Kematian Tenaga Kesehatan Mencapai Rekor Tertinggi
Data LaporCovid-19 menunjukkan, total tenaga kesehatan dari beragam profesi yang meninggal dunia telah mencapai 1.183 orang. Sebanyak 87 orang di antaranya meninggal di sembilan hari pertama di bulan Juli 2021.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 87 tenaga kesehatan meninggal dunia dan ribuan orang terkonfirmasi positif Covid-19 dalam sembilan hari pertama di bulan Juli 2021, menjadikannya rekor tertinggi selama pandemi. Situasi ini menjadi alarm bahaya karena sebagian tenaga kesehatan ini sudah mendapatkan vaksinasi.
”Total ada 458 dokter yang telah meninggal karena Covid-19. Saat ini, teman-teman kesehatan yang dirawat karena Covid-19 jauh lebih banyak dibandingkan pada Desember 2020 dan Januari 2021. Di bulan Juni 2021, kematian dokter meningkat 7 kali lipat dibandingkan pada Mei 2021, dengan di bulan Juli saja sudah tercatat 35 dokter meninggal,” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi dalam diskusi daring, yang diselenggarakan LaporCovid-19, Jumat (9/7/2021).
Data LaporCovid-19 menunjukkan, total tenaga kesehatan (nakes) dari beragam profesi yang meninggal dunia telah mencapai 1.183 orang. Sebanyak 87 orang di antaranya meninggal di sembilan hari pertama di bulan Juli 2021. Jumlah ini sudah lebih banyak dibandingkan korban nakes yang meninggal sepanjang Juni 2021 yang mencapai 79 orang.
Sementara rekor tertinggi kematian nakes terjadi di bulan Januari 2021, mencapai 158 orang. Namun, dengan kejadian saat ini, bulan Juli bisa menggeser rekor ini.
Kenaikan kasus di masyarakat akan selalu diikuti peningkatan risiko kematian tenaga kesehatan. Selain faktor tingginya risiko paparan, lonjakan pasien juga menyebabkan terjadinya kelelahan (pada nakes).
Adib mengatakan, cakupan vaksinasi untuk nakes sudah mencapai 1,5 juta, melebihi target. ”Namun, data sampai 1 Juni 2021, dari 61 dokter yang meninggal setelah Februari 2021, sebanyak 14 orang telah divaksin. Kemudian sisanya ada yang belum, dan lainnya masih dikonfirmasi,” katanya.
Sementara dari Juni hingga Juli, dari 86 dokter yang meninggal karena Covid-19, 24 orang sudah divaksin, dan 35 persen masih diverifikasi. ”Kemungkinan sudah lebih banyak yang divaksin, tetapi ada sekitar 41 persen belum divaksin dan ini mengherankan. Mengapa masih ada yang belum divaksin. Apakah ada faktor komorbid, atau sedang sakit,” katanya.
Lonjakan kematian juga dialami para perawat. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengatakan, secara nasional terdapat 373 perawat yang meninggal dunia, 140 di antaranya berasal dari Jawa Timur. ”Dari 29 yang meninggal sejak Mei-Juni akhir, sebanyak 10 orang sudah divaksin lengkap, 17 orang tidak divaksin karena komorbid, dan 2 orang belum ada datanya,” katanya.
Sementara Katua Satgas Covid-19 PPNI Jawa Timur Av Sri Suhardiningsih mengatakan, semua perawat yang meninggal pada Juni-Juli itu semuanya sudah divaksin. ”Makanya, apakah vaksin ketiga ini, bila itu meningkatkan imunitas, kami ingin mendapatkannya. Idealnya, kan, vaksin yang bagus,” katanya.
Av Sri mengatakan, lonjakan kematian perawat di Jawa Timur sangat terasa di bulan Juli ini. ”Sekarang baru tanggal 9 sudah ada 22 perawat di Jawa Timur yang meninggal. Ini sudah mendekati sama jumlah perawat yang meninggal selama bulan Januari, sebanyak 25 orang,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia Emi Nurjasmi mengatakan, bidan yang meninggal sudah mencapai 207 orang. ”Di bulan Juli saja sudah 41 orang. Ini mengagetkan sekali,” katanya.
Menurut Emi, tingginya kematian bidan ini disebabkan banyak ibu hamil yang sudah positif Covid-19, tetapi ditolak rumah sakit atau mereka memang takut ke rumah sakit. Mereka akhirnya ke bidan, padahal alat perlindungan diri sangat terbatas dan tidak dilengkapi fasilitas ruang bertekanan negatif.
Data IBI menunjukkan, pada Desember 2020 terdapat 31 bidan meninggal karena Covid-19. Pada Januari 2021 terdapat 39 bidan yang meninggal dunia, Februari 16 bidan meninggal, Maret 9 bidan, April 1 bidan, Mei 5 bidan, dan Juni 19 bidan. ”Sementara pada bulan Juli baru seminggu, sudah 39 bidan yang meninggal dunia,” katanya.
Emi mengatakan, sebagian besar bidan yang meninggal belakangan ini sebenarnya sudah vaksin, kecuali yang hamil dan mempunyai komorbid. ”Kita tahu efektivitas vaksin, kan, tidak bisa 100 persen, apalagi karena paparan tinggi. Apalagi, saat ini bidan juga sudah ikut jadi vaksinator,” katanya.
Perlindungan
Adib mengatakan, harus ada upaya serius untuk melakukan intervensi dari hulu sehingga kasus Covid-19 tidak terus membesar. Kenaikan kasus di masyarakat akan selalu diikuti peningkatan risiko kematian nakes. Selain faktor tingginya risiko paparan, lonjakan pasien juga menyebabkan terjadinya kelelahan.
Selain itu, Adib juga mengusulkan adanya zonasi di fasilitas kesehatan dan triase pre-rumah sakit, di antaranya mengoptimalkan layanan pengobatan daring. ”Harus ada fasilitas khusus Covid-19. Selain itu, harus ada upaya pemberdayaan nakes dengan sistem pergantian dan memastikan bahwa mereka memiliki sertifikasi untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan masyarakat,” katanya.
Harif juga menyoroti lemahnya implementasi pembatasan sosial yang menyebabkan kasus terus melonjak tinggi. ”Dari sisi hilir, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk menyelamatkan fasilitas layanan kesehatan. Kekurangan obat, oksigen, dan perbaikan kebijakan pembiayaan. Hari ini ada rilis untuk pembayaran piutang ke rumah sakit sebesar Rp 14 triliun. Selama ini, biaya perawatan Covid-19 masih ditanggung rumah sakit. Ini menyebabkan terkendala obat dan sarana. Ini ada hubungannya bagaiaman kita berpraktik dengan baik,” tuturnya.
Selain itu, menurut Harif, pemerintah pun diharapkan memiliki komitmen untuk menyelamatkan nakes. ”Apabila ada yang sakit, harus jelas bagaimana perlindungannya. Sebab, cari ruang rawat untuk perawat juga sangat susah, padahal sehari-hari kami melayani orang. Ini ironis,” ujarnya.
Nakes, tambah Harif, juga membutuhkan dukungan untuk mengatasi tekanan mental, selain impitan ekonomi. ”Banyak perawat yang harus mengeluarkan dana lebih untuk biaya transportasi guna menghindari penggunaan transportasi umum, tetapi insentif tidak turun-turun,” katanya.
Emi juga mengeluhkan soal masalah insentif yang belum merata. ”Ada yang sudah mendapat dengan variasi berbeda jumlahnya, tetapi ada yang tidak mendapat sama sekali. Vaksinator juga belum mendapat insentif. Miris juga, yang menjadi sukarelawan untuk vaksinator tidak lagi berbasis fasilitas, tetapi keanggotaan. Tidak dibekali APD (alat pelindung diri), mesti bawa sendiri, termasuk transportasi ke luar daerah tugas, bahkan juga harus bawa makan siang sendiri,” tuturnya.
Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Centre Aldila S Al Arfah mengatakan, pemerintah harus memperbaiki manajemen penanganan pandemi dan transparansi komunikasi. ”Komunikasi yang ditujukan bukan untuk menenangkan, tetapi untuk membangun sense of crisis agar fokus kita pada Covid-19. Kami berharap kehadiran pemimpin untuk bertanggung jawab dalam hal komunikasi sehingga transparansi keadaan pandemi Covid-19 tercapai.”
Aldila juga meminta agar insentif kepada nakes dan tunggakan ke rumah sakit segera dicairkan. ”Selain itu, sudah saatnya dilakukan mobilisasi nakes dari daerah kasus rendah ke Jawa-Bali. Mengatur supply serta harga gas oksigen dan obat juga menjadi masalah yang perlu harus diatasi. Pemerintah perlu hadir untuk memastikan ketersediaan stok ini,” katanya.