Kinerja Siswa di Sekolah Terbukti Lebih Baik Setelah Puasa Ramadhan
Puasa bukan hanya memberi manfaat baik bagi kesehatan tubuh, tetapi juga kesehatan sosial.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari satu miliar Muslim berpuasa setiap tahun di bulan kesembilan dalam kalender Islam, Ramadhan. Studi menemukan, siswa di negara-negara Muslim tampil lebih baik dalam survei kinerja sekolah internasional setelah puasa Ramadhan. Peningkatan prestasi di sekolah ini terutama disebabkan oleh aspek sosial dari puasa.
Studi ini dilaporkan peneliti dari tiga universitas di Jerman, yaitu dari Erik Hornung dari University of Cologne, Guido Schwerdt dari University of Konstanz, dan Maurizio Strazzeri dari University of Bern di Journal of Economic Behavior and Organization edisi Januari 2023. Hasil kajian ini juga dirilis University of Konstanz pada Senin (13/3/2023).
Dalam penelitian tersebut, peneliti mengkaji pertanyaan apakah puasa Ramadhan berpengaruh terhadap prestasi sekolah siswa kelas VIII yang berlangsung di luar waktu puasa dan apakah pengaruh ini terkait dengan intensitas puasa.
Ketaatan Ramadhan dapat dikaitkan dengan perubahan penggunaan waktu,
Hasilnya, waktu puasa terkait dengan peningkatan kinerja siswa dalam panel skor tes Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dalam kurun 1995–2019 di seluruh negara Muslim, tetapi tidak di negara lain.
”Karena kami fokus pada tes yang dilakukan setelah Ramadhan terakhir, kami dapat mengabstraksi dari konsekuensi langsung yang merugikan dari puasa selama Ramadhan dan fokus pada konsekuensi tidak langsung dan terus-menerus untuk kinerja pendidikan,” tulis Schwerdt dan tim.
Selanjutnya, dengan berfokus pada siswa kelas VIII, para peneliti menemukan pengaruh intensitas Ramadhan selama masa remaja, ketika sikap terhadap keterlibatan keagamaan sangat rentan terhadap perubahan. ”Hasil dari spesifikasi yang kami pilih menunjukkan bahwa peningkatan rata-rata jam puasa Ramadhan sebesar 10 persen meningkatkan skor tes matematika dan sains sekitar 11 persen dari standar deviasi,” sebut tim peneliti.
Hasil ini dikonfirmasi dalam panel skor tes Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2003–2018 yang memungkinkan perbandingan siswa Muslim dan non-Muslim di dalam gelombang negara di delapan negara Eropa. Para peneliti menemukan nilai tes meningkat secara signifikan seiring jam puasa harian untuk siswa yang orangtuanya berimigrasi dari negara Muslim dibandingkan dengan siswa yang tidak berasal dari negara Muslim.
Peningkatan rata-rata jam puasa Ramadhan sebesar 10 persen secara signifikan mengurangi kesenjangan nilai tes PISA antara siswa Muslim dan non-Muslim sebesar 2,5 hingga 3 persen, tergantung pada mata pelajaran yang dinilai (matematika, sains, atau membaca). Singkatnya, berdasarkan dua set data independen, peneliti mengungkapkan efek positif praktik keagamaan terhadap kinerja siswa.
”Kami memberikan bukti bahwa Ramadhan memengaruhi nilai tes PISA siswa Muslim hanya dalam kohort dengan sebagian besar seagama. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa berbagi pengalaman selama Ramadhan yang lebih intensif memfasilitasi pembentukan modal sosial dan identitas sosial yang kondusif untuk hasil pembelajaran,” tulis Schwerdt.
Aspek sosial puasa
Guido Schwerdt, profesor di Departemen Ekonomi Universitas Konstanz mengatakan, manfaat positif puasa Ramadhan bagi prestasi siswa ini dikaitkan dengan aspek sosial dari puasa.
”Penelitian kami menunjukkan bahwa terlibat dalam praktik keagamaan mempromosikan pembentukan identitas bersama di antara siswa sekolah dan meningkatkan modal sosial yang berguna untuk keberhasilan pendidikan. Ini termasuk, misalnya, kontak dengan kaum muda lain dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi, dukungan dan bantuan, atau pengakuan dan pengetahuan," jelas Schwerdt.
Selain itu, menurut Schwerdt, terdapat beberapa mekanisme yang dapat menghasilkan hubungan positif antara intensitas Ramadhan dan kinerja pendidikan. Misalnya, praktik keagamaan yang intensif dapat membentuk kemampuan non-kognitif yang merupakan penentu penting hasil pendidikan, sebagaimana diusulkan Heckman dan Rubinstein (2001).
Ketaatan Ramadhan, juga membutuhkan disiplin diri, kontrol impuls, kesabaran, dan ketekunan atau ketabahan. Keterampilan ini diperkuat sekitar masa pubertas dan meningkatkan manfaat pendidikan (Kautz et al., 2014).
”Oleh karena itu, Ramadhan intensif selama masa remaja dapat membentuk kemampuan non-kognitif dan dengan demikian meningkatkan kinerja pendidikan. Di samping membentuk kemampuan, ketaatan Ramadhan dapat dikaitkan dengan perubahan penggunaan waktu,” sebut Schwerdt.
Karena kurangnya kegiatan alternatif, biaya kesempatan belajar dapat menurun selama Ramadhan, yang mengarah pada peningkatan hasil pendidikan. Untuk alasan yang sama, orangtua mungkin dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak-anaknya dan memfasilitasi hasil belajar selama Ramadan yang lebih intensif. Selain itu, perubahan kebiasaan makan selama Ramadhan dapat menciptakan manfaat kesehatan yang mengarah pada pencapaian siswa yang lebih tinggi.