Temuan di Muaro Jambi Kian Beragam, Tersebar di 130 Hektar Lahan
Pengungkapan temuan-temuan arkeologis di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi semakin beragam. Hal ini menegaskan catatan sejarah yang menyebut kawasan itu sebagai pusat pendidikan Buddha pada masa lampau.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·4 menit baca
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Peneliti melintasi kompleks Candi Kedaton di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (15/3/2023). Temuan arkeologis di Muaro Jambi terus berkembang dan semakin menguatkan catatan sejarah bahwa kawasan ini dahulu pernah menjadi pusat pendidikan Buddha terbesar di Asia Tenggara.
MUARO JAMBI, KOMPAS — Proses revitalisasi dan rekonstruksi di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi berhasil mengungkap fakta-fakta baru tentang keberadaan pusat pendidikan spiritual Buddha Muaro Jambi yang berkembang sekitar abad ke-7 hingga akhir abad ke-12. Temuan di kawasan ini terus berkembang. Sampai sekarang, pemerintah telah membebaskan 130 hektar lahan situs.
Nama situs Muaro Jambi sebenarnya telah muncul dalam catatan purbakala Belanda pada tahun 1937 setelah Schnitger melakukan penggalian di kawasan ini. Setelah itu, baru pada tahun 1978 hingga 1980 dilakukan pemugaran di sekitar Candi Gumpung dengan pembebasan lahan seluas 5 hektar.
”Awalnya hanya 5 hektar. Kemudian setiap tahun dilakukan pembebasan lahan menjadi sekitar 30 hektar sampai tahun 2001. Lalu, pada tahun 2022, Presiden Joko Widodo menanyakan tentang narasi Muaro Jambi dan Presiden memberikan penguatan untuk merevitalisasi kawasan ini. Pada tahun 2022, selama tujuh bulan, kami bisa membebaskan lahan seluas 100 hektar,” kata Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Agus Widiatmoko, Kamis (16/3/2023), di Muaro Jambi, Jambi.
Selama enam bulan, kami menemukan 22 struktur bangunan, padahal awalnya diduga hanya empat struktur.
Sekarang, total lahan di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi yang telah dibebaskan mencapai 130 hektar. Ke depan, bangunan-bangunan candi yang tanahnya sudah dibebaskan akan ditata.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Petugas membersihkan kompleks Candi Kotomahligai di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (15/3/2023). Temuan arkeologis di Muaro Jambi terus berkembang dan semakin menguatkan catatan sejarah bahwa kawasan ini dahulu pernah menjadi pusat pendidikan Buddha terbesar di Asia Tenggara.
Menurut Agus, penataan Muaro Jambi menerapkan konsep harmonisasi dengan ekosistem alam sekitarnya. Dengan demikian, ada keseimbangan antara alam dan budaya di sana.
”Orang dahulu sudah membuat lanskap ’taman’ Muaro Jambi dengan bangunan, kanal, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Ini akan tetap kita lestarikan,” ucapnya.
Pembebasan lahan di KCBN Muaro Jambi tidak hanya hanya untuk menyelamatkan cagar budaya, tetapi juga keanekaragaman hayati di daerah tersebut. Tahun ini, di sebelah barat Candi Kedaton akan dibangun Kampus Merdeka di atas lahan seluas 30 hektar yang di sekitarnya tidak terdapat struktur bangunan candi. Kampus ini bukan berupa gedung permanen, melainkan semacam rumah panggung dari kayu. Di kompleks Kampus Merdeka disediakan pula museum, galeri, laboratorium, dan fasilitas untuk belajar.
Menyimpan misteri
Dalam proses revitalisasi dan rekonstruksi, di Muaro Jambi ditemukan bekas-bekas reruntuhan genteng, arang, dan kayu-kayu bangunan, berikut pasak-pasak pakunya. Dari hasil penanggalan karbon, kawasan ini ternyata mulai ditinggalkan pada akhir abad ke-12.
Dari penemuan artefak-artefak, bisa dibayangkan bagaimana tiang-tiang di Candi Kotomahligai terbakar. ”Ini pasti suatu peristiwa yang luar biasa. Tapi, karena apa bangunan itu runtuh dan terbakar masih terus kami teliti,” kata Agus.
Lalu, di situs Parit Duku, peneliti menemukan identifikasi tidak terduga. Awalnya situs tersebut hanya diasumsikan sebagai candi biasa dengan empat bangunan berupa satu candi induk dengan candi pendamping di sekitarnya. Namun, rupanya di situ ada puluhan struktur bangunan yang saling berimpitan.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Agus Widiatmoko mempraktikkan penggunaan kalacakra (lingkaran waktu), semacam jam matahari untuk menunjukkan waktu di kompleks Candi Kedaton di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Kamis (16/3/2023). Temuan arkeologis di Muaro Jambi terus berkembang dan semakin menguatkan catatan sejarah bahwa kawasan ini dahulu pernah menjadi pusat pendidikan Buddha terbesar di Asia Tenggara.
”Kami berasumsi kalau temuannya batu bata stupa, berarti ini kompleks stupa. Ada arca terakota, arca Buddha, dan celupak (lampu minyak dari terakota) untuk melakukan ritual. Kami juga menemukan kerak-kerak besi yang menunjukkan adanya tempat pembakaran logam yang ditemukan juga di Candi Kotomahligai dan di Candi Gedong,” paparnya.
Artinya, jika ditemukan kerak-kerak logam, berarti ada aktivitas pembuatan kerajinan, kegiatan mencampur logam, membuat arca logam, dan sebagainya. Hal ini menjadi bagian ritus tradisi ajaran Buddha.
Ketua Tim Perencanaan dan Pemugaran Candi Kotomahligai Wahyu Adinugroho menyampaikan, Candi Kotomahligai merupakan tempat wihara Buddha. Sama seperti di Kotomahligai, pemugaran juga dilakukan di situs Parit Duku.
”Selama enam bulan, kami menemukan 22 struktur bangunan, padahal awalnya diduga hanya empat struktur,” ungkap Ketua Tim Perencanaan dan Pemugaran Situs Parit Duku Mubarak A Pampang.
Pendidikan skala internasional
Di Candi Kotomahligai, ditemukan pula artefak-artefak yang menegaskan bahwa kawasan Muaro Jambi dahulu merupakan pusat pendidikan spiritual Buddha berskala internasional. Hal ini terungkap dengan penemuan pecahan genteng-genteng berglasur warna hijau yang diduga didatangkan langsung dari China.
”Berarti Muaro Jambi adalah tempat ibadah dan pendidikan internasional, bukan tempat yang biasa. Muaro Jambi adalah tempat pendidikan di suatu pulau bernama Suwarna Dwipa (kini Sumatera) yang berada di jalur pelayaran strategis dari China ke India dan dari India ke China,” tambah Agus.
Dalam naskah biografi seorang guru Buddha, Atiśa Shrijnana Dipankara, dituliskan, pada tahun 1012-1024 ia belajar di Suwarna Dwipa selama 12 tahun. Ia belajar langsung kepada Dharmakirtti, seorang biku terkenal pada masa itu yang diperintahkan oleh Raja Melayu untuk menyusun kitab filsafat Buddhis.
Ketika sudah belajar di Muaro Jambi dan sudah mendapatkan ajaran Bodhisatwa, Atiśa ditahbiskan di suatu tempat yang disebut berpayung perak. Nama ini mirip dengan suatu tempat di dekat Muaro Jambi yang disebut Bukit Perak.
”Diduga ini merupakan tempat yang tersimpan di memori masyarakat Muaro Jambi bernama Bukit Perak. Tempat tersebut merupakan bagian dari garis imajiner yang menghubungkan kawasan Muaro Jambi. Lokasinya sekitar 3 kilometer dari Candi Kedaton. Diduga ini menjadi tempat pencapaian paling akhir para biksu yang belajar di Muaro Jambi,” tutur Agus.