhir Rudy Badil pada tanggal 11 Juli 2019. Meski tinggal sendiri, Indro merasa harus tetap menjaga bendera Warkop. Warkop adalah sebuah keluarga besar, tidak terbatas pada kelima personelnya, tetapi juga hubungan di antara anak-anak mereka.
Tak terasa tahun 2019 ini sudah 46 tahun Bendera Warkop berkibar dan 40 tahun film Warkop setia hadir mewarnai setiap Lebaran. Gile lu, nDro....
Lensa Berita Edisi sebelumnya: Bemo Tergerus Kemajuan Zaman
Sumber:
1. Kompas, Sabtu, 13 Mei 1978, halaman 6
2. Kompas, Minggu, 23 Desember 1979, halaman 5
3. Kompas, Minggu, 29 November 1981, halaman 5
4. Kompas, Rabu, 13 agustus 1986, halaman 1
5. Kompas, Rabu, 6 Juli 1994, halaman 20
6. Kompas, Sabtu, 11 Oktober 1997, halaman 1
7. Kompas, Jumat, 19 Desember 1997, halaman 1
8. Kompas, Minggu, 30 Desember 2001, halaman 1
9. Buku Warkop: Main-main Jadi Bukan Main, 2010