Eksodus Tenaga Kesehatan Global yang Kian Mengkhawatirkan
Pandemi Covid-19 membuat sistem kesehatan banyak negara goyah. Kondisi ini memicu eksodus tenaga kesehatan dari negara berkembang ke negara maju kian intens.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
Seorang tenaga kesehatan siap mengambil sampel warga yang menjalani tes Covid-19 di Hanoi, Vietnam, 20 Agustus 2021.
Pasien terus berdatangan ke unit gawat darurat Rumah Sakit Bir di Kathmandu, Nepal, meski ruang itu sudah penuh. Ada yang dibawa menggunakan brankar, juga kursi roda. Mereka memenuhi sudut-sudut ruang perawatan. Beberapa pasien yang terbaring dan masih terhubung dengan alat-alat kesehatan harus dipindahkan untuk memberi tempat pada pasien lain yang datang.
”Situasinya sangat sulit. Selalu sibuk, bahkan lebih dari ini. Terkadang satu tempat tidur dipakai dua sampai tiga orang,” kata Shalu Chand, perawat di RS Bir yang bergegas memasang infus pada seorang pasien setelah mengurus dua pasien sebelumnya.
”Beban kerjanya terlalu besar dan gajinya terlalu kecil,” ujarnya kepada The Guardian, Selasa (14/3/2023).
Kehebohan di ruang UGD RS Bir Kathmandu itu bisa jadi semakin parah seiring dengan eksodusnya tenaga kesehatan dari Nepal ke sejumlah negara maju, seperti Inggris, untuk mendapat penghasilan yang lebih baik. Hal serupa juga terjadi di puluhan negara lainnya. Fenomena yang kian intens setelah pandemi Covid-19 ini bakal mengancam ketangguhan sistem kesehatan banyak negara berkembang.
Pada Selasa (14/3/2023) lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan WHO Health Workforce Support and Safeguards List 2023. Laporan ini berisi daftar negara-negara dengan kebutuhan tenaga kesehatan yang mendesak. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, sistem kesehatan negara tersebut akan goyah dan negara ini bakal sulit mencapai cakupan layanan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC).
Dalam laporan tersebut, Kelompok Penasihat Ahli Kode Praktik Global Rekrutmen Personel Kesehatan Internasional merekomendasikan agar negara-negara dengan kebutuhan tenaga kesehatan paling mendesak harus diidentifikasi, didukung, dan dilindungi.
”Tenaga kesehatan adalah tulang punggung setiap sistem kesehatan. Namun, sebanyak 55 negara yang beberapa di antaranya dengan sistem kesehatan yang rapuh tidak memiliki cukup tenaga kesehatan. Negara-negara itu kehilangan tenaga kesehatannya yang bermigrasi,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam keterangan resmi WHO, Selasa (14/3/2023).
WHO menyebut, pandemi Covid-19 yang telah berdampak terhadap terganggunya layanan kesehatan dan mengakselerasi rekrutmen tenaga kesehatan. Akibatnya, sistem kesehatan negara-negara yang tenaga kesehatannya pindah bekerja ke negara lain akan terganggu sehingga membuat mereka sulit mencapai UHC sesuai mandat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan menghambat capaian ketahanan kesehatan.
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
Seorang tenaga kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 Covishield di Hyderabad, India, Jumat, 25 Juni 2021.
Dari 55 negara yang disebutkan Tedros terdampak eksodus ini, 37 di antaranya ada di wilayah WHO Regional Afrika (AFRO), 6 di wilayah WHO Mediterania Timur (EMRO), 3 di wilayah WHO Asia Tenggara (SEARO), 8 di wilayah WHO Pasifik Barat (WPRO), dan 1 di wilayah WHO Amerika (PAHO).
Tiga negara di wilayah SEARO yang termasuk dalam daftar di atas ialah Bangladesh, Nepal, dan Timor Leste. Sementara negara dari wilayah WPRO, antara lain, Laos dan Papua Niugini.
Dari total 55 negara tersebut terdapat negara-negara dengan indeks UHC di bawah 55 dan rasio dokter, perawat, serta bidan hanya 49 personel untuk 10.000 penduduk.
Tenaga kesehatan adalah tulang punggung setiap sistem kesehatan. Namun, sebanyak 55 negara yang beberapa di antaranya dengan sistem kesehatan yang rapuh tidak memiliki cukup tenaga kesehatan. Negara-negara itu kehilangan tenaga kesehatannya yang bermigrasi.
Sebenarnya, tren migrasi tenaga kesehatan dari Afrika atau Asia Tenggara, misalnya, yang mencari peluang kerja yang lebih baik ke negara maju telah berlangsung sebelum pandemi Covid-19. Akan tetapi, sejak pandemi Covid-19 terjadi eksodus semakin banyak dan kian kompetitif.
Seperti dikutip di laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 14 Maret 2023, Direktur Kebijakan Tenaga Kesehatan WHO Jim Campbell menyampaikan, negara-negara Teluk sejak lama telah bergantung pada tenaga kesehatan internasional. Negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD mengakselerasi rekrutmen tenaga kesehatan internasional setelah Covid-19 menelan banyak korban tenaga kesehatan selama pandemi.
Sekitar 115.000 tenaga kesehatan di seluruh dunia meninggal karena Covid-19. Namun, tidak sedikit juga yang berhenti dari profesi mereka karena kelelahan (burnout) dan depresi. Mogok kerja pun terjadi di lebih dari 100 negara sejak pandemi terjadi termasuk di Inggris dan Amerika Serikat.
”Kita perlu melindungi tenaga kesehatan jika ingin memastikan penduduk memiliki akses pada layanan kesehatan,” ujar Campbell.
AP/NIRANJAN SHRESTHA
Warga Nepal menunggu di dalam bus yang akan membawanya kembali ke desa mereka sehari sebelum penguncian di Kathmandu, Nepal, akhir April 2021.
Salah satu contoh tren rekrutmen tenaga kesehatan yang mengancam sistem dan layanan kesehatan negara ialah nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Inggris dan Nepal. MoU yang dipublikasi pada 22 Agustus 2022 itu menyatakan, di fase awal Pemerintah Inggris akan merekrut hingga 100 perawat. Setelahnya, sebuah unit akan dibentuk di Nepal untuk menyiapkan ”jalur rekrutmen berkelanjutan” bagi perawat dan nantinya tenaga kesehatan lain dari Nepal ke Inggris.
Padahal, Nepal termasuk dalam ”daftar merah” dalam laporan WHO. Artinya, sistem kesehatan Nepal sangat rapuh sehingga eksodus banyak tenaga kesehatan dari negara itu bakal semakin memperparah sistem kesehatan di sana.
Studi yang dimuat di The Lancet pada 23 Mei 2022 memperkirakan, Nepal memiliki 28 perawat dan bidan untuk 10.000 penduduk. Angka ini sangat jauh dari Inggris yang 131 perawat dan bidan untuk 10.000 penduduk.
Badan Layanan Kesehatan (NHS) Inggris melirik negara berkembang untuk mengisi kekurangan tenaga kesehatannya. Hampir 24 persen perawat di NHS bukan warga Inggris yang 14 persen (Juni 2022) di antaranya berasal dari Asia. Proporsi ini meningkat dari sebelumnya 7 persen (Maret 2019).
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Tenaga kesehatan melakukan tindakan medis terhadap pasien di salah satu ruangan Mayapada Hospital, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (6/3/2023).
Seperti dikutip The Guardian, Selasa (14/3/2023), seorang juru bicara Departemen Kesehatan dan Perlindungan Sosial Inggris mengatakan, MoU itu ”menguntungkan” perawat Nepal secara ekonomi dan profesional. Mereka berkesempatan mengikuti pelatihan dan pengembangan kapasitas yang pada akhirnya bisa mereka terapkan untuk memperkuat sistem kesehatan negara mereka ketika pulang.
”Kami, di fasilitas kesehatan pemerintah, kekurangan perawat. Seharusnya satu perawat untuk enam pasien. Tetapi, realitasnya satu perawat untuk 20-30 pasien,” kata Prof Goma Devi Niraula, Direktur Divisi Perawat dan Jaminan Sosial Kementerian Kesehatan dan Kependudukan Nepal.
”Perawat pegawai pemerintah jelas akan melamar bekerja ke Inggris karena gaji dan benefit lain yang lebih baik. Kami tidak bisa menghentikan mereka. Namun, andaikan semua perawat kompeten pergi bagaimana sistem kesehatan kami bisa berkembang,” tanya Niraula.