Penyederhanaan Izin Dokter dalam RUU Kesehatan Dapat Merugikan Masyarakat
Pemerintah mengusulkan penyederhanaan sistem penerbitan surat tanda registrasi dan surat izin praktik tenaga kesehatan. Namun, upaya itu perlu dikaji ulang karena tidak sesuai dengan marwah profesi kedokteran.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan penyederhanan surat tanda registrasi dan surat izin pratik dokter dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan menuai protes dari para dokter. Menurut mereka, usulan tersebut dianggap tidak sesuai dengan etik kedokteran yang mengutamakan jaminan keselamatan pasien atau masyarakat.
Dalam daftar inventarisasi masalah RUU Kesehatan, Kementerian Kesehatan mengusulkan agar pemberlakuan surat tanda registrasi (STR) tenaga kesehatan diubah menjadi seumur hidup dari yang sebelumnya lima tahun. Perubahan tersebut dilakukan lantaran STR dianggap sebagai administrasi pencatatan tenaga kesehatan sehingga cukup dilakukan sekali seumur hidup. Sementara sertifikasi ulang yang sebelumnya ada dalam STR akan dilekatkan pada proses perpanjangan surat izin praktik (SIP) tanpa mensyaratkan rekomendasi dari organisasi profesi.
Associate Professor in Medical Education Titi Savitri Prihatiningsih mengatakan, setiap perubahan kebijakan memerlukan pertimbangan secara matang. Landasan konsep antara RUU Kesehatan dengan naskah akademis dinilai tidak sinkron.
TR bukan registrasi biasa. Itu tentang etik, profesionalisme, dan kompetensi seorang dokter yang penilaiannya hanya diketahui oleh organisasi profesi dan kolegium.
”Sebaiknya jangan terburu-buru, apalagi ini mengubah banyak undang-undang. Jangan sampai praktik baik yang sudah berjalan malah menjadi kacau, sedangkan usulan praktik baru justru menimbulkan pertanyaan,” kata Titi dalam diskusi mengenai RUU Kesehatan yang diadakan oleh Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (FDPKKB) dan Forum Komunikasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara daring, Minggu (2/4/2023) malam.
Proses draf RUU Kesehatan telah memasuki tahap sosialisasi oleh pemerintah, salah satunya mengenai STR dan SIP. RUU Kesehatan akan mencabut sembilan undang-undang serta mengubah empat undang-undang terkait kesehatan dan telah dibahas secara terbuka dalam forum-forum partisipasi publik oleh Kemenkes.
STR merupakan keterangan tertulis dari pemerintah bagi tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sehingga mereka dapat melakukan aktivitas pelayanan kesehatan. Lalu, SIP adalah tanda bukti kewenangan berpraktik yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada tenaga kesehatan.
Dengan memberlakukan STR seumur hidup dan menganggapnya sebagai proses administrasi pencatatan belaka, Titi menilai, pemerintah tidak melihat adanya aspek kredensial atau pemberian mandat kepada dokter sebagai profesi. Sebelumnya, aspek kredensial itu telah terwujud dalam ketentuan registrasi ulang STR secara berkala setiap lima tahun sekali.
Kredensial merupakan proses untuk memastikan kapasitas atau kompetensi seorang dokter melalui proses verifikasi kelayakan dan kualifikasi dalam menjalankan praktik. Dalam memastikan kapasitas atau kompetensi seorang dokter, salah satunya memerlukan rekomendasi dari rekan seprofesi atau organisasi profesi dokter.
”Untuk memperoleh kewenangan atau lisensi berpraktik, calon dokter perlu mendaftarkan sertifikasinya mulai dari ijazah pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Itulah yang disebut credentialing. Jadi, STR atau proses pendaftaran itu bukan sekadar pencatatan administrasi, melainkan untuk memastikan kapasitas seorang dokter,” kata Titi.
Sebagai aspek penting dalam profesi kedokteran, kredensial dapat memproteksi masyarakat, menjamin keselamatan pasien, memberikan asuransi, memitigasi gugatan serta rusaknya reputasi, serta memperkuat dokter dari aspek legal untuk berpraktik. Proses memberikan lisensi kepada seorang dokter secara berkala itu masih berlaku di negara-negara lain, seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, pemerintah merasa perpanjangan STR dan SIP secara berkala justru menyulitkan dokter dan tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, pemerintah hendak menyederhanakan proses tersebut menjadi lebih mudah dalam RUU Kesehatan.
”Jadi nanti yang diperpanjang cukup SIP saja. Tujuan dari penyederhanaan perizinan ini adalah agar dokter dan tenaga kesehatan tidak banyak dibebani sehingga mereka bisa tenang menjalankan tugas mulia mereka,” kata Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya dalam keterangan resminya.
Penyederhanaan tersebut diwujudkan melalui sistem informasi yang digunakan untuk mengumpulkan SKP. Sistem informasi yang dikontrol oleh pemerintah pusat itu direncanakan juga menjadi indikator untuk menerbitkan izin praktik baru oleh pemerintah daerah dan dinas kesehatan atau pelayanan terpadu satu pintu.
Ketua Purna PB IDI Periode 2018-2021 Daeng M Faqih menyampaikan, penyederhanaan dalam hal pemberlakuan STR seumur hidup tentu akan disambut baik oleh para dokter. Namun, dari aspek integritas etik, hal itu justru akan merugikan masyarakat.
”Pemerintah harus mendapatkan informasi dari semua pihak yang memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang ini. Pengaturan STR dan SIP secara periodik ini justru menjadi kepentingan masyarakat karena ini sebagai perlindungan masyarakat dan pedoman bagi dokter,” ujar Daeng.
Daeng menyebut, prinsip dasar mengenai keselamatan pasien atau masyarakat harus diutamakan oleh seorang dokter sebagaimana telah diucapkan dalam sumpah mereka. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengerti dan memahami adanya prinsip dasar tersebut.
Etik dan profesional
Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sukman Tulus Putra menambahkan, peraturan tentang STR dan SIP tidak perlu disederhanakan. Permasalahannya bukan pada peraturannya, melainkan pada penerapannya di lapangan sehingga hanya perlu diefektifkan dan diperbaiki.
”Kalau selama ini tidak bisa dijalankan, belum tentu undang-undangnya yang bermasalah. Di sini jelas ada proses pengambilan peran-peran profesi dokter oleh pemerintah. Dalam pasal-pasal tersebut, masalah etik kedokteran jelas akan diambil alih oleh pemerintah,” kata Sukman.
Padahal, selama ini, praktik kedokteran di Indonesia telah berjalan dengan baik dan rapi. Namun, permasalahan muncul ketika ada rencana untuk menghilangkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Menaldi Rasmin menjelaskan, pencabutan UU tersebut mulai mengancam keselamatan pasien. Ini soal ketidakpahaman tentang profesionalisme, kompetisi, registrasi, dan izin praktik.
”Mereka tidak memahami bahwa pedoman utama praktik kedokteran adalah keselamatan pasien. STR bukan registrasi biasa. Itu tentang etik, profesionalisme, dan kompetensi seorang dokter yang penilaiannya hanya diketahui oleh organisasi profesi dan kolegium,” tutur Menaldi.
STR dikeluarkan oleh negara melalui Konsil Kedokteran Indonesia sebagai tanda pemberian kewenangan untuk melakukan praktik. Maka, STR harus diperbarui secara berkala sebagai penjamin kompetensi. Contohnya, kompetensi seorang dokter cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Selain itu, SIP juga memerlukan rekomendasi dari organisasi profesi karena dokter hidup dalam kolegalitas. Rekomendasi tersebut hanya bisa dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang mengetahui seluk-beluk daerahnya melalui pejabat kesehatan.
”Praktik pedoman kedokteran adalah tentang keselamatan pasien. Jika pasien selamat, semua yang terlibat dalam sistem akan selamat. Oleh sebab itu, pembinaan profesi harus dilakukan secara terus-menerus atau dalam konsili kedokteran sedunia adalah menjaga keselamatan pasien dengan cara melakukan pembinaan pada profesi,” kata Menaldi.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) Harif Fadhillah menambahkan, perawat sebagai tenaga kesehatan juga tidak lepas dari sertifikasi kompetensi. Menurut dia, rencana penerapan STR yang berlaku seumur hidup harus menyesuaikan dan mempertimbangkan aspek perkembangan individu untuk menjamin keselamatan pasien dan tenaga kesehatan, serta mengevaluasi kompetensi.