Trauma Kanak-kanak Memengaruhi Kesehatan Mental Saat Dewasa
Wanita lebih dipengaruhi oleh trauma emosional saat kecil dan pelecehan seksual, sedangkan pria lebih dipengaruhi oleh pengabaian emosional dan fisik di masa kanak-kanak.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Guru mengajar peserta didik kejar Paket B di Rumah Belajar JICT di kawasan Koja, Jakarta Utara, Senin (6/3/2023). Peserta didik kejar paket ini berasal dari beragam latar belakang. Sebagian murid putus sekolah karena faktor biaya, korban perundungan di sekolah formal, ataupun anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah karena suatu kesalahan atau berkonflik dengan hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah studi baru menunjukkan, pria dan wanita dipengaruhi secara berbeda oleh trauma di masa kanak-kanak. Wanita lebih dipengaruhi oleh trauma emosional saat kecil dan pelecehan seksual, sedangkan pria lebih dipengaruhi oleh pengabaian emosional dan fisik di masa kanak-kanak.
Hasil penelitian ini dipresentasikan dalam European Congress of Psychiatry di Paris yang dirilis pada Minggu (26/3/2023). Kongres Psikiatri Eropa ini berlangsung pada 25-28 Maret 2023. Penelitian ini termasuk yang pertama menghubungkan efek khusus jender dari masa kanak-kanak dan penelantaran dengan hasil kesehatan mental.
”Temuan kami menunjukkan bahwa paparan terhadap penganiayaan masa kanak-kanak meningkatkan risiko gejala kejiwaan baik pada pria maupun wanita,” kata peneliti utama, Thanavadee Prachason dari University of Maastricht di Belanda.
Trauma masa kanak-kanak merupakan faktor risiko utama yang dapat dicegah untuk penyakit kejiwaan.
Paparan trauma pada masa kecil ini disikapi berbeda oleh anak perempuan dan laki-laki. ”Pengalaman pelecehan emosional atau seksual selama masa kanak-kanak meningkatkan risiko berbagai gejala kejiwaan terutama pada wanita. Sebaliknya, riwayat pengabaian emosional atau fisik di masa kanak-kanak meningkatkan risiko memiliki gejala kejiwaan lebih banyak pada pria,” kata Prachason.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Anak-anak bermain bola menunggu jam masuk sekolah di SDN Bojongmenteng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Jumat (17/3/2023).
Dalam kajian ini, Prachason btergabung dengan tim peneliti internasional dari Belanda, Turki, Italia, Belgia, Inggris, dan Amerika Serikat. Mereka menganalisis data dari 791 sukarelawan dewasa tentang trauma masa kecil.
Mereka juga menguji gejala kejiwaan saat ini, seperti fobia, kecemasan, depresi, gangguan obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, dan gejala lainnya. Para peneliti kemudian dapat menghubungkan jenis trauma masa kanak-kanak dengan gejala yang ditunjukkan saat dewasa.
Tim peneliti menemukan, pria dan wanita dengan skor tinggi untuk trauma masa kanak-kanak secara signifikan lebih mungkin menunjukkan gejala kejiwaan saat dewasa. Analisis menunjukkan, baik pria maupun wanita sama-sama dipengaruhi oleh pelecehan emosional masa kanak-kanak, tetapi asosiasi ini sekitar dua kali lebih kuat pada wanita daripada pria.
”Wanita yang mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak memiliki lebih banyak gejala lanjutan daripada mereka yang tidak, tetapi pola ini tidak ditemukan pada pria. Sebaliknya, pengabaian masa kanak-kanak, baik secara fisik maupun emosional, terkait dengan gejala kejiwaan pada laki-laki, tetapi tidak pada perempuan,” ujar Prachason.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Murid mengikuti kegiatan penyembuhan trauma yang diselenggarakan Polres Boyolali di SD Negeri 2 Tlogolele, Desa Tlogolele, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (15/3/2023). Kegiatan ini digelar untuk menghilangkan rasa takut yang mungkin masih membekas di ingatan anak-anak akibat kejadian erupsi Gunung Merapi.
Menurut Prachason dan tim, pengabaian fisik pada anak laki-laki yang dimaksud mencakup pengalaman tidak cukup makan, mengenakan pakaian kotor, tidak dirawat, dan tidak dibawa ke dokter ketika orang tersebut tumbuh dewasa. ”Pengabaian emosional dapat mencakup pengalaman masa kanak-kanak, seperti tidak merasa dicintai atau penting, dan tidak merasa dekat dengan keluarga,” katanya.
Peneliti senior yang terlibat dalam kajian ini, Sinan Guloksuz dari University of Maastricht, menambahkan, ”Trauma masa kecil adalah masalah yang tersebar luas. Sulit untuk mengumpulkan statistik yang akurat, tetapi tinjauan sistematis memperkirakan bahwa hingga 50 persen anak di seluruh dunia menderita trauma pada tahun sebelumnya.”
Sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan, trauma masa kanak-kanak berkontribusi terhadap berbagai masalah kesehatan mental, dan diperkirakan sepertiga dari semua gangguan kejiwaan di seluruh dunia terkait dengan trauma masa kanak-kanak. ”Trauma masa kanak-kanak merupakan faktor risiko utama yang dapat dicegah untuk penyakit kejiwaan,” katanya.
Mengomentari kajian ini, Philip Gorwood dari Institut Psychiatrie et Neurosciences de Paris, Université de Paris, mengatakan, ”Ini adalah temuan penting karena trauma masa kanak-kanak telah diakui dengan jelas sebagai faktor risiko utama untuk sebagian besar gangguan kejiwaan, tetapi dengan pengetahuan yang buruk. kekhususan jender.”
Gorwood yang juga mantan Presiden Asosiasi Psikiatri Eropa dan tidak mengikuti riset ini mengatakan, memahami aspek trauma mana yang lebih merusak menurut jender akan memfasilitasi penelitian tentang proses ketahanan. ”Banyak strategi intervensi memang akan mendapat manfaat dari pendekatan yang lebih personal,” katanya.